Mubadalah.id — Perwakilan UNFPA, Fadilah Putri, membuka pernyataannya dengan memberikan apresiasi mendalam kepada Alimat dan jaringan ulama perempuan KUPI yang sejak keluarnya Fatwa KUPI tentang larangan praktik pemotongan atau pelukaan genital perempuan (P2GP) tanpa alasan medis terus bekerja tanpa henti.
Menurutnya, kerja tiga tahun terakhir bukan sekadar kampanye. Tetapi proses membumikan pandangan keagamaan yang menolak segala praktik kekerasan terhadap tubuh perempuan.
“Kami melihat bagaimana fatwa KUPI disosialisasikan secara konsisten sehingga masyarakat semakin sadar bahwa P2GP bukan ajaran agama, melainkan praktik berbahaya. KUPI sudah memiliki fatwa haram, dan itu menjadi landasan moral bagi pencegahan,” ujarnya, pada Dialog Publik Nasional dan peluncuran buku Menghentikan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia: Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti di Jakarta, Rabu, 19 November 2025
Sebagai lembaga PBB yang memiliki mandat menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, UNFPA memandang praktik P2GP bukan hanya isu kesehatan. Tetapi pelanggaran atas hak reproduksi dan integritas tubuh perempuan.
Fadilah menegaskan bahwa P2GP merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang selama ini sering dibiarkan berjalan atas nama tradisi dan tafsir keagamaan yang keliru.
Kerja Kolaboratif
Tahun ini, UNFPA bersama KemenPPPA, Alimat, dan KUPI bekerja di lima wilayah: Jember, Garut, Brebes, Lombok Timur, dan Serang. Sebelum menggelar forum dialog nasional ini, tim-tim daerah telah melakukan safari sosialisasi lintas wilayah, menggali data, pengalaman lapangan. Hingga narasi-narasi lokal yang jarang muncul ke permukaan publik.
Menurut Fadilah, peluncuran buku Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti menjadi tonggak penting karena menghadirkan dokumentasi pengalaman tiga tahun advokasi. Yaitu cerita dari lapangan yang selama ini tidak selalu tercatat dalam laporan formal.
“Cerita-cerita itu justru yang memberi gambaran paling jujur tentang situasi masyarakat. Buku ini bukan hanya dokumentasi. Tetapi penanda capaian dan tantangan dalam memperjuangkan penghapusan P2GP,” katanya.
Namun perjuangan tidak berhenti pada advokasi berbasis data. Fadilah menegaskan bahwa perubahan kebijakan saja tidak cukup. P2GP adalah praktik yang berakar pada norma sosial, budaya, dan penerimaan yang orang tua wariskan turun-temurun. Karena itu, perubahan harus berlangsung bersamaan di dua ranah yaitu kebijakan negara dan perubahan perspektif masyarakat.
UNFPA, kata Fadilah, turut mendukung upaya pemerintah dalam merevisi kebijakan-kebijakan penting serta memasukkan isu P2GP ke dalam agenda jangka panjang nasional. Termasuk dalam RPJMN dan komitmen SDGs 2030.
Di level global, Indonesia kini menjadi sorotan positif sebagai satu-satunya negara di Asia atau bahkan Asia Tenggara yang memiliki data prevalensi nasional tentang P2GP, dimulai sejak SPHPN 2021 dan diperbarui pada 2024.
Data tersebut menjadikan Indonesia lebih siap dalam membuat langkah-langkah berbasis gerakan. “Indonesia punya komitmen besar dari pemerintah dan ekosistem pengetahuan yang mendukung. Ini jarang ditemukan di kawasan lain, karena isu ini masih sangat sulit diterima di beberapa negara Asia,” tegasnya.
Apresiasi
Fadilah juga memberikan penghargaan khusus atas kolaborasi tiga tahun terakhir yang ia sebut sebagai kerja yang saling melengkapi antara pemerintah, ulama perempuan, dan masyarakat sipil.
Peluncuran buku ini, menurutnya, menjadi simbol bahwa perubahan tidak hanya terjadi di ruang kebijakan. Tetapi juga dalam keyakinan dan pemahaman publik.
Ia menyebut judul buku tersebut—Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti—sebagai bagian dari kekuatan narasi. “Judulnya kuat. Harapannya, buku ini tidak hanya dibaca oleh jaringan kita, tetapi oleh masyarakat luas. Terutama mereka yang belum memahami isu P2GP,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Fadilah kembali menegaskan komitmen UNFPA bahwa penghapusan praktik berbahaya hanya mungkin dapat kita capai melalui kolaborasi yang kuat dan keberanian untuk menghentikan praktik yang menyakiti anak perempuan.
“Kerja ini kerja kemanusiaan. Kita harus memastikan tidak ada satu pun anak perempuan yang tumbuh dengan luka fisik atau trauma akibat praktik yang seharusnya sudah lama kita tinggalkan,” tukasnya. []







































