Mubadalah.id – Tulisan “gaya dialektika Gus Rur rengkuh Palestina” ini sebetulnya saya submit kepada “Gusdurian” pekan lalu. Ini sebagai pra-syarat lolos masuk “Kelas Pemikiran Gus Dur” yang akan berlangsung sebulan ke depan, mulai Rabu, 1 Maret 2023.
Tak ada keinginan apapun, kecuali untuk mencintai dan mencari ilmu pengetahuan untuk mendidik diri sendiri. Bersyukur bila dapat berkontribusi, beri dampak bagi lingkungan, agama, bangsa atau Negara. Karena peroleh ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan keteladaan dari para ulama seperti Gus Dur. Sesungguhnya adalah obat, makanan bagi tumbuh kembang jiwa, yang terus-menerus butuh pengajaran hingga kembali kepada Tuhan, kelak.
***
Debar Rindu Gus Dur
Membaca debar rindu Gus Dur kepada kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsa Indonesia, atau bahkan bagi seluruh umat dunia; Adalah membaca pula debar rindu Baginda Nabi Muhammad saw., akan cita-cita tertingginya membangun jalan keselamatan bagi seluruh umat manusia.
Ini adalah sebagaimana kedudukan, maqamat Nabi Muhammad yang sesungguhnya bagi alam semesta (Al Abil Akbar, Mubadalah.Id, 19 Februari 2023). Bila Nabi setiap hari akan bisa merasakan batin yang teriris karena melihat umatnya terluka, tak bisa makan, atau menderita, terpuruk dalam kemaksiatan, dan sebagainya. Rasanya bisa kita pastikan, Gus Dur juga akan demikian halnya.
Perasaan Gus Dur kepada umat hari ini saya kira sama dengan perasaan Baginda Nabi yang telah Allah swt. bentangkan seluas-seluasnya. Tuhan telah buka dada Sang Baginda dan seluruh pewarisnya agar mampu merespon dan menampung setiap penderitaan apapun yang umat manusia alami. Agar segera turut berupaya keras menyelesaikannya. Serta terus-menerus mendoakan, dan memohonkan ampunan serta keselamatan.
Bila Tuhan menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw. sesungguhnya adalah insan yang meninggalkan jasadnya (QS. 3: 144). Namun rahmat dan kasih sayangnya akan tetap terus hidup, mengalir untuk umat hingga akhir masa. Maka pribadi seperti Gus Dur juga akan demikian pula.
Sesungguhnya wafatnya Para Kekasih Allah swt. tidak benar-benar wafat. Mereka akan terus menyaksikan serta menaungi seluruh kerja-kerja kemanusiaan yang terus kita upayakan agar alam raya ini berjalan baik, penuh kemaslahatan.
Teladani Nabi dan Para Ulama
Gus Dur menurut saya adalah pribadi yang terus berusaha menyambungkan sanad berbagai pemikiran dan tindakannya kepada para Ulama pendahulu, hingga sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Ini tampak dari berbagai pemikiran dan langkahnya yang terang, menunjukkan keteladanan bagi umat hari ini.
Pemikiran dan langkah-langkah yang ia ambil sangat visioner. Meski kerap kali mungkin tak kita mengerti, disalahpahami banyak orang saat gagasan tersebut terlontarkan. Termasuk oleh para pecintanya, barangkali.
Ini sebagaimana pada Baginda Nabi Muhammad saw. sendiri. Salah satu contoh langkah visioner yang Nabi ambil meski sahabat banyak memprotesnya, adalah diterimanya Perjanjian Hudaibiyah pada 628 M/ 6 H. Di mana bagi umat Islam saat itu perjanjian ini amat menyakiti dan merugikan.
Merujuk KH. Ahmad Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha’, di antara isi perjanjian Hudaibiyah yang menyakitkan umat tersebut adalah, Nabi dilarang keras untuk gunakan gelar “Rasulullah” dalam menandatangani suratnya. Nabi hanya boleh menyebut diri sebagai “Muhammad bin Abdullah.”
