Mubadalah.id – Saya menulis artikel ini sebagai tanggapan atas Fiqh al-Murūnah yang dianggap sebagai paradigma yang dekat dengan tantangan keagamaan disabilitas. Ketika membacanya, saya teringat pada sub-altern dan kemudian berpikir apakah selama ini kita telah menjadikan disabilitas sebagai sub-altern?
Faqihuddin baru-baru ini menawarkan fiqh al-Murūnah, sebuah paradigma keagamaan yang hendak menjadikan pengalaman dan praktik keagamaan disabilitas sebagai salah satu sumber hukum yang otoritatif dan sah.
Paradigma tersebut mengupayakan suara disabilitas menjadi subjek wacana keagamaan, setelah selama ini hanya selalu menjadi objek.
Penulis melihat fenomena ini menggunakan sub-altern yang digaungkan oleh Antonio Gramsci dan kemudian Gayatri Spivak memperluas konsep tersebut pada wilayah kolonialisme.
Secara umum dapat kita pahami sub-altern sebagai kelompok marginal baik secara sosial, ekonomi, politik, dll dan tidak memiliki akses pada struktur hegemoni kekuasaan. Kelompok ini biasanya berada di luar kelompok dominan dan seringkali tereksklusi. Kekuasaan di sini tidak hanya berupa kekuasaan formal seperti pemerintah tetapi juga berlaku dalam agama, ras dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini, saya melihat penyandang disabilitas sebagai subaltern – kelompok sosial yang berada di luar kelompok dominan. Persoalan disabilitas bukan isu utama yang menjadi pembicaraan kelompok dominan (non-disabilitas)
Sub-altern sebagai yang Berbicara: Dari objek-ke subjek
Faqihuddin menganggap disabilitas sebagai fa’il kamil dan oleh karenanya pengalaman mereka sah dan otoritatif sebagai sumber keagamaan. Upaya untuk membawa disabilitas ke “tengah panggung” otoritas keagamaan adalah terobosan penting sebab praktik ibadah mereka terkadang berbeda dengan praktik ibadah non-disabilitas.
Spivak dalam Can Sub-altern Speak? Menyatakan bahwa sub-altern tidak dapat bersuara secara lugas atau secara otentik didengar sebab suara mereka termediasi, terdistorsi atau dihapus oleh kekuasaan hegemonik.
Fiqh al-Murūnah yang mencoba menempatkan disabilitas di tengah panggung pewacanaan keagamaan otoritatif merupakan sebuah terobosan yang hendak melepaskan disabilitas dari belenggu “subaltern” selama ini.
Belenggu subaltern yang saya maksud di sini adalah kecenderungan menganggap disabilitas sebagai “yang lain”.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah persoalan disabilitas menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting, menjadikan kebutuhan disabilitas dalam posisi marginal dan merumuskan kebijakan yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Ketika melakukan ibadah amaliyah dan mu’amalah, disabilitas tidak memiliki kondisi yang sama dengan mayoritas muslim. Fikih yang ada selama ini masih sangat sedikit yang spesifik membahas ibadah disabilitas sehingga mereka seringkali menghadapi situasi yang sulit ketika hendak beribadah.
Dalam fiqh al-Murūnah, disabilitas dapat bersuara dengan kondisi dan kebutuhan keagamaan mereka. Disabilitas kemudian tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek yang berbicara dari dan untuk dirinya sendiri.
Ketika disabilitas menjadi “subjek yang berbicara”, suara dan kepentingan mereka tidak lagi terdistorsi oleh hegemoni kuasa dan pengetahuan mayoritas. Wacana keagamaan yang benar-benar sesuai dengan kondisi mereka menjadi terpenuhi. Fikih untuk disabilitas – mengutip K. Faqihuddin Abdul Kodir – bukan lagi sekadar menjadi fikih rukhshah.
Lebih jauh lagi, hal ini merupakan pengakuan atas martabat disabilitas sebagai masyarakat beragama.
Suara “yang lain”
Ketika disabilitas menjadi “subjek yang berbicara”, apakah suara yang lain menjadi tidak penting?
Perbedaan yang mencolok dalam perspektif fiqih al-murunah, pengalaman disabilitas menjadi titik berangkat dalam menafsirkan praktik keagamaan mereka. Sementara itu, fungsi non-disabilitas sebagai “yang lain” hadir untuk memperkaya dialog, bukan sebagai sumber norma tunggal sebagaimana terjadi selama ini.
Suara non-disabilitas tidak lagi menjadi standar utama, ia menjadi sekutu yang mendukung, menguji, dll, yang berjalan beriringan dengan suara disabilitas dalam merumuskan hukum. Keterbukaan untuk saling mengakui satu sama lain (mutual recognition) antara disabilitas dan non-disabilitas sebagai manusia yang memiliki martabat.
Suara non-disabilitas dalam hal ini tetap relevan sebab gerakan advokasi membutuhkan kolaborasi dan dialog dari berbagai pihak. Barangkali relasi ini akan melahirkan dialog fikih yang lebih inklusif. []












































