Mubadalah.id – Pada kesempatan Minggu, 7 Februari 2021 kemarin saya diajak berdiskusi tentang Film Samin vs Semen, bersama Himpunan Mahasiswa Sosiologi Kampus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta. Selain saya, bedah film juga menghadirkan Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi sebagai narasumber. Ada beberapa hal yang bisa saya catat dari bedah film tersebut, terutama tentang sosok Gunarti dan perjuangannya bersama para perempuan Samin.
Film Samin vs Semen ini dibuat pada tahun 2015 oleh Dhandi Laksono. Film dokumenter yang menceritakan tentang perlawanan warga Samin dengan pabrik semen, berlatar pegunungan Kendeng Jawa Tengah. Dilansir dari laman kompasiana, yang menuliskan tentang sesosok pengikut Samin bernama Gunarti, yang menjadi salah satu pemrakarsa yang membela warga Samin.
Dalam salah satu adegan, Gunarti menuturkan bahwa ia tak menyekolahkan anak-anaknya secara normal. Ia dan masyarakat Samin berkata bahwa tujuan dari belajar atau sekolah itu bukanlah untuk mengejar pangkat dan jabatan, tapi cukup untuk memperbaiki tindakan dan ucapan. “nenek moyang dulu berkata pendidikan tidak perlu pandai, yang penting mengerti”, katanya.
Gunarti mengambil peran cukup besar dalam permasalahan yang dihadapi Sedulur Sikep ini. Pada masa Semen Gresik menyerang pada tahun 7 sampai dengan 16 Mei 2009, Gunarti bercerita bahwa di Sukolilo ini ada 7 desa yang nantinya akan terkena dampak dari pembangunan pabrik semen. Gunarti pun mendatangi satu per satu desa yang terdampak tersebut.
Di sana Gunarti mencoba meminta saudara-saudaranya untuk tetap mempertahankan lahannya dan jangan menjual lahan itu kepada pihak semen. Gunarti juga mengatakan bahwa sejak jaman nenek moyang kita semua ini butuhnya tanah, air, dan pangan, bukan semen. “Daripada krisis pangan, mending krisis semen”, begitulah ucapan Gunarti yang menurut saya sangat menarik.
Salah satu hal yang menarik lainnya di sini juga yaitu betapa berat perjuangan para perempuan Samin untuk sekedar bertahan hidup. Para perempuan Samin di sini terlihat sangat berjuang keras untuk mempertahankan wilayah atau lahan pertanian yang sudah diwariskan oleh pendahulu-pendahulunya agar tidak diberikan kepada pihak Semen. “Tanah pertanian itu tidak boleh dijual, tanah pertanian ini adalah warisan yang nantinya juga akan diberikan kepada anak cucu nanti”, tutur seorang perempuan pengikut ajaran Samin itu.
Senada dengan hal di atas, diungkapkan dalam hasil musyawarah keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyebutkan bahwa setiap bentuk kerusakan lingkungan memberikan implikasi berbeda. Studi dampak kerusakan lingkungan menunjukkan setiap terjadi kerusakan sumber air, maka akan menambah beban kerja perempuan 6-8 kali lipat dibanding lelaki.
Tambahan beban kerja dalam mencari air, rumput dan sumber penghidupan lainnya menyebabkan anak perempuan kehilangan kesempatan bersekolah, mengalami gangguan kesehatan reproduksi, dan tingkat kematian ibu melahirkan serta kematian bayi meningkat.
Dalam setiap konflik agraria akan selalu memunculkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik oleh pasangannya atau oleh para pihak yang berkonflik. Kekerasan yang paling mengancam sekaligus menjadi teror bagi warga adalah kekerasan seksual.
Pandangan agama KUPI, tentang tanggungjawab Negara dalam mengatasi perusakan alam yang memiskinkan rakyat, terutama perempuan adalah Negara dengan seluruh perangkatnya wajib melindungi alam dari segala kerusakan, dan wajib memberikan sanksi hukuman tegas yang menjerakan kepada pelaku perusakan, baik individu, masyarakat, aparat Negara terutama korporasi.
Negara juga bertanggungjawab melakukan pencegahan dari perusakan alam dan pemulihannya dengan cara menyediakan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan, melaksanakan dengan tegas peraturan yang sudah ada, dan melakukan kegiatan-kegiatan nyata bersama masyarakat untuk kelestarian alam. Dalam upaya tersebut Negara wajib melibatkan perempuan sebagai pihak yang paling merasakan dampak negatif dan beban berlebih akibat perusakan alam.
Sedangkan catatan KUPI untuk masyarakat adalah, pertama melakukan gerakan penyelamatan “ibu bumi” di mana perempuan menjadi sentral dari pelestarian alam dan menjaga keseimbangan ekosistem. Kedua, menggali dan menjaga tradisi serta praktik baik pelestarian alam yang mengakar di masyarakat selama ini, misalnya larangan menebang pohon pada area dan saat tertentu, kewajiban menanam pohon tertentu pada peristiwa khusus dan lain-lain.
Ketiga, melakukan gerakan menanam pohon, pangan, dan obat-obatan di lingkungan sekitarnya. Keempat, menerapkan pola hidup sehat, bersih, dan melestarikan alam dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, membangun solidaritas, kekuatan dan gerakan bersama untuk menghadapi ancaman perusakan alam sekitar oleh pelaku industri. Keenam, melakukan gerakan menolak mempergunakan produk-produk perusahaan yang merusak alam, termasuk yang merusak sistem reproduksi perempuan.
Sebagai penutup, saya akhiri dengan kalimat Melanie Subono dalam salah satu adegan film tersebut, “tidak ada yang lebih keren dari pada perempuan yang berjuang.” Dan saya bersepakat dengan itu. []