Mubadalah.id – Nonton Film Hati Suhita di bioskop adalah cita-cita saya semenjak Ning Khilma Anis menyampaikan secara publik bahwa Hati Suhita telah dipinang oleh Star Vision. Pemberitahuan dari penulis yang sangat surprising bagi saya. Pertama, tentu saja karena saya seorang santri, dan novel Suhita adalah novel dengan representasi santri dan kehidupan dalam pesantren.
Saya sudah cukup kecewa dan gerah dengan film-film setting pesantren yang tidak sesuai dengan kehidupan di pesantren. Dan saya selalu menyimak pengalaman Ning Khilma lewat postingan yang memastikan bahwa film Hati Suhita selalu dalam ‘pantauan’ beliau.
Maka, saya yang sudah berdebar-debar duluan ketika membaca novel itu menjadi salah satu dari ratusan ribu bahkan jutaan orang yang menantikan visualisasi novel Suhita. Kedua, saya jatuh hati dengan penulisnya. Buku itu bukan sekadar tulisannya, tetapi yang menjadi ruh dari tulisan adalah penulisnya.
Ning Khilma adalah penulis yang humble, tawadlu’, penulis dengan wawasan yang luas. Penulis yang tidak jumawa ketika tulisannya dipuji, dan legawa ketika menerima kritik. Penulis yang senantiasa “khumul” sekalipun saat ini sedang “dzuhur”.
Saya ingat kisah dari Ning Bela, suatu waktu Ning Khilma dimintai pendapat tentang bagaimana fenomena menjamurnya novel ala pesantren yang esensi cerita dan cara menulisnya hampir mirip dengan novel Suhita. Beliau dawuh “Suk mben nek aku nulis, aku nulis sing luwih apik neh, ben nek ono sing niru, nirune sing apik”. (Besok-besok, kalau saya menulis lagi, saya akan menulis yang lebih bagus lagi, biar nanti kalau ada yang meniru tulisan saya, tiruannya juga bagus). Hati saya pun luluh lantak mendengar jawaban Ning Khilma.
Karomah seorang Penulis
Saya tidak berekspektasi banyak tentang film Hati Suhita ini. Karena tentu saja tidak ada yang bisa membatasi liarnya imajinasi pembaca ketika membaca sebuah novel dibandingkan ketika tersuguhkan secara langsung visualnya.
Tapi setelah melihat film ini, daaaaaaamn ~, benar-benar di luar ekspektasi: kisahnya, alurnya, visual setiap pemainnya. Saya seperti telah mengkhatamkan Novel Hati Suhita karya Ning Khilma Anis kurun waktu 130 menit melalui film. Hampir tersampaikan lembaran demi lembar dalam adegan-adegannya.
Jika karomahnya seorang alim terletak pada pemikirannya, karomah seorang salih terletak pada ibadahnya, maka karomah seorang penulis terletak pada aksaranya. Tentu saja novel yang menjadi film ini adalah ‘karomah’ dari Ning Khilma. Suasana hati ketika nonton film ini random sekali. Ngakak kemudian terharu dan menangis lalu gregetan, menyusul perasaan bahagia, gemes, dan perasaan sedih, sukses mengaduk perasaan.
Gus Biru tervisualkan memiliki tubuh tinggi tegap, rambut agak panjang, kulit bersih, jambang kebiruan, memiliki rambut dagu, dan hidung mancung. Gayanya ala cowok-cowok kampus pergerakanable yang cool apotek tutup alias gak ada obat, menggairahkan dan bawaannya minta ditaklukkan.
Gus Birru dan Kang Darma
Dan permintaan pecinta Suhita pun terwujud, Omar Daniel digadang-gadang sebagai Gus Biru bahkan sebelum novel itu menjadi buku yang utuh dan menjadi best seller nasional. Maka Omar Daniel adalah sosok yang paling tepat ketika disebut nama Gus Birru. Puas kalian wahai netizen yang budiman.
Adakah Tim Kang Dharma? Diperankan oleh Ibrahim Risyad. Gambaran kang-kang santri yang kalem, ‘alim, dan salih. Teduh ala-ala Pak Ustad di pesantren yang ghaddul bashar tidak pencilak’an. Tidak ngotot banget untuk memenangkan Hati Suhita meskipun di dalam dadanya terdapat lubang yang besar sekali ketika memandang Suhita.
