Kadang kita dengan yakin merasa bahwa kita adalah seorang multitasking hanya dengan berasumsi kita telah mengerjakan banyak hal dalam kegiatan sehari-hari. Nah, di era pandemi Covid-19 ini, saya telah memperhatikan bahwa ibu-ibu rumah tangga rempong telah mengerjakan banyak hal di sepanjang hariannya. Saya sebut ‘banyak hal’ di sini adalah terkait persoalan hal-hal harian yang harus dikerjakan di era pandemi ini dari rumahnya.
Semua orang telah faham bahwa sejak pandemi Covid-19 ini, bahkan ini sudah masuk era new normal, ada banyak hal yang masih dan harus dikerjakan dari rumah (work from home), terutama bagi mereka yang tinggal di daerah yang berstatus zona merah.
Demi keselamatan masyarakat Indonesia, anak-anak bangsa, termasuk anak-anak yang mondok dan belum bisa kembali ke pondok, saat ini harus belajar via daring (on line) dari rumah masing-masing. Karena kegiatan dan ajaran baru sekolah mulai aktif kembali pada akhir Juli ini, oleh karenanya semua anak usia sekolah sepatutnya back to school. Tetapi, akibat pandemi ini rumah menjadi pusat segala aktifitas bagi penghuninya. Kadang rumah layaknya cyber cafe.
Fenomena tersebut tentu mempunyai dampak kepada tugas-tugas harian bagi para orang tua, terutama bagi para ibu. Mereka yang biasanya tidak bekerja di publik (luar rumah), terlebih bagi yang bekerja di luar rumah, saat pandemi Corona ini tentu beban kerja semakin bertambah.
Bagaimana tidak, bagi yang masih mempunyai anak usia sekolah, pagi hari, khususnya, adalah masa belajar anak-anak di sekolah. Tapi saat pandemi ini, anak-anak tersebut diwajibkan tetap belajar tetapi di rumah dengan segala kegiatan yang seharusnya dilakukan di sekolah atau pondok.
Keadaan ini, menjadikan ibu-ibu harus membagi bukan saja waktunya untuk minimal menemani dan mengontrol anaknya belajar tiap jam sekolah tiba, tetapi juga harus bersiap mengajari anak dan berkongsi HP dengan anaknya sepanjang jam sekolah tersebut berlangsung hingga menshare photo/video sebagai laporan kegiatan belajar anaknya ke wali kelas. Ya, layaknya mengembalikan peran ‘al-umm madrasah’ (ibu adalah tempat belajar).
Dalam keadaan tersebut bahkan kadang si ibu ikut belajar bersama-sama (mengiringi hafalan surah pendek, hadits atau asmaul husna) dengan anak-anaknya. Di sisi yang sama, kompor dapur mengepul, si ibu juga kadang sambil menyapu, mengepel dan lain-lain, karena jam sekolah umumnya diawali pada pagi hari.
Bayangkan, bagi orang tua yang mempunyai anak lebih dari seorang dan mereka semua belajar secara on line dari rumah, pasti bertambah seru, bukan? Sebab ibu harus membagi perhatian dan sharing wawasan pada anak-anaknya tersebut ketika belajar, yang berbeda-beda tingkatan kelas dengan varian bidang mata pelajaran. Inilah yang disebut task switching atau multitasking.
Meskipun tidak semua seperti yang saya ceritakan tersebut, ada juga ayah yang mau mengontrol dan membersamai belajar anak-anaknya ketika di rumah sebab kadang ibunya bekerja atau ada tugas lain misalnya. Saya kira suami yang begini tidak sedikit. Sungguh salut melihat seorang ayah yang telaten (ikut memperhatikan) mengajari anak-anaknya mengaji atau belajar. Jempol dan bravo untuk mereka!
Namun ada juga tipe suami yang tidak peduli dengan semua itu. Intinya, mereka menganggap urusan anak-anak adalah urusan istri (perempuan) belaka dan bukan bagian tugas suami (lelaki). Jika demikian, bagaimana nasib belajar anak-anak di rumah tersebut? Padahal anak belajar itu perlu variasi, tidak monoton, perlu ada suasana berbeda (bergantian), agar tidak jemu.
Sebagaimana jadwal ketika belajar di sekolah, yang mengajar di setiap kelas ada beberapa guru dalam setiap harinya. Bagaimanapun suasana belajar sungguh memberi pengaruh kepada perkembangan belajar dan emosi anak. Suasana di rumah dengan di sekolah itu berbeda. Di sekolah anak-anak belajar bersama teman-temannya yang berbeda-beda perangai dan guru-guru yang tidak sepanjang hari bertatap muka.
