Mubadalah.id – Sulit membayangkan, pada tahun 1977, dalam sebuah wawancara dengan Barbara Walters, Presiden Iran Syah Mohammad Reza Pahlavi dengan penuh arogan menyatakan bahwa hak yang kaum perempuan dapatkan adalah “hadiah” dari kedermawanannya.
Hak Perempuan didapat bukan atas hasil perjuangan, bukan hak yang melekat, melainkan pemberian dari sang raja. Selang dua tahun kemudian, rezimnya tumbang, tetapi harapan akan kebebasan rupanya ikut sirna seketika. Perempuan Iran, yang tubuhnya selalu menjadi medan pertarungan politik, kembali menjadi korban dalam babak baru sejarah negeri mereka.
Pola ini telah berlangsung sepanjang sejarah modern Iran. Pada era 1930, Reza Shah (ayah Shah Muhammad) memaksa perempuan melepas jilbab di depan umum. Bagi sang diktator yang terinspirasi oleh Mustafa Kemal Ataturk, jilbab adalah simbol keterbelakangan yang harus ia musnahkan jika Iran ingin menjadi negara “modern”.
Aksi paksa ini memicu trauma kolektif mendalam pada masyarakat religius Iran. Namun revolusi 1979 membalikkan keadaan 180 derajat. Jilbab justru mereka wajibkan. Polisi moral berkeliaran di jalanan, mengawasi setiap helai rambut yang terlihat, setiap potongan baju yang dianggap “tidak sopan”.
Dalam kuliah kami tentang transformasi sosial Iran, Profesor Achikgoz menjelaskan: “Dari era ke era, tubuh perempuan selalu menjadi kanvas tempat kekuasaan melukiskan ideologinya. Baik rezim sekuler maupun religius, keduanya sama-sama ingin mengontrol perempuan.”
Ironi Keluarga Terpelajar dalam Pusaran Revolusi
Gambaran dilema ini terekam dengan baik dalam kisah Marjane Satrapi dalam novel grafis dan film “Persepolis” yang rilis pada tahun 2007. Keluarga Marjane adalah representasi sempurna ironi yang banyak keluarga Iran terpelajar alami. Mereka adalah oposan Syah yang mendambakan revolusi, tetapi justru menjadi korban dari rezim baru yang semula mereka dukung dengan setia.
Keluarga Marjane membayangkan Iran demokratis setelah sang diktator tumbang. Namun yang mereka dapatkan justru kediktatoran baru berselimut agama. Seorang mahasiswa dalam diskusi kelas berkomentar: “Keluarga Marjane adalah korban dua kali. Pertama dari rezim Syah, kemudian berlanjut dari rezim agama. Mereka terjebak di antara dua ekstrem yang sama sama mematikan.”
Menariknya, revolusi Iran pada awalnya bukan murni gerakan agama. Sejarawan mencatat bahwa revolusi 1979 didukung oleh koalisi luas mencakup kelompok nasionalis, sosialis, liberal, dan kalangan religius. Entah bagaimana, dalam perkembangannya kelompok religious secara terorganisir berhasil mengambil alih kepemimpinan revolusi dan meminggirkan kelompok lainnya.
Dilema Identitas di Tanah Rantau
Ketika keadaan semakin memburuk pasca revolusi, Marjane dikirim keluar Iran. Di sinilah tragedi identitasnya mencapai puncaknya. Di Eropa, dia dianggap terlalu Iran. Tapi ketika pulang ke Iran, dia justru dianggap terlalu Barat. Pengalaman Marjane ini mencerminkan dilema yang banyak diaspora Iran hadapi. Maka muncullah, dua respons utama diaspora terhadap tanah airnya.
Pertama, romantisasi; mengenang kehidupan Iran masa lalu dengan nostalgia, biasanya ini terjadi pada generasi diaspora yang tidak mengalami trauma langsung dari dua rezim.
Kedua, antagonism; seperti yang Marjane alami, mengalami luka yang begitu dalam hingga memutuskan hubungan emosional dengan tanah airnya.
“Bagi kami yang hidup sebagai diaspora, pertanyaan ‘dari mana asal mu?’ akan selalu menghantui kami,” cerita nestapa seorang mahasiswa keturunan Iran dalam diskusi. “Kadang kita merasa tak sepenuhnya terkategori di mana pun. Di Barat kita dianggap Timur, di Timur kita dianggap Barat.”