Sedangkan Alina Suhita tervisualkan memiliki wajah sangat cantik, mandes istilah orang Jawa, kulitnya kuning, lehernya langsat dan jenjang, bodinya sintal, sinar wajahnya teduh, khas perempuan Jawa dan khas putri seorang Kiai. Ning banget Rasanya setelah melihat utuh film itu, tidak ada yang lebih tepat lagi untuk memerankan Alina Suhita selain Nadya Arina. Pantas saja, lha wong Ning Khilma yang jadi penata busananya. Ning Khilma mengatur fashion “ala Ning dari Pesantren Jatim”.
Fashion ala Ning
Ning Khilma bercerita, untuk mempermudah tim MUA dan fashion artis mendandani Nadya Arina biar kayak Ning. Ia tunjukkan foto-foto Ning Sheila Hasina, Ning dari Lirboyo, Kediri, yang cantik dan ‘alimah itu. Pantas saja ketika nonton film tersebut kayak-kayak gak asing dandanannya kok ya apik, ayu, adem, anggun, mirip Ning Sheila Hasina.
Tak luput penggambaran Rengganis, perempuan cantik, cerdas dan mandiri, memiliki wajah oval, pipi kemerahan berlesung, mulutnya mungil laksana buah ceri, alisnya indah, tubuhnya molek seperti putri Belanda. Sosok ini melekat pada Anggika Bolsterli. Sumpah Anggika ini cuwantik paripurnaa ketika memerankan Rengganis kalau di dunia nyata pun, Gus Birru bakalan bingung memilih antara Rengganis dan Suhita.
Artis yang puwaling bikin ngakak sepanjang film selain Tutus Thompson (Zaki) dan Tanta Jorekenta (Rizal) ya Devina Aurel, yang memerankan Aruna. Saya sudah follow ig Devina dari tahun 2014. Dia memang selebgram dari Malang yang sudah femes karena pembawaannya yang kocak dan ceria, di real-nya, dia selalu unggah fotonya yang jelek-jelek di ig.
Tapi usahanya buat jadi jelek tidak pernah terealisasi, sudah cantik badas dari sananya. Aktingnya profesional banget, karena sudah sering melenggang di dunia perfilman, nonmuslim yang berperan menjadi santri yang gaul. Epic sekali! Waktu jadi Aruna di film ini gemes banget ngelawak mulu ga pernah gagal bikin ngakak. Dia santri yang kaya raya. Saya naksir mobilnya Aruna.
Tidak ada Tokoh Protagonis dan Antagonis
Umik yang Desi Ratnasari perankan tak kalah dahsyat aktingnya. Umik Desi yang seperti makan formalin sehingga gak tua-tua ini penggambaran sosok bunyai cantik dan awet muda. Saya jatuh cinta pada cara Desi Ratnasari memerankan bunyai yang sedang nyimak hafalan santri-santrinya. Yo mbenerke dowo ndek e, tajwidnya.
Abah yang diperankan David Chalik ini juga tak luput mencuri perhatian. Kyai yang gagah, ganteng dan tegas, sayang sama Bunyai. Ada Selamet Rahardjo dan Widyawati, artis senior yang tidak diragukan lagi kiprahnya di dunia perfilman. Para pemain pendukung juga banyak dari kalangan senior seperti Joshua Suherman menjadi Permadi, juga Wafda Saifan sebagai Arya.
Film Hati Suhita yang masing-masing tokohnya memiliki peran sesuai porsi, tidak ada tokoh antagonis dan protagonis. Semua seperti khas terjadi di sekitar kita yang mana setiap manusia memiliki sifat baik dan buruk.
Film Hati Suhita ini membuat kita merindukan nilai-nilai pesantren yang “Muhafadzah alal Qadimis Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah”, seimbang antara menjaga nilai klasikal pesantren dan mengadopsi nilai modern dengan tetap bermartabat sebagai tempat yang senantiasa mengalirkan berkah di dalamnya. Film yang mengajarkan perjuangan wanita melalui filosofis Jawa yang “WANI TAPA”. Berani berjuang, berani mengambil keputusan dalam mengarungi kehidupan.
Saya merekomendasikan film ini, terutama untuk Panjenengan semua, yang mencintai Suhita, yang mencintai Ning Khilma, yang hidup di lingkungan pesantren, yang hatinya terpikat pada pesantren, yang ingin mengenal pesantren, yang menginginkan rumah tangga bahagia, tanpa ada bayang-bayang mantan. []