Mubadalah.id – Dalam wacana keislaman kontemporer, wacana tentang disabilitas mulai bergerak dari pinggiran menuju ruang utama percakapan intelektual dan praksis keagamaan. Dr. Faqihuddin Abdul Kodir memperkenalkan satu konsep baru yang lahir dari rahim Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI): Fiqh al-Murunah.
Konsep ini bukan sekadar penambahan istilah dalam khazanah hukum Islam. Tetapi sebuah paradigma baru yang lentur, inklusif, dan berkeadilan yang lahir dari pengalaman hidup penyandang disabilitas itu sendiri.
“Fiqh al-Murunah adalah fiqh yang mengakui pengalaman disabilitas sebagai sumber pengetahuan hukum Islam yang sah dan berotoritas,” kata Kiai Faqih dalam Seminar Nasional Keulamaan Perempuan untuk Pemenuhan Hak-hak Disabilitas di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Selasa 21 Oktober 2025.
Terinspirasi dari NU dan Muhammadiyah
Fiqh al-Murunah hadir sebagai kelanjutan dan penguatan dari Fiqh Disabilitas yang telah dikembangkan oleh para ulama di Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi Islam besar ini telah membuka jalan dengan menempatkan isu disabilitas dalam kerangka keislaman yang berlandaskan rahmah (kasih) dan kemanusiaan.
Namun KUPI, melalui gagasan Kiai Faqih, melangkah lebih jauh dan lebih mendasar. Jika Fiqh Disabilitas menempatkan penyandang disabilitas sebagai penerima keringanan (rukhsah) dari hukum-hukum umum yang dianggap berat bagi mereka, maka Fiqh al-Murunah menggeser titik pandang tersebut.
“Paradigma Fiqh al-Murunah bukan lagi berangkat dari kemudahan (taysīr) atau keringanan (rukhsah) yang diberikan oleh para non-difabel,” papar Kiai Faqih.
“Melainkan dari pengakuan bahwa pengalaman difabel itu sendiri adalah sumber otoritatif hukum Islam. Bahwa mereka tidak hanya objek hukum, tetapi juga subjek penghasil pengetahuan fiqh,” tambahnya.
Perubahan ini, katanya, bukan sekadar kosmetik atau semantik. Ini adalah pergeseran epistemologis — perubahan dalam cara Islam memandang sumber pengetahuan. Dari paradigma yang hierarkis dan karitatif menuju paradigma partisipatif dan emansipatoris.
Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)
Kemudian, dalam kerangka Fiqh al-Murunah, penyandang disabilitas tidak lagi menjadi kelompok dengan “kekurangan” yang memerlukan dispensasi hukum. Sebaliknya, mereka kita akui sebagai manusia utuh — dengan akal dan jiwa. Bahkan tubuh yang memiliki kapasitas spiritual dan intelektual penuh untuk berijtihad.
“Paradigma ini berangkat dari keyakinan bahwa penyandang disabilitas adalah manusia utuh dan subjek penuh (fā‘il kāmil),” jelas Dr. Faqihuddin. “Mereka punya otoritas moral dan pengalaman eksistensial yang bisa menjadi dasar penggalian hukum Islam.”
Dengan demikian, pengalaman mereka tidak kita perlakukan sebagai “kasus khusus” yang perlu kita beri keringanan. Melainkan sebagai sumber nilai baru dalam memahami keadilan dan kemaslahatan dalam Islam. []






