Bagi para sahabat hal tersebut merupakan penghinaan pada Baginda. Tapi Nabi sendiri tak ambil pusing karenanya. Toh tanpa tertulis, bagi Allah swt. Nabi tetap Kekasih dan utusan-Nya. “Gitu aja kok repot,” begitu kira-kira.
Belajar dari Perjanjian Hudaibiyah
Selain itu apabila ada salah seorang kuffar Quraisy yang masuk ke wilayah Islam untuk ‘menyerah’ dan berIslam kepada Nabi; Maka Nabi dan kaum muslimin harus menolak, dan kembalikan mereka pada kaum Quraisy lagi. Namun sebaliknya bila ada muslim yang masuk ke wilayah kuffar untuk bergabung, maka tidak ada kewajiban bagi mereka kembalikan muslim tersebut kepada Baginda Nabi dan kaum muslimin lainnya.
Dengan semua isi perjanjian itu para sahabat sangat geram. Namun Nabi Muhammad saw. terus fokus pada satu isi perjanjian yang mengatakan bahwa selama 10 tahun ke depan kaum muslimin dan kuffar Makkah sepakat untuk lakukan gencatan, tak ada perang (QS. 48: 24). Mereka hanya boleh “mendiskusikan, mendialogkan” Islam sebagai agama ‘baru’ di antara mereka.
Tapi justru dengan diskusi, dialog timbal balik, dialektika inilah, Nabi Muhammad berharap besar timbulnya kesadaran rasional tentang kebenaran agama Islam yang akan diakui dengan sendirinya oleh kaum Quraisy. Benar saja, “barakahnya diskusi, mengurai akal sehat dan pikiran”, kata Gus Baha’, untuk selanjutnya kuffar Makkah akhirnya benar-benar menarik dan membatalkan perjanjian Hudaibiyah tersebut dengan sendirinya. Umat Islam betul-betul raih kemenangannya dengan diplomasi akhlakul karimah dalam dialektika kebenaran. Faqad faza fauzan ‘adzima.., (QS. 33: 71).
Dialektika Gus Dur
Demikian pula Gus Dur, dalam bacaan saya, salah satu pemikiran dan langkah besarnya yang disalahpahami banyak muslim Indonesia, juga luar negeri saat itu adalah keputusannya membangun diplomasi ala “karier diplomatik” Nabi Muhammad. Yakni dengan menerima dialog dan ‘relasi terbuka’ bersama Israel.
“Tak ada jalan lain kecuali dialog”. Jawab Abuya KH. Husein Muhammad saat saya mengonfirmasi kepada beliau. Bahwa dengan dialektika semua kemungkinan-kemungkinan hal baik akan bisa terjadi segera. Termasuk kemerdekaan bagi Negara Palestina. Dan barangkali inilah salah satu tujuan utama dialog yang Gus Dur jalankan saat itu.
Saya tentunya tidak ingin klaim bahwa bacaan terbatas saya atas langkah Gus Dur ini adalah satu-satunya upaya yang tetap relevan untuk kita jalankan hari ini. Karena bagaimanapun situasi politik, terutama Palestina-Israel kini, mungkin kian banyak bergeser atmoster, dari saat Gus Dur menjalankan diplomasi.
Tapi satu hal yang pasti, saya kira ini akan tetap sah atau mungkin malah mendesak untuk kita kaji lagi. Mengingat “Dialog Fiqih Peradaban” telah dimulai bersamaan satu abad Nahdhatul Ulama. Karenanya memikirkan, mencari jalan bagi kemerdekaan Palestina juga butuh terus kita upayakan bersama seluruh jaringan Timur Tengah dan global lainnya.
