Mubadalah.id – ππππππ’, film yang disutradarai oleh aktor kenamaan Indonesia Reza Rahardian ini, sudah tayang di bioskop sejak 6 November 2025.
Film Pangku ini mengangkat perjuangan seorang perempuan bernama Sartika (Claresta Taufan). Cerita dibuka dengan asal mula Sartika menjadi pramusaji kopi ππππππ’ di warung Mbok Maya (Christine Hakim). Di mana kelak akan menjadi orang tua angkatnya.
Latar waktu film ini dimulai sekitar tahun 1998, terlihat dari siaran televisi yang menayangkan berita meningkatnya jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada masa pemerintahan B.J. Habibie.
Saat itu, fenomena serupa juga terjadi di daerah pantura yang memang menjadi latar tempat pembuatan film ini. Bahkan termasuk di Indramayu barat tempat penulis tinggal. Di mana ketika itu memang terjadi gelombang fenomena perempuan bekerja di luar negeri.
Ttidak sedikit dari mereka sengaja memalsukan usia agar terlaksana terbang ke Arab Saudi. Kini, tujuan negara kerja menjadi lebih beragam seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Jepang, menyesuaikan dengan usia serta kondisi sosial ekonomi mereka.
Film ini memiliki alur progresif, mulai dari masa kehamilan Sartika hingga Bayu (anak) dewasa. Perubahan waktu tergambarkan secara detail melalui simbol-simbol visual. Berakhirnya tayangan televisi, perubahan termos penyeduh kopi, peralatan rumah tangga, jenis piring, kalender yang berganti hingga jajanan yang berbeda.
Silent Movie yang Disajikan Berhasil Memotret Kerasnya Kehidupan Para Tokoh
Film Pangku ini minim dialog. Bagi saya justru di situlah keistimewaannya. ππππππ‘ πππ£ππ karya Reza Rahardian ini berhasil membingkai latar waktu, tempat, karakter, dan konflik lewat kekuatan visual serta detail properti yang ia gunakan. Penonton tetap memahami apa yang terjadi tanpa perlu banyak mendengarkan dialog.
Kehidupan keras masyarakat pantura tertampilkan melalui adegan-adegan sederhana namun mampu mentransfer rasa nyeri pada jiwa penonton. Gilang (Devano Mahendra) ditampar bosnya karena kesalahan kecil. Pada adegan berikutnya, bahkan tubuh Gilang tampak lebam. Air susu Sartika tak keluar sehingga Bayu kecil ia suapi air tajin.
Sartika menjadi kuli cangkul di sawah, lalu pulang tanpa cukup uang untuk membeli beras. Akhirnya demi bertahan hidup, ia menerima tawaran Mbok Maya menjadi pelayan kopi ππππππ’. Visual pada adegan ini begitu kuat. Sartika berjalan dengan langkah berat menyusul Mbok Maya yang sedang menunggu di warung, lalu mengangguk sambil menggendong Bayu.
Adegan ketika Sartika menahan tangis di depan cermin setelah dirias Mbok Maya menjadi rajutan menuju puncak emosi film ini. Dengan wajah tegar, ia harus mengubur kemungkinan paling baik bekerja sebagai buruh di pabrik. Mau tidak mau akhirnya dia menerima kenyataan pahit demi anak semata wayangnya.
Momen ini berhasil menyampaikan atmosfir getir pada penonton. Mengingatkan penulis pada tokoh Srintil dalam π πππππππ π·π’ππ’β ππππ’π karya Ahmad Tohari pada saat menjelang upacara bukak klambu.
Kasih Ibu Tak Akan Terkikis, Bahkan Oleh Tubian Badai Penderitaan Sekalipun
Tokoh-tokoh dalam film ini tergambarkan kuat dan hidup. Sartika, misalnya, adalah perempuan tangguh dan pekerja keras. Sebagai orang tua tunggal, ia mampu menekan segala keraguan untuk bertahan hidup sebagai pelayan kopi pangku hingga kemudian bertemu dengan Hadi (Fedi Nuril). Sebagai perempuan polos, ia terpikat oleh perhatian Hadi. Dengan segala kebaikan yang Hadi berikan, Sartika memantapkan hati untuk menerimanya sebagai suami.
Sartika mulai menenun harapan. Bayu diterima di sekolah setelah sebelumnya tertolak karena tidak memiliki akta kelahiran dan dokumen resmi tentang siapa bapaknya. Sartika, Ia juga bercita-cita memiliki pekerjaan yang lebih baik, menjadi penjual mie ayam seperti ayahnya dulu.
Desiran ombak yang menghantam batuan di tepi pantang dengan dibumbui alunan lagu π ππ¦π’ππ πππππππ’ππ πΊπππΒ (Nadin Amizah) ββ¦ π΅π’πππ πππ βπππ¦π ππππ πππ π‘ππ πππ π¦πππ π‘πβπ’, πππ’ π‘πππ’π‘.β¦β membuat film ini berhasil menyampaikan perasaan dan harapan seorang perempuan dengan sedalam-dalamnya.
