Mubadalah.id – Ketika Fahmina lahir, lembaga ini menjadi rumah bagi para santri pasca pesantren baik laki-laki maupun perempuan yang masih semangat belajar. Mereka yang setelah keluar dari pesantren merasa belum selesai dengan ilmu, belum selesai dengan kitab kuning, dan belum selesai dengan kegelisahan sosial di sekitar mereka.
Di kantor kecilnya, para santri muda diajak menelusuri kitab bukan hanya dari isi hukumnya, tetapi juga dari konteks sosial, tradisi, dan budaya di mana kitab itu lahir.
Mereka membaca kitab Matan at-Taqrib karya Imam Abu Syuja’, al-Muhadzdzab karya Imam as-Syairazi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Mawardi dan Abi Ya’la. Hingga al-Munqidz min adh-Dhalal karya Imam al-Ghazali dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Bahkan karya Syekh Nawawi al-Bantani pun tak luput dari kajian.
Dari ruang kecil itulah para pegiat Fahmina mulai berjejaring. Mereka bertemu banyak lembaga yang lebih dulu bergerak dalam isu sosial. Di Cirebon ada Gerbang Informasi dan Dewan Kesenian Cirebon.
Di luar daerah ada PP Lakpesdam NU, Rahima, LKiS, MADIA, dan Desantara. Dengan mereka, Fahmina berdiskusi, saling belajar, saling memberi, dan saling menguatkan.
Kepercayaan itu tumbuh, karena bagi mereka keislaman harus hadir dalam bentuk keadilan sosial. Dan dari keyakinan itulah nama Fahmina maknanya “pemahaman kami” sebuah sikap rendah hati bahwa yang mereka perjuangkan adalah ikhtiar bersama, bukan klaim kebenaran final.
Warkah al-Basyar
Keyakinan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk media. Awalnya melalui tulisan-tulisan di Radar Cirebon dan Mitra Dialog. Lalu, sejak 2001, Fahmina menerbitkan sendiri media komunitas bernama Warkah al-Basyar, sebuah buletin Jumat empat halaman yang dicetak 10.000–15.000 eksemplar setiap pekan.
Dari hanya beredar di masjid-masjid Kota Cirebon, kini jangkauannya meluas ke wilayah tiga Cirebon: Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Selain ke masjid, Warkah juga menyapa Majelis Taklim dan jaringan pengajian pesantren.
Melalui Warkah al-Basyar, Fahmina mengajak pembacanya menengok kembali ketimpangan sosial yang sering luput dari perhatian.
Di sana dibahas nasib buruh migran, perempuan yang mengalami kekerasan, pedagang kecil, nelayan, petani, kaum minoritas. Hingga kelompok difabel yang haknya kerap terpinggirkan. Tulisan-tulisan ini menjadi semacam alarm kolektif, pengingat bahwa masih banyak warga yang perlu kita bela.
Dari media kecil itu, jejaring Fahmina semakin meluas. Mereka bertemu lebih banyak kiai, nyai, ustadz, santri senior, akademisi, mahasiswa, hingga para penggerak masyarakat.
Banyak dari mereka kemudian ikut menulis: menuangkan pengalaman, kegelisahan, dan pemikiran. Warkah al-Basyar pelan-pelan menjadi media komunitas—bukan hanya bacaan, tetapi jembatan perjumpaan. []








