Kegelisahan Utama
Memang cara-cara dialektika Gus Dur dalam berpikir dan mengambil tindakan, kadang berbeda dengan kebanyakan kita. Apalagi jika itu terkait pula dengan Islam fundamental. Karena isu-isu luar negeri seperti Palestina, Suriah atau lainnya, akan terus saja dijadikan legitimasi gerakan-gerakan ekstremisme bagi mereka.
Namun dalam keyakinan saya, dari dulu hingga sekarang, Gus Dur akan selalu mengambil sikap antitesis atas langkah-langkah yang mereka ambil. Termasuk dalam selesaikan konflik Palestina dan Israel.
Selama kajian saya saat pandemi 2020 – 2021, bersama sebuah komunitas peneliti independen, Jakarta; Islam garis keras sesungguhnya masih terus memproduksi ceramah-ceramah agama hingga hari ini dengan muatan dakwah yang terindikasi berseberangan dengan upaya-upaya moderasi yang terus Negara kembangkan. Mereka lebih memilih “mendidik” anak-anaknya, katanya untuk menjadi tentara-tentara yang akan memanggul senjata; Jihad dalam versi radikal, dan akan segera merebut kembali Al Quds di masa depan.
Misi ini mereka jalankan dengan mengharuskan anak-anak menghafal Al Qur’an, dan terus doktrin dengan ajaran-ajaran seperti milik Sayyed Quthb tentang ideologi radikal. Bagaimana mungkin Al Qur’an yang suci, mengutamakan ajaran kasih sayang itu didatangi dengan niat hati penuh kebencian, kemarahan, atau kehendak untuk mengalahkan, memusuhi liyan?
Nabi Muhammad saw. sekalipun tak akan demikian, mendasarkan pemikiran dan tindakan atas rasa kebencian. Perang yang beliau lakukan selama Kerasulan, adalah semata untuk “membela diri”, mempertahankan hidup yang terus dipersekusi.
Apalagi kini telah terindikasi kuat, adanya upaya keras pula untuk ‘mendorong’ (encourage) perempuan dan anak-anak di kalangan fundamentalis, agar terlibat secara aktif sebagai pelaku-pelaku utama ekstremisme yang mengarah pada kekerasan. Perempuan dan anak didoktrin dengan tafsir-tafsir tunggal, zakelijk, dan sempit dari ayat-ayat Al Quran yang seharusnya mampu memberi petunjuk pada jalan kebenaran.
Gus Dur Selesaikan dengan Belaskasih, dan Kebijaksanaan
Inilah mungkin, yang juga akan jadi keprihatinan besar Gus Dur, andai beliau masih ada di antara kita. Saya yakin, Gus Dur akan merengkuh, terutama perempuan dan anak-anak mereka, dengan cara-cara yang bijaksana, jauh dari menghakimi; Mencarikan jalan keadilan, untuk mendapatkan pengajaran yang lebih inklusif tentang tafsir-tafsir agama; Mendudukkan mereka kembali pada harkat dan martabat kemanusiaan seutuhnya; Menuntunnya pada jalan kebenaran, kedamaian, kasih sayang sesama, dan penghargaan yang tinggi pada perbedaan.
Apa yang Gus Dur lakukan akan jauh lebih mengikuti sanad hingga kepada Baginda Nabi Muhammad. Ketimbang apa yang diupayakan gerakan radikal, atau mungkin yang lainnya. Langkah-langkahnya nyata, selesaikan konflik Palestina. Penuh tekad dan keyakinan tinggi meski hadapi berbagai tuduhan bertubi-tubi.
Semua itu saya yakin, tidak lain adalah karena kecintaan Gus Dur sebagaimana rindu Baginda Nabi beserta para pewarisnya untuk membimbing, menyelamatkan seluruh alam. Kini bagaimana dengan kita hari ini? Tentu saja harapannya, semoga akan dapat terus meneladani. Wallahu yuwaffiquna fi ma yuhibbuh wa yardhah. Wallahu a’lam bisshawab. []