Pada bagian lain, Adegan-adegan di warung kopi yang Bayu kecil saksikan membuatnya bercita-cita menggantikan ibunya bekerja. Ia tidak suka melihat ibunya ππππππππ’-ππππππ’ lelaki. Bahkan, kadang ia harus berpindah tempat tidur karena kamarnya digunakan untuk hal yang belum pantas ia lihat. Pada bagian ini penulis teringat pada Wasripin kecil dalam novel πππ πππππ πππ πππ‘πππβ karya Kuntowijoyo. Keduanya besar dalam latar sosial yang serupa.
Sartika juga sosok yang tahu balas budi. Selama tinggal di rumah Mbok Maya, ia kerap membantu pekerjaan rumah. Menyapu, mencuci, memasak, dan menyiapkan makanan.
Hadi, Ujian Berat dalam Hidup Sartika
Berbeda dengan konsistensi karakter Sartika, Hadi yang semula ia anggap sebagai sosok penyelamat justru menjadi ujian berat dalam hidup Sartika. Hadi pamit untuk bekerja, namun ia tak pernah kembali.
Dalam kegamangan itu, Sartika yang sedang mengandung buah cinta mereka mencari informasi pada satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan suaminya atas petunjuk Gilang. Dengan deraian air mata ia kembali sambil membawa pil pahit yang ia telan dalam-dalam.
Ia memaksa jiwanya bertahan menahan sakit demi melihat senyum Bayu. Dalam keadaan itu, istri pertama Hadi datang ke rumah yang selama ini Sartika anggap sebagai hunian mereka bersama.
Dari pertemuan itulah ia akhirnya tahu bahwa rumah tersebut sebenarnya terbangun dari hasil jerih payah istri Hadi yang bekerja di Arab Saudi. Sartika pun mengajak Bayu pergi meninggalkan rumah itu. Bayu yang semula girang melihat Hadi (yang ia anggap sebagai ayah) terpaksa menerima kenyataan pahit tentang sosok yang selama ini ia kagumi.
Adegan ini menjadi klimaks dengan ππππ‘ π‘π€ππ π‘ yang logis dan natural. Dialog antara Sartika dan Hadi saat berjalan-jalan di tepi pantai menjadi salah satu simbol penting yang telah tersisipkan sejak awal.Β βApakah kamu sudah punya istri?β tanya Sartika. βAku ingin punya anak. Apa kamu mau punya suami?β jawab Hadi.
Kelogisan ππππ‘ π‘π€ππ π‘ juga terlihat dari percakapan antara bos di tempat pelelangan ikan dengan anak buahnya yang meminta izin selama seminggu karena akan mengantar istrinya ke Arab Saudi. Belakangan kita ketahui adegan ini berkaitan dengan istri Hadi. Begitu pula adegan ketika Sartika dengan berat hati melepas kepergian Hadi.
Dengan cekatan, ia menyodorkan korek api sebagai simbol bahwa dia ingin hanya dirinyalah yang menjadi satu-satunya perempuan dalam hidup Hadi, perempuan yang melayaninya sebagai istri. Sekali lagi, seluruh rangkaian adegan itu benar-benar tersusun secara alami dan masuk akal.
Menilik Relevansi Film dan Akhir Cerita
Relevansi Film Pangku benar-benar selaras dengan peristiwa yang selama ini banyak perempuan alami, khususnya di daerah pesisir pantai utara. Mereka berniat membantu suami mencari nafkah ke luar negeri, tetapi balasannya suami malah menggunakan uang kiriman dengan seenaknya sendiri.
Bahkan menikah lagi dengan perempuan lain. Parahnya (perempuan lain itu tidak jarang bukan sebagai perebut suami orang tetapi memang sama-sama korban dari kepiawaian seorang lelaki dalam menutupi identitasnya seperti Hadi dalam film ini).
Sebagai penutup, Film Pangku menampilkan adegan ketika Sartika membaca surat yang terselipkan oleh Bayu dewasa sebelum ia berangkat berjualan mi ayam. Dalam surat itu, Bayu menuliskan ucapan ulang tahun dan ungkapan terima kasih kepada ibunya yang telah memilih melahirkan ia dan adiknya, serta merawat mereka hingga dewasa. Dengan penuh ketulusan, Bayu menyampaikan betapa ia bangga memiliki ibu seperti Sartika.
Di akhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan jika anda hendak menonton film ini siapkanlah tisu sebelum memasuki ruang bioskop sebab Anda akan membawa pulang oleh-oleh berupa linangan air mata yang perlahan akan Anda hapus berkat semangat yang tersampaikan oleh sosok Sartika. []












































