Mubadalah.id – Berita tentang gelombang panas yang terjadi akhir-akhir ini ramai diperbincangkan jagat sosial media. Banyak video-video dampak gelombang panas ini beredar, misalnya di Negara bagian asia selatan seperti India dan Bangladesh.
Di Indonesia bahkan beberapa orang membagikan postingan tentang panasnya cuaca akhir-akhir ini. Seperti seorang tiktoker yang melakukan eksperimen memasak telor hanya dengan meletakkan panci di depan rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat.
Sebagai orang yang tinggal di Cirebon, aku juga merasakan hal yang sama. Namun BMKG memberikan klarifikasi bahwa kejadian ini bukanlah gelombang panas, tetapi musim kemarau yang biasa terjadi di pertengahan tahun.
Terlepas dari itu semua, menurutku fenomena alam yang terjadi saat ini adalah hal yang serius. Sudah saatnya kita kembali menggaungakn kampanye tentang menjaga bumi. Karena yang hidup di dunia ini bukan hanya manusia.
Aku jadi teringat akhir pada bulan Februari 2023 lalu, Mubadalah.id mengadakan Launching Kompilasi Artikel dengan tema Keadilan Gender dan Kelestarian Lingkungan. Ibu Dr. Nur Rofiah dan Bapak Wakhit Hasyim hadir sebagai narasumber.
Keduanya saling melengkapi dengan fokus isu masing-masing, Ibu Nur membahas isu gender dan Pak Wakhit isu lingkungan. Seperti ruang perjumpaan, aku jarang mengikuti pertemuan dengan dua isu ini dalam satu waktu, atau biasanya kita kenal dengan istilah ekofeminisme.
Pada proses diskusinya, Ibu Nur merefleksikan sebuah kesimpulan yang menarik tentang relasi manusia dengan alam, dalam perspektif “keadilan hakiki-nya.” Lalu muncul pertanyaan, apakah manusia satu-satunya makhluk yang berhak dan punya bagian atas dunia ini?
Antroposentris dalam perspektif keadilan hakiki
Ibu Nur menjelaskan bahwa Keadilan hakiki itu sebetulnya tidak menjadikan siapapun sebagai standar tunggal kemaslahatan pihak lain. Dalam konteks relasi manusia misalnya, laki-laki bukan standar tunggal perempuan karena pengalaman hidupnya berbeda, tidak juga menjadikan satu kaum menjadi standar tunggal kebangsaan. Misalnya menjadikan Arab standar tunggal Islam.
Begitupun terhadap alam. Ada yang namanya antroposentris. Di mana menjadikan manusia sebagai pusat standar tunggal kehidupan ini. Hal ini mendapatkan banyak kritikan dalam gerakan perlindungan alam. Manusia dianggap sebagai pusat alam semesta dan makhluk lain di bumi ini adalah objek, buntut dari pandangan ini adalah eksploitasi lingkungan yang berlebihan.
Hal ini seringkali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang kuat dengan mengatasnamakan Tuhan. Misalnya rakyat harus taat penguasa, istri harus taat suami, dan hasilnya malah menuhankan manusia, begitu pun dengan alam yang kita paksa menuhankan manusia.
Antroposentris hanya tidak bisa direduksi jika relasinya dengan Tuhan (teosentris). Tuhan yang paling berhak menentukan apa-apa yang terjadi di alam. Manusia tidak berdaya di hadapan Tuhan begitupun antroposentris.
Namun manusia punya bekal dengan akal oleh Allah, manusia mampu merespon apa-apa yang terjadi di alam. Misalnya peritiwa gelombang panas tadi, bahwa hal itu bukan serta-merta terjadi atas kemauan alam. Pasti ada campur tangan manusia di sana, efek rumah kaca, penggundulan hutan, penggunaan energi yang masih tidak ramah terhadap alam dan lainnya.
Bukankah Tuhan sendiri yang memerintahkan manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi?
Dalam konteks relasi manusia dengan alam, antroposentris memang bisa bermakna negatif dengan cara menundukkan alam. Misalnya kita memahami manusia sebagai khalifah di muka bumi, sehingga semua makhluk harus tunduk pada manusia, ini adalah cara pandang yang keliru.
Tugas manusia sebagai khalifah fil ard harus menunjukan kemaslahatan di muka bumi bukan hanya kepada manusia tetapi juga hewan, tumbuhan, dan ekosistem yang ada di alam semesta. Sebagai manusia kita harus sadar bahwa kekhalifahan harus dipahami sebagai tanggung jawab, bukan hak. []