Mubadalah.id – Dalam konstruksi budaya patriarki yang telah mengakar selama berabad-abad, perempuan terutama dalam posisi sebagai istri, kerap kita tempatkan dalam struktur rumah tangga secara subordinatif. Ia tidak kita anggap sebagai subjek utuh yang memiliki hak, kebebasan, dan kapasitas untuk menentukan arah kehidupan rumah tangganya, melainkan lebih sebagai pelengkap dari peran laki-laki.
Dalam sistem ini, suami didudukkan sebagai kepala keluarga mutlak. Sementara istri adalah pengikut, pelayan, bahkan dalam beberapa pemahaman ekstrem, dianggap “milik” suami. Ini bukan sekadar opini awam, melainkan merupakan hasil konstruksi sosial yang terlegitimasi oleh ajaran-ajaran keagamaan yang ditafsir secara bias gender, norma adat, serta sistem pendidikan konservatif.
Pandangan subordinatif ini tampak jelas dalam praktik sehari-hari rumah tangga di banyak masyarakat, termasuk Indonesia. Seorang istri dianggap tidak pantas bersuara lantang terhadap keputusan suami, bahkan jika keputusan tersebut merugikan dirinya sendiri. Ia didorong untuk taat, diam, dan berbakti sebagai bentuk kesempurnaan perannya sebagai istri.
Dalam banyak kasus, ketidakpatuhan terhadap suami ditafsirkan sebagai durhaka atau dosa. Lebih menyedihkan lagi, tak sedikit perempuan yang memilih bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan fisik maupun psikis karena merasa bahwa itulah bentuk pengorbanan seorang istri. Mereka disarankan untuk “sabar,” seolah-olah penderitaan adalah syarat mendapatkan surga.
Namun, pandangan ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia lahir dari relasi kuasa yang timpang dan berabad-abad tereproduksi oleh institusi sosial, termasuk lembaga keagamaan. Dalam sejarah sosial, konsep relasi suami-istri banyak terpengaruhi oleh model feodalistik di mana pemimpin adalah pihak yang tidak boleh terbantah, dan bawahannya harus tunduk sepenuhnya.
Model relasi ini kemudian merembes ke dalam ruang domestik rumah tangga. Tak heran jika banyak yang menganggap laki-laki sebagai satu-satunya pihak yang memiliki otoritas penuh, baik dalam urusan keuangan, pendidikan anak, maupun keputusan-keputusan krusial lainnya.
Pembagian Peran
Realitas sosial hari ini menunjukkan bahwa pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di ranah publik maupun domestik sudah jauh berubah. Perempuan kini aktif dalam dunia kerja, memiliki penghasilan sendiri, terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik, bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Jika demikian, masih relevankah menempatkan perempuan sebagai subordinat dalam rumah tangga? Dalam perspektif feminisme Islam dan studi gender, jawabannya jelas: tidak. Rumah tangga seharusnya menjadi ruang dialog, ruang kesetaraan, dan ruang kerja sama antara dua individu dewasa yang saling mencintai dan saling menghargai, bukan relasi kuasa satu arah.
Konsep rumah tangga yang sehat menempatkan suami dan istri sebagai mitra setara yang memiliki tanggung jawab bersama. Tanggung jawab ini mencakup pemenuhan kebutuhan ekonomi, emosional, spiritual, dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Dalam bukunya “Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam”, Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa prinsip mubadalah yaitu kesalingan, harus menjadi fondasi utama dalam relasi rumah tangga.
Artinya, segala hak dan kewajiban yang kita bebankan kepada suami juga berlaku kepada istri, sejauh keduanya memiliki kapasitas yang setara. Konsep ini menolak pandangan satu arah yang menuntut istri patuh total tanpa memberikan ruang untuk suara dan otonomi dirinya.
Jika kita terus membiarkan pandangan subordinatif terhadap istri kita pertahankan, dampaknya bukan hanya pada ketimpangan relasi, tetapi juga membuka jalan terhadap normalisasi kekerasan dalam rumah tangga. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa mayoritas korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan, dan sebagian besar pelakunya adalah suami. Fenomena ini menunjukkan betapa berbahayanya jika rumah tangga kita pahami sebagai struktur kekuasaan, bukan ruang kesalingan.
Dekontstruksi terhadap Narasi
Dalam buku “Perempuan, Islam, dan Negara”, Buya Husein Muhammad juga menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan sering kali mendapatkan legitimasi kultural dan keagamaan. Sehingga perempuan korban justru merasa bersalah jika menuntut haknya.
Untuk itu, kita perlu melakukan dekonstruksi terhadap narasi dan tafsir yang menempatkan istri dalam posisi subordinat. Dekonstruksi ini bisa kita lakukan melalui pendidikan keluarga, pengarusutamaan gender dalam kurikulum pendidikan, serta penguatan suara perempuan dalam komunitas keagamaan dan sosial.
Kita juga harus mulai menulis ulang narasi rumah tangga yang selama ini terbangun dengan dominasi dan ketimpangan. Alih-alih menyuruh perempuan sabar, kita perlu mendorong laki-laki untuk berubah: untuk belajar mendengar, berbagi tugas domestik, dan menghargai otonomi istri.
Dalam tatanan masyarakat modern, relasi suami-istri harus terbingkai dalam prinsip kesalingan (reciprocity), keadilan (equity), dan kebebasan (autonomy). Kesalingan berarti bahwa suami dan istri sama-sama berhak dan berkewajiban dalam urusan rumah tangga.
Keadilan berarti setiap peran terbagi sesuai kesepakatan, bukan berdasarkan stereotip gender. Sementara kebebasan berarti masing-masing pihak memiliki ruang untuk tumbuh dan menjalani kehidupan pribadi tanpa tekanan atau kontrol yang tidak adil. Prinsip-prinsip inilah yang membentuk rumah tangga sehat, harmonis, dan saling mendukung.
Dekonstruksi terhadap pandangan subordinatif ini bukanlah bentuk pembangkangan terhadap ajaran agama atau nilai moral tradisional. Melainkan upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dasar dari hubungan suami-istri: cinta, rahmah, kesalingan, dan kemanusiaan. Sebab rumah tangga bukanlah tempat untuk menunjukkan siapa lebih berkuasa, melainkan tempat saling mendewasakan diri dan merayakan perbedaan sebagai kekuatan.
Pada akhirnya, upaya membongkar subordinasi istri dalam rumah tangga bukan sekadar perjuangan perempuan, melainkan perjuangan bersama untuk menciptakan keluarga dan masyarakat yang lebih adil, egaliter, dan beradab. Sudah waktunya kita menutup lembaran lama yang penuh bias dan membuka babak baru yang lebih menghargai kemanusiaan dalam ruang privat bernama rumah tangga. []