Keadaan ini bisa menimbulkan keriangan dan motivasi untuk bersaing antar pelajar di kelas. Sedang di rumah, anak-anak sudah biasa mendengar nasehat orang tuanya, karena belajar sendirian sehingga tiada terdorong untuk fastabiq al khairat (saling bersaing yang positif) dan ini kadang bisa menimbulkan kejenuhan pada anak.
Ini yang harus difahami para orang tua, bahwa mendidik anak membutuhkan kiat-kiat yang inovatif dan kreatif. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang tua (ibu dan ayah) yang selalu menambah wawasannya. Oleh itu, orang tua harus sama-sama memberi perhatian dan terlibat langsung dalam belajar anak-anak ketika di rumah.
Namun sudah lumrah, tugas rumah tangga (domestik) di masyarakat kita masih dipandang (hanya) sebagai tugas wajib perempuan. Sehingga para ibu benar-benar banyak mengerjakan tugas di waktu yang sama setiap harinya. Padahal, yang sebenar, tugas rumah tangga (domestik) adalah tugas bersama, suami dan istri. Suami istri harus saling bekerja sama (mubadalah) dalam menjaga kebersihan, keamanan, kedamaian dan keharmonisan rumah tangga, termasuk pendidikan anak-anaknya.
Sebenarnya seperti tidak mungkin ada orang melakukan dua atau tiga tugas dalam waktu yang bersamaan. Yang rasional adalah anda menullis surat lalu berhenti, karena pindah membuat kopi. Ketika kopi selesai diseduh dan anda menyeruputnya, anda melanjutkan tugas pertama tadi.
Jika dirasa pada tugas pertama sudah anda kerjakan meski baru sedikit, lalu bosan dan anda ganti melakukan tugas baru, membuat makalah. Baru sekian menit dan mengetik baru dapat 3 lembar, berhenti lagi dan kembali ke tugas pertama untuk menyelesaikannya.
Itu semua memang dikerjakan hampir bersamaan waktunya, namun sebenarnya tidak dikerjakan pada waktu yang sama, bukan? Artinya anda tidak sedang menggunakan tangan kanan untuk mengerjakan laporan keuangan dan tangan kiri untuk mengerjakan proposal seminar. Ini yang benar disebut task switching.
Tapi, bagi tugas ibu-ibu ketika di rumah dapat dikatakan multitasking. Mereka benar-benar mampu mengerjakan dua hal atau lebih dalam waktu yang bersamaan dan merampungkannya secara baik. Misalnya, sering kita melihat perempuan menggendong anak sambil memasak di dapur atau menjemur pakaian.
Seorang ibu sambil iris-iris tomat, di waktu yang sama ia pun menjelaskan pelajaran anaknya atau menyemak hafalan anaknya. Kadang sambil mengetik tulisan (di laptop atau HP), kompor di dapur juga masih mengepul. Ada juga ibu-ibu sedang mengerjakan tugas domestik (menyapu, kemudian lap meja atau memasak) sambil ikutan webinar, dengan telinga kanan kiri tersumbat earphone (headset) yang tersambung ke HP di sakunya, tentunya dalam posisi unmute dan off video.
Sungguh agung tugas dan peran kaum ibu terhadap anak-anak dan rumah tangganya. Dikerjakan dengan sepenuh jiwa raganya. Sungguh tepat Islam menempatkan kedudukannya sebagai pendidik pertama dan utama generasi muda. Di sini perempuan jelas dituntut untuk berpendidikan dan berilmu, yang dengannya dapat memberikan bimbingan yang baik bagi anak-anaknya dan mengatur rumah tangganya.
Ibu-ibu, atau umumnya kaum perempuan akan tulus dan bersunguh-sunguh dalam melaksanakan tugas apa pun yang diembannya selama hatinya happy, tidak ada yang mengganggu. Ini kelebihan perempuan yang dianugerahi sifat lembut, intuitif, teliti dan kreatif oleh Allah kepadanya. Intinya, perempuan harus mendapat apresiasi dan penghormatan.
Oleh demikian, sungguh dhalim jika masih ada orang tua yang tidak memberi kesempatan belajar kepada anak-anak perempuannya. Sungguh picik bagi orang yang masih mempunyai anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan sungguh rendah akhlaknya bagi orang yang meremehkan bahkan memandang rendah tugas ibu rumah tangga. Wallahu a’lam. []