Mubadalah.id – Kemarin aku bertemu teman lama di suatu tempat. Dalam obrolan panjang yang menyenangkan dia meminta aku bercerita lagi tentang dialog filsafat antara Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (w.833 M), pemimpin tertinggi dinasti Abbasiah dengan Aristoteles, filsuf terbesar sepanjang zaman itu. Cerita itu mengesankannya, tetapi dia sudah lupa.
Aku memang pernah bercerita tentang itu kepadanya beberapa tahun lalu. Lalu dia bertanya dari mana aku mendapatkan informasi dialog filsafat ini. Aku bilang, kalau tidak salah ingat, aku membaca kisah ini di buku “Falsafah Ibn Rusyd” dialog Muhammad Abduh dan Farah Anton. Inilah ceritanya :
ذكر ابن النديم في الفهرست أن الخليفة العباسي المأمون رأى في منامه كأن رجلا أبيض اللون، مُشرب بحمرة، واسع الجبهة، مقرون الحاجبين، أجلح الرأس، أشهل العينين، حسن الشمائل، جالس على سريره، وكأني بين يديه قد ملئت له هيبة، فقلت: من أنت ؟ قال: أنا أرسطاطاليس (أرسطو). فسررت به، وقلت: أيها الحكيم أسألك ؟ قال: سل. قلت: ما الحُسن؟ قال: ما حسُن في العقل. قلت: ثم ماذا ؟ قال: ما حسُن في الشرع. قلت: ثم ماذا ؟ قال ما حسُن عند الجمهور قلت ثم ماذا ؟ قال ثم لا.
Ibn Nadim dalam karyanya yang sangat populer: ” “Al-Fihrasat”, menyebutkan : Khalifah Abasiah Al-Makmun bin Harun al-Rasyid bertemu dalam mimpi seseorang berkulit putih, berambut merah, berdahi lebar, alisnya tebal menyatu, berkepala botak, bermata biru dan perangainya bagus. Dia sedang duduk di atas permadani, di hadapanku dia sangat berwibawa. Aku bertanya : “Siapakah anda?” Dia menjawab : “Aku Aristo (Aristoteles)”. Aku senang. Lalu aku berkata:”Wahai sang bijak bestari; “apakah aku boleh bertanya? Dia menjawab : “Silakan, dengan senang hati”. Apakah baik itu?” Dia menjawab : “Apa yang dipandang baik oleh akal” Lalu? “Apa yang dipandang baik oleh aturan agama”. Lalu? “Apa yang dipandang baik oleh mayoritas”. Lalu? “Tidak ada lagi dan tidak ada lagi.”
Di tempat lain aku membaca :
وفي رواية أخرى، قلت: زدني. قال: وعليك بالتوحيد.
Dalam riwayat lain disebutkan : “Tolong tambahi”. Aristo menjawab : “Hendaklah engkau bertauhid (Meng-Esa-kan Tuhan).”
Konon setelah pertemuan dialog filsafat dalam mimpi itu, Khalifah segera mengumpulkan para ilmuwan, intelektual dan ahli bahasa Yunani dan memerintahkan mereka menerjemahkan karya-karya Aristo dan para filsuf Yunani lainnya, terutama Platon dan Plotinus.
Beberapa penerjemah itu antara lain : Hunain bin Ishaq (w. 260 H), putranya : Ishaq bin Hunain (298), Tsabit bin Qurrah (288 H), Qistha bin Luqa (230 H). Lalu dia mengembangkan perpustakaan bernama “Baitul Hikmah”(Rumah Kebijaksanaan) yang didirikan oleh ayahnya, Khalifah Harun al-Rasyid.
Sejak saat itu dunia Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia dan mengalami “the Golden Age”, zaman keemasan. Sarat dengan dialog filsafat. Sungguh sangat menarik info sejumlah tokoh tentang Abd Allah al-Makmun ini. Al- Dzahabi, penulis sejarah para pemikir dan cendekiawan muslim, dalam bukunya yang terkenal : “Siyar ‘Alam al-Nubalah” menyebut :
عن المامون الخليفة العباسى انه تلا فى رمضان ثلاثا وثلاثين ختمة
“Khalifah Al-Makmun dalam bulan Ramadan pernah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 33 kali” (al-Siyar, xii/109).
Begitu juga dalam “Al-Bidayah wa al-Nihayah” karya Ibnu Katsir. Bahkan di sini disebutkan :
وكان (المامون) حافظا للقران
“wa Kana Hafizhan li al-Qur’an” (dia hafal al-Qur’an”.
Imam Suyuthi mendeskripsikan al-Makmun sebagai orang yang belajar hadits, fiqh, sejarah dan filsafat kepada banyak ulama dan ilmuwan. Dia seorang yang memiliki kemauan yang kuat, menyenangi dialog filsafat dengan kecerdasan, kewibawaan, dan kecerdikan. Dia juga bicara dengan fasih, dan seorang orator yang ulung. []