Mubadalah.id – Sejuknya udara Cirebon di musim penghujan menghantarkan saya ke salah satu rumah umat Budha yang berada di Jl. Kantor No. 2, Kampung Kamiran atau Pacinan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon.
Rumah ibadah itu tampak indah nan cantik dengan ciri khas perpaduan warna merah dan kuning dari setiap sudut arsitektur bangunannya, merah menjadikan simbol bahwa rumah ibadah ini menjadi tempat untuk kebahagian dan cinta kasih bagi umatnya, sedangkan kuning adalah sebagai simbol bahwa mereka diajarkan untuk bersikap bijaksana kepada siapapun.
Bangunan tersebut adalah Vihara Dewi Welas Asih. Vihara yang sebelumnya bernama Tio Kak Sie itu sudah berumur ratusan tahun. Menurut Kepala Bidang Kerohanian, Romo Djunawi menyebutkan bahwa dalam catatan manuskrip dari Keraton Kasepuhan, Vihara Dewi Welas Asih sudah dibangun sejak tahun 1595 yang lampau.
Nama Dewi sendiri, kata Romo, sapaan akrabnya, berasal dari Rupang atau Patung Dewi Kwan Im atau Dewi yang memberikan keselamatan yang dibawa oleh para pendatang dari Tiongkok yang pertama kali menginjakan kaki di tanah Jawa. Sedangkan Welas yang memberikan arti kasih dan Asih yang berarti Sayang. Atau yang bisa diartikan Vihara Welas Asih ini sebagai tempat untuk meminta keselamatan dan kasih sayang.
Tempat yang penuh dengan keselamatan dan kasih sayang ini menjadi rumah bersama bagi siapapun. Semua orang dengan latar agama apapun diterima dengan hangat di Vihara ini.
Hal ini dibuktikan dengan acara Haul Gus Dur tahun 2019 kemarin, dimana seluruh umat beragama yang ada di Cirebon, baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan tentunya agama Budha, ikut hadir dalam momen tersebut. Mereka duduk bersama-sama, bercengkrama, berdialog, berdiskusi, dan ngobrol dengan mereka yang berbeda. Dalam haul ini tidak ada sekat yang menghalangi mereka untuk saling kenal mengenal satu dengan yang lainnya.
Terlebih, acara yang diselenggarakan di Vihara tersebut ditutup dengan dikumandangkannya adzan salat Magrib, buka puasa bagi umat Islam dan melalui kepercayaannya masing-masing, mereka semua sama-sama mendoakan sosok Gus Dur. Semua menjadi haru dan bahagia karena menyadari bahwa keberagaman yang dibuktikan secara nyata ini adalah menjadi satu ciri khas kenapa kita hidup di Indonesia.
Dengan acara haul Gus Dur ini setidaknya telah menjadi saksi bahwa keberagaman dan perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan yang sangat indah, dimana kita semua tidak bisa meninggalkannya.
Keindahan dan kedamaian yang dimiliki saat ini oleh umat agama Buddha atau etnis Tionghoa tidak serta merta membuat mereka aman dari berbagai diