Sudah menjadi kodratnya, bahwa dalam menjalani kehidupan manusia sebagai makhluk individu memerlukan keterlibatan pihak lain. Keterlibatan satu pihak pada pihak lainnya ini dapat disebut sebagai sebuah relasi, baik yang terikat maupun tidak. Siapa pun itu, tentunya menginginkan kehidupan seperti yang didambakan, dan kehidupan yang demikian dapat tercipta apabila beragam relasi memiliki timbal-balik atau kesalingan, bukan ketimpangan.
Demikian pula yang menjadi jalan cerita film GULLY BOY, film pertama India yang mengangkat tentang budaya Rap di India ini mengisahkan ketimpangan-ketimpangan relasi yang dialami oleh para tokoh. Kendati demikian, ketimpangan relasi tersebut merupakan sebuah keniscayaan, dan di balik segala ketimpangan, selalu saja ada kesalingan yang membantu sang tokoh untuk mendapatkan kebahagiaan atas keberadaan diri.
15 Februari 2020 lalu, GULLY BOY memenangkan penghargaan sebagai film terbaik versi Filmfare Awards di Guwahati India. Film dengan latar belakang tokoh dan lingkungan yang beragama Islam menarik saya untuk me-review film ini, mengapa? Karena pemahaman yang tidak tepat atas teks agama tidak hanya terjadi pada satu negara saja, melainkan banyak negara yang masih menerapkan sistem patriarki dalam segala sendi kehidupan, termasuk di India.
Penerapan sistem yang demikian menyebabkan beragam konflik dan tentunya meniadakan kesalingan dalam segala bentuk relasi. Berikut relasi kesalingan yang ingin disampaikan atas konflik dalam cerita film ini:
Pertama Relasi dengan pasangan. Dalam penggambaran tokoh di awal, sutradara langsung menampilkan tragedi keluarga yang dialami oleh sang tokoh, yakni tindakan poligami yang dilakukan oleh sang Ayah. Murad, menjadi anak tertua laki-laki tidak bisa berkata apa-apa atas aksi sang Ayah, meskipun keadaan keluarga berada di bawah garis kemiskinan tidak mengurungkan niat sang ayah untuk memperistri wanita lain yang tidak lain adalah pelayan di tempat sang Ayah menjadi supir.
Latar belakang budaya Islam yang dianggap ‘melegalkan’ poligami ini tidak sedikitpun membawa kemaslahatan apalagi keberkahan pada keluarga Murad. Sang Ibu harus tidur di luar karena posisinya telah dimiliki yang lain, bahkan menjadi pelayan dari sang Ibu baru, sang Ayah yang selalu semena-mena kepada istri tuanya.
Entahlah, Ibu Murad benar-benar tidak berdaya atas keputusan suaminya ini. Bahkan, ketika menjadi gunjingan oleh teman-temannya, Murad hanya dengan enteng menjawab tanpa ketidak-dayaan dengan jawaban, “dia (ibu tiri) itu adalah tamu yang tidak diundang.” Dalam relasi suami istri di sini, suami sungguh memegang kendali atas semua yang terjadi dalam rumah tangga. Sesuatu yang dianggap baik untuknya ternyata bukan sesuatu yang diharapkan oleh anggota keluarga lainnya.
Lebih menjelaskan alasan sang Ayah berpoligami ketika ia bertengkar dengan sang Ibu karena masalah Murad yang menginginkan menjadi seorang rapper, tidak berkenannya sang ayah membuat si Ibu mengungkit-ngungkit pernikahan baru sang Ayah. Dengan geram sang Ayah berkata, “aku tidak akan menikah lagi jika kau bisa melayaniku di ranjang dengan baik!!!” sama geramnya sang Ibu menjawab, “Aku akan melayanimu dengan baik seandainya kau dapat mengajariku dan menyentuhku dengan baik pula.”
Sudah jelas bukan, alasan berpoligami di sini tidak lain dikarenakan urusan ranjang. Urusan ranjang berlaku tidak seperti yang diinginkan bukannya dikomunikasikan dengan terbuka antara dua pihak, namun justru menimbulkan masalah baru yang tidak diinginkan semuanya.
Tampak sekali, bahwa teks agama kerap disalah-tafsirkan untuk kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan dan memiliki kekuatan atas pihak lainnya. Karena tindakan semena-mena sang Ayah, akhirnya si Ibu berikut anak-anaknya memilih pergi untuk tinggal berpisah dengan sang Ayah.
Perceraian orang tua tentu memiliki dampak negatif dan positif, salah satu dampak positifnya ialah mereka telah memutus rantai tekanan batin dan fikiran yang dialami selama ini, sang Ibu dapat merasakan kebebasan tanpa harus menjadi budak suami selama seumur hidup. Kebahagiaan yang demikian akan lebih sempurna apabila keluarga tersebut tetap utuh dengan adanya kesalingan antara Ayah dan Ibu, sehingga perpisahan tidak harus terjadi.
