Kekerasan terhadap anak, terutama dalam bentuk inses, bukan hanya kejahatan terhadap satu individu. Ini adalah ancaman terhadap generasi bangsa.
Mubadalah.id – Selama ini, keluarga selalu diyakini sebagai tempat paling aman dan nyaman. Tempat seseorang pulang dan berlindung. Namun kenyataannya, keyakinan itu kian goyah. Semakin banyak kasus menunjukkan bahwa keluarga justru menjadi ruang paling rentan bahkan berbahaya terutama bagi anak-anak.
Anak yang seharusnya tumbuh dalam kehangatan dan perlindungan keluarga, justru menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Dalam banyak kasus, kekerasan itu bukan hanya secara fisik atau verbal, tapi juga kekerasan seksual yang sangat brutal yaitu inses.
Inses, atau hubungan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri, merupakan salah satu bentuk kekerasan paling menyakitkan. Ia bukan hanya melukai tubuh dan jiwa korban, tetapi juga menghancurkan kepercayaan terhadap ikatan keluarga itu sendiri. Pelakunya bisa ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, bahkan saudara laki-laki orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung dan panutan.
Kekerasan seksual dalam bentuk inses sering kali tersembunyi di balik dinding rumah. Tidak banyak suara yang terdengar, karena pelaku berada dalam posisi kuasa, dan korban dibungkam oleh rasa takut, ancaman, atau rasa malu. Akibatnya, anak-anak yang menjadi korban cenderung bungkam, menyimpan luka sendirian, dan tak tahu kepada siapa harus mengadu.
Tragisnya, lingkungan sekitar sering kali tidak peka. Sekolah tidak menyadari perubahan perilaku anak, tetangga enggan ikut campur, dan bahkan ibu korban kadang memilih bungkam demi menjaga “nama baik keluarga”. Maka tak heran jika inses menjadi kejahatan yang sangat sulit terdeteksi, namun dampaknya luar biasa menghancurkan.
Kejahatan Mengintai di Dunia Maya: Grup Facebook “Fantasi Sedarah”
Baru-baru ini, publik digemparkan dengan terbongkarnya grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah”, yang memiliki lebih dari 32 ribu anggota. Grup ini secara terbuka menjadi wadah berbagi cerita-cerita inses, termasuk kekerasan seksual terhadap anak kandung yang masih bayi hingga balita.
Dalam salah satu unggahan yang beredar luas, seorang pria mengaku memperkosa anaknya yang belum berusia satu tahun ketika sang istri sedang pergi ke pasar. Ia bahkan dengan penuh kebanggaan menjelaskan bagaimana ia “melatih” anaknya untuk melakukan aktivitas seksual sejak usia dini.
Ini bukan hanya menjijikkan. Ini adalah kejahatan luar batas kemanusiaan.
Respons keras datang dari berbagai pihak. Melansir dari Viva Jateng, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, meminta Kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk segera mengusut tuntas grup ini serta menangkap para anggotanya.
“Saya minta polisi dan Komdigi telusuri dan tindak tegas para pengelola maupun anggota grup kotor tersebut. Jangan sampai ini dibiarkan dan jadi contoh bahwa predator seksual bisa bebas berkumpul dan berbagi aksi bejat mereka di media sosial,” ujar Sahroni.
Namun pertanyaannya, bagaimana grup ini bisa bertahan lama? Bagaimana ribuan orang bisa saling mendukung perilaku sekeji itu tanpa terdeteksi sejak awal?
Inses: Kejahatan di Ruang Privat
Inses sering kali tidak terungkap karena melakukannya dalam lingkaran paling privat yaitu keluarga. Bahkan korbannya sebagian besar adalah anak-anak perempuan di bawah umur yang belum memiliki daya untuk melawan. Termasuk seringkali para pelaku menggunakan kedekatan, manipulasi, dan ancaman untuk membuat korban bungkam.
Laporan Komnas Perempuan tahun-tahun terakhir mencatat bahwa inses termasuk dalam bentuk kekerasan seksual paling umum di ranah personal.
Dalam catatan tahunan 2023, misalnya, terdapat lebih dari 300 kasus inses, sebagian besar korbannya adalah anak-anak dan remaja perempuan. Dan angka ini hanyalah puncak gunung es. Hal ini karena banyak korban yang memilih diam.
Bahkan sebagian besar korban beralasannya beragam di antaranya karena takut, malu, tidak percaya pada sistem hukum, atau bahkan diancam oleh keluarga sendiri agar tidak membuka aib. Akibatnya, kekerasan terjadi berulang kali, dan pelaku dibiarkan bebas tanpa hukuman.
Anak-anak korban kekerasan, terutama kekerasan seksual dalam keluarga, sering mengalami trauma jangka panjang. Mereka bisa mengalami gangguan kecemasan, depresi, gangguan identitas, hingga kehilangan kepercayaan diri dan harapan hidup. Namun banyak dari mereka yang memilih diam.
Oleh karena itu, ruang aman bagi anak-anak makin terkikis. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman dan teraman, kini menjadi tempat paling mengerikan.
Bahkan sekolah kadang tidak cukup sensitif untuk menangkap sinyal-sinyal kekerasan. Juga termasuk para tetangga atau kerabat sering kali memilih tidak ikut campur. Dan tak jarang, ibu dari korban justru tidak berdaya atau bahkan menutup-nutupi kekerasan yang dilakukan suaminya demi menjaga “nama baik keluarga.”
Memutus Rantai Kekerasan
Kekerasan terhadap anak, terutama dalam bentuk inses, bukan hanya kejahatan terhadap satu individu. Ini adalah ancaman terhadap generasi bangsa. Kita tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu atau menganggap ini hanya kasus yang terjadi “jauh di sana.” Oleh karena itu, penting bagi kita, untuk melakukan langkah-langkah konkret perlu kita lakukan:
Pertama, pemerintah harus memperkuat sistem pelaporan dan perlindungan anak, serta menindak tegas pelaku kekerasan, tanpa pandang bulu.
Kedua, platform digital wajib memperketat pengawasan konten dan melakukan pemblokiran aktif terhadap grup atau forum predator.
Ketiga, sekolah dan tenaga pendidik harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda kekerasan dan menjadi tempat aman bagi siswa yang ingin melapor.
Keempat, masyarakat harus mulai berani bicara, berani peduli, dan tidak menutup mata jika melihat tanda-tanda kekerasan di lingkungan sekitarnya.
Kelima, keluarga dan orang tua harus memberikan edukasi seksual sejak dini kepada anak-anak, tentang tubuh mereka, batasan, dan bagaimana cara melapor jika merasa tidak nyaman atau dilecehkan.
Terakhir, anak-anak harus kita bekali keberanian dan pengetahuan bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Tidak ada satu pun orang, bahkan orang tua sekalipun, yang berhak menyentuh mereka tanpa izin. []