Mubadalah.id – Film Pangku yang Reza Rahadian sutradarai ini berhasil membuat para penikmatnya berpikir lagi pasca menyaksikannya. Bagaimana tidak, film ini tersaji dengan drama-drama yang justru membuat kita berefleksi, menganalisis dan berisi realitas yang mungkin tidak perlu kita perdebatkan. Di film ini, Reza Rahadian meng-highlight nasib perempuan tunggal yang harus menanggung beban tanpa dukungan siapapun.
Film Pangku ini menyajikan dengan gamblang betapa perempuan harus menanggung beban yang begitu besar tetapi haknya tidak terpenuhi. Film ini berlatar daerah Pantura tahun 1998. Seperti yang kita ketahui bahwa tahun ini berisi sebuah perisitwa pelik yang menyusahkan warga Indonesia.
Peristiwa ini kita kenang tidak hanya karena adanya perang ras, carut marutnya pemerintahan, tetapi juga karena adanya dampak dari sistem pemerintahan yang mengakibatkan adanya krisis moneter. Dari sinilah film ini bermula.
Seorang Ibu tunggal yang sedang hamil dan harus bertanggung jawab pada dua manusia, yakni dirinya sendiri dan anak yang ia kandung. Meskipun di dalam film ini tidak ada penjelasan sebab dari hamilnya seorang perempuan bernama Sartika. Tetapi nampak bahwa perempuan itu mengalami keterasingan dari lingkungannya dan harus mencari cara untuk melanjutkan hidup tanpa perbekalan apapun.
Rendahnya Akses Pengetahuan bagi Perempuan
Kedua, Film ini menunjukkan jika perempuan merupakan objek dan sebuah alat untuk mencapai kesenangan (baca:objek seks pria). Hal ini nampak dari betapa banyaknya perempuan yang akhirnya memutuskan diri menjadi “penghibur” karena tuntutan ekonomi dan tidak ada lagi yang bisa menopangnya kecuali pekerjaan itu.
Seorang perempuan yang tidak terbekali pendidikan secara berkeadilan akhirnya menerima kenyataan tersebut. Sayangnya hal ini menjadi populer, sebab kurangnya pengetahuan dan tentu akses pekerjaan dan pendidikan yang tidak merata.
Ketiga, film ini juga menyuratkan tentang subordinasi perempuan. Scene yang dengan jelas menyuratkan ini yakni ketika Sartika hendak mendaftarkan anaknya ke sekolah. Akan tetapi karena dia adalah ibu tunggal yang tidak memiliki suami, sementara nama ayah menjadi urgensi yang tidak bisa diwakilkan dengan nama ibu.
Padahal, sedari lahir, Bayu (anak Sartika) tidak memiliki ayah dan Sartikalah yang bertanggung jawab penuh atas Bayu. Dari sini saya teringat tulisan Alimatul Qibtiyah, dalam sebuah berita yang mempertanyakan kenapa nama ibu harus berada di bawah nama ayah dalam segala dokumen sekolah anak.
Lebih dari itu, kadang nama Ibu bukan menjadi hal penting dalam dokumentasi sekolah anak. Padahal dalam prosesnya, baik ayah ataupun ibu memiliki peran yang besar dalam proses tumbuh kembang anak. Bahkan Ibu sudah menjadi madrasah al-ula dalam arti menjadi sosok yang waktunya lebih banyak ia berikan pada anaknya.
Scene ini menunjukkan bahwa perempuan terbebani pada sulitnya akses bahkan untuk hal yang bukan menjadi miliknya.
Beban Ganda Perempuan
Keempat, Film ini kembali menunjukkan bahwa perempuan mengalami beban ganda. Sartika dinikahi seorang pria dan mencicipi sedikit kebahagiaan sebelum menerima kenyataan pahit karena dia sebenarnya menjadi perempuan simpanan. Pada scene ini Sartika kembali menjadi objek.
Kendati pada scene ini pula akhirnya Bayu bisa bersekolah karena dia sudah memiliki ayah sebagai syarat masuk ke lembaga pendidikan. Sartika kembali menanggung beban karena harus kembali menjadi ibu tunggal yang tidak memiliki hunian pribadi. Selain itu menanggung beban sebagai kepala keluarga dengan dua anak.
Tentu, laki-laki tidak merasakan apa yang perempuan alami. Di sini tidak ada suara perempuan yang didengarkan bahkan ketika dia sudah merangkap berbagai peran. Pengalaman perempuan hanya menjadi cerita pribadi bukan menjadi referensi yang harus kita pertimbangkan.
Film Pangku seharusnya bisa menjadi rujukan untuk mempertimbangkan lagi mengenai kesenjangan akses, dan fenomena subordinasi. Selain itu terkait akses pendidikan bagi perempuan yang seharusnya menjadi hal pokok bukan hal yang istimewa. Sehingga, strata sosial bukan menjadi penghalang bagi perempuan untuk bisa mengakses apapun sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Di samping itu, film ini juga menunjukkan bahwa kesenjangan dan ketidakadilan merupakan produk sejarah yang masih membudaya khususnya di daerah-daerah dengan minimnya akses pendidikan. Film pangku membuka kembali mata dan fikiran kita untuk terus mengarusutamakan nilai-niali keadilan, kebebasan bagi manusia. Khususnya bagi perempuan yang masih dianggap sebagai makhluk kelas kedua. []











