Kedua Relasi dengan teman. Teman merupakan cerminan diri, dengan siapa kita berteman menentukan karakter yang kita miliki. Murad merupakan seseorang yang sangat beruntung karena memiliki teman-teman yang sangat mendukung kehidupannya berikut karirnya.
Adanya gesekan dalam pertemanan adalah sesuatu yang lumrah, namun pengorbanan yang dilakukan Mooen ketika tidak menyebutkan nama Murad saat tertangkap polisi perlu diacungi jempol. Karena Mooen tahu, kejahatan pencurian yang dilakukan Murad adalah karena dalam keadaan benar-benar terpaksa, dan Mooen ingin temannya ini gemilang dalam berkarir agar terlepas dari belenggu kemiskinan.
Ketiga Relasi dengan orang tua/anak. Kekasih Murad, Safeena Firdausi yang diperankan oleh Alia Bhaat merupakan tokoh yang sangat berani. Berani di sini ialah karena ia berani menentang aturan rumah saat tidak berada di rumah. Profesi sang Ayah yang merupakan seorang Dokter di kampungnya membawa Safeena mengambil kuliah kedokteran pula di kampus yang sama dengan Muraad.
Terlahir dari keluarga dan masyarakat Muslim, mewajibkan Safeena menggunakan pakaian Muslim pada umumnya, yakni menutup aurat dan berjilbab. Ya, itu ia lakukan ketika ia berada di rumah dan lingkungannya saja. Tetapi ketika ia berada di kampus atau sedang bermain dengan teman-temannya, ia kerap berganti kostum dengan pakaian modern dan tidak berjilbab.
Ia juga kerap berbohong jika terlambat pulang malam dengan alasan memiliki agenda belajar dengan teman perempuannya, padahal yang dia lakukan adalah hang out bersama teman-temannya seperti yang banyak dilakukan para pemuda saat ini. Safeena kerap berbohong kepada orang tuanya karena ia merasa sebagai anak perempuan, ia tidak memiliki kebebasan seperti anak laki-laki. Segala sesuatu atas dirinya ditentukan kedua orang tuanya, bahkan lingkungannya.
Perempuan merupakan subjek yang harus dilindungi, namun justru tidak dilindungi. Pada akhirnya Safeena mampu mengekspresikan keinginannya saat ia kedapatan orang tuanya tengah berada di kantor Polisi setelah memukul kepala temannya dengan botol minuman. Semuanya sudah terlewati, namun komunikasi yang baik dapat memperbaiki dan memulai segala sesuatunya kembali.
Keempat Relasi dengan masyarakat. Siapa pun itu tidak ada yang dapat menentukan di masyarakat mana kita akan lahir. Terlahir dari orang tua yang berprofesi menjadi supir dan lingkungan tempat tinggal kelas menengah ke bawah membuat Muraad berstatus sosial rendah. Ia kerap mendapat perlakuan seperti pada umumnya untuk kasta rendah di India, ia dilarang memasuki tempat-tempat yang tidak pantas untuknya, dan kerap mendapatkan kekerasan verbal yang sangat tidak mengenakkan.
Terdapat gap yang sangat jelas dalam film ini. Namun bagi Muraad tidak ada yang mustahil, dia mampu membuat relasi agar ia dapat diterima semua kalangan masyarakat. Ia memaksimalkan potensi diri menjadi rapper terkenal, dan hilanglah skat-skat tersebut dalam dirinya.
Kelima Relasi dengan Tuhan. Sangat saya sukai dari film ini, kendati masyarakat Muslim digambarkan dengan banyak perilaku-perilaku negatif, namun keberadaan Tuhan merupakan sesuatu yang pokok dan merupakan pengubah segalanya. Muraad digambarkan sebagai tokoh yang taat beribadah, setiap akan menapaki karir barunya, ia selalu melaksanakan salat hajat dan berdoa untuk kebutuhan duniawi dirinya. Dan sungguh, doa-doa tersebut diijabah. Meskipun kehidupan dirasa sangat berat oleh Muraad, namun selalu ada Tuhan sebagai tempat bersandar, dan Murad selalu menjaga baik relasi tersebut.
Keenam Relasi dengan Akal dan Jiwa. Tidak terlewatkan dalam film adalah bagaimana Muraad menjadi diri yang merdeka. Ia menggunakan akal dan jiwanya untuk mendapatkn kebahagiaan yang ia impikan. Tidak terhalau oleh orang lain, demikianlah Muraad dapat sukses dalam hidup berkat relasi yang baik dengan akal dan jiwanya. []