Agama sebagai Alat Kekuasaan
Pelajaran terpenting dari kisah Marjane Satrapi adalah bahayanya ketika agama menjadi alat legitimasi kekuasaan. Profesor menegaskan: “Yang terjadi di Iran bukan sekadar kebangkitan agama, Ini adalah drama politik yang menggunakan symbol agama untuk mendapatkan legitimasi.” Pragmatisme politik rezim Iran terlihat jelas selama perang Iran-Irak (1980-1988).
Awalnya, rezim menentang sistem daycare (penitipan anak) dengan dalih itu adalah proyek Barat untuk tidak menjadikan ibu sebagai madrasah pertama bagi anak. Namun ketika perang memakan banyak korban jiwa laki laki dan negara membutuhkan tenaga kerja perempuan, kebijakan berubah drastis.
Daycare tersupport agar perempuan bisa bekerja menggantikan laki laki yang pergi berperang. Ini signal jelas, bahwa perubahan kebijakan menunjukkan jika gerakan Islam politik harus kita pahami sebagai respons terhadap peristiwa politik dan kebutuhan praktis, bukan semata mata kebangkitan religius murni.
Paradoks “Persepolis” dan Persepsi Barat
Film “Persepolis” yang terlarang rilis di Iran justru menjadi hit di Barat. Maka di sinilah letak paradoksnya: di tangan penonton Barat yang sudah punya prasangka, kisah personal Marjane bisa disalahtafsirkan sebagai bukti bahwa Islam identik dengan opresivitas.
Salah satu mahasiswa dalam diskusi mengungkap kekhawatirannya: “Film ini adalah pengalaman personal yang valid, tapi dalam konteks Barat yang sudah terjangkit Islamofobia, akan disalahartikan sebagai representasi seluruh Islam. Padahal yang dikritik film ini adalah politik, bukan spiritualitas Islam.”
Seperti digambarkan dalam “Persepolis” sosok kakek Marjane yang sangat spiritual tetapi tidak fanatik. Karakter penokohan ini merupakan signal bahwa masalahnya bukan pada agama Islam itu sendiri, melainkan pada politisasinya.
Perlawanan yang Tak Pernah Padam
Lebih dari empat dekade setelah revolusi, perempuan Iran masih terus berjuang hingga kini. Protes sederhana pernah mereka lakukan secara frontal dengan membiarkan sehelai rambut terlihat, hingga aksi massa besar besaran menentang dan berhadapan dengan polisi moral. Pesan mereka tetap sama. Yaitu semangat perlawanan yang tak pernah padam.
Kini, revolusi digital turut membuka ruang perlawanan baru, media sosial menjadi alat bagi perempuan Iran untuk menunjukkan protes mereka kepada dunia. Mulai dari video dance di TikTok hingga foto tanpa jilbab di Instagram. Semuanya menjadi bentuk resistensi terhadap kontrol negara atas tubuh perempuan.
Seorang aktivis perempuan Iran dalam wawancara online menyatakan: “Kami bukan melawan agama, kami melawan politisasi agama untuk membungkus agenda politik tertentu. Tubuh kami adalah milik kami, bukan milik negara.”
Refleksi untuk Indonesia
Kisah perempuan Iran memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia tentang betapa bahayanya ketika negara terlalu jauh campur tangan dalam urusan personal warganya. Baik dalam bentuk larangan berjilbab maupun pemaksaan berjilbab, keduanya sama sama merampas otonomi individu.
Dalam Bahasa penulis: “Pesan abadi dari Iran adalah bahwa ketika negara menjadikan tubuh perempuan sebagai simbol politik dan selalu terkontrol, yang terjadi selanjutnya adalah represi berkelanjutan. Kebebasan personal harus terlindungi dari intervensi negara, apapun bentuknya dan di manapun tempatnya.”
Menyitir pepatah Persia kuno: “Angin mungkin bisa menundukkan sebatang pohon, tetapi tidak akan bisa mencabut sampai ke akarnya.” Perempuan Iran telah membuktikan ketangguhan itu selama berpuluh tahun. []
(catatan kelas Feminisme and Islam di UCR pada tanggal 03 November 2025)










































