Judul Buku: Muslimah Bukan Agen Moral
Penulis: Maria Fauzi
Tebal: XI + 149 halaman
ISBN: 978-623-186-188-7
Tahun terbit: Agustus 2023
Penerbit: Bentang Pustaka
Mubadalah.id – Menjadi perempuan itu berat. Bahkan sejak dalam kandungan, anak manusia yang berjenis kelamin perempuan ini rentan dan resisten dengan sekian label yang menyertainya. Kesalehan perempuan dibicarakan sedemikian rupa oleh tradisi yang akan membentuknya akan seperti apa kelak ia ketika dewasa.
Ada yang menyambutnya dengan suka cita. Namun ada pula yang mengeluh kecewa. Memandang kelahiran anak-anak laki-laki sebagai prestasi, karena tradisi menganggapnya akan lebih mampu melanjutkan trah keluarga.
Maria Fauzi melalui buku “Muslimah Bukan Agen Moral”, memotret secara apik bagaimana kegelisahan perempuan, yang semula berangkat dari realitas masyarakat ini hingga kemudian masuk ke ranah media sosial. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa ada peran agama yang turut melanggengkan persepsi tentang kesalehan perempuan, baik di ruang digital maupun non-digital.
Jilbab dan Kesalehan Perempuan
Akhir-akhir ini, persoalan jilbab kembali mengemuka. Terlebih ketika kasus pembotakan 19 siswi SMP Negeri 1 Sidodadi Lamongan, Jawa Timur, mencuat di pemberitaan media. Pembotakan dilakukan oleh oknum guru, karena siswi-siswi tersebut mengenakan jilbab tanpa ciput atau inner kerudung.
Ini hanya satu kasus terkait polemik jilbab di Indonesia. Di mana jilbab masih kita anggap sebagai standar moral kesalehan perempuan. Sebagaimana meme-meme yang bertebaran di media sosial. Semakin panjang dan rapat jilbab akan dianggap makin sempurna Islam kita.
Sebaliknya, ketika tak sesuai dengan standar penggunaan jilbab akan mereka anggap menyalahi aturan sebagaimana kasus yang terjadi pada siswi di Lamongan itu. Lalu bagaimana dengan muslimah yang memilih tidak mengenakan jilbab, apakah kita menilainya tidak memenuhi kriteria sebagai perempuan muslimah? Temukan jawabannya melalui buku ini!
Menjadi Muslimah Berdaya
Selain mengulas soal dinamika menilai kesalehan perempuan dari pakaian. Apa yang muslimah kenakan hari ini, sudah syar’i atau belum, Maria Fauzi juga melalui buku ini banyak mengisahkan tentang para perempuan berdaya secara intelektual, dan spiritual. Di mana ia menyebutkan dua tokoh perempuan ternama dalam sejarah peradaban Islam. Yakni Sayyidah Maryam dan Rabi’ah al Adawiyah.
Dua perempuan mulia ini menjadi representasi muslimah berdaya, yang hadir di tengah dominasi laki-laki di ruang khidmah mereka masing-masing. Rabi’ah yang Maria tuliskan sebagai ibu para sufi, sementara Sayyidah Maryam menjadi sosok penting dalam membangun perdamaian antaragama. Terutama Islam dan Kristen.
Kehadiran Rabi’ah dan Maryam ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perempuan di dunia. Di mana selama berabad-abad narasi tentang perempuan selalu menyedihkan, terbelakang, dan tersingkirkan. Dunia menganggapnya sebagai warga kelas dua, second sex, dan suaranya kerap tak pernah terdengar sama sekali.
Pengakuan dunia terhadap dua tokoh perempuan ini, harapannya tak sekadar simbol belaka. Tetapi juga memperteguh eksistensi dan otoritas muslimah berdaya, atau yang hari ini kita mengenalnya dengan istilah lain sebagai ulama perempuan.
Perempuan dan Fatwa
Menjadi Muslimah berdaya, tak sebatas berhenti pada pengakuan, atau narasi sejarah yang terus kita tulis berulang. Fenomena tentang banyak hal persoalan yang menimpa perempuan pun Maria Fauzi tulisan. Seperti Al Azhar dan fatwa tentang perempuan yang berkaitan dengan kekerasan seksual.
Menariknya, Al Azhar sebagai universitas Islam tertua di dunia ini, telah banyak mengeluarkan fatwa tentang perempuan. Sebagaimana yang Maria Fauzi ungkapkan dalam bukunya, bahwa total 15 persen dari semua fatwa yang Darul Ifta’ keluarkan adalah untuk merespon isu-isu perempuan.
Menurut Maria, Al Azhar sebagai corong utama lembaga keagamaan di Mesir juga membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi mufti. Mereka terlatih secara khusus untuk terlibat membaca, menafsirkan dan melakukan pembaharuan dalam membaca teks-teks keagamaan yang berhubungan dengan perempuan.
Selain itu, para perempuan juga mereka berikan ruang untuk memproduksi fatwa agar teks-teks yang berhubungan dengan perempuan dapat kita pahami sejalan dengan pengalaman perempuan itu sendiri. Sesuatu yang juga hari ini telah dilakukan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Akhir kata, saya bangga dan senang sekali dengan kehadiran buku “Muslimah Bukan Agen Moral” karya Maria Fauzi ini yang telah memperkaya wawasan dan pengetahuan kita tentang perempuan. Baik perempuan sebagai diri yang bisa berarti apa saja. Menjadi diri yang utuh, sebagai anak perempuan, seorang istri, dan ibu.
Pengalaman perempuan yang beragam, ditambah dengan keragaman tafsir yang memotret tubuh serta cara berpakaian perempuan, menjadi refleksi bersama kita semua.
Alih-alih membincang tubuh perempuan, ada baiknya kita terus memperkuat kapasitas dan otoritas para perempuan agar menjadi muslimah yang berdaya, sehingga kita bisa mendefinisikan ulang kesalehan perempuan. Sebagaimana yang ditulis oleh Dr Nur Rofiah dalam catatan di sampul belakang buku tersebut.
“… perempuan salihah bukanlah perempuan yang selalu menyenangkan laki-laki (suami). Walaupun dengan cara yang buruk bagi dirinya, melainkan perempuan yang melahirkan kemaslahatan dalam beragam bentuknya, baik bagi diri sekaligus pihak lain atas dasar iman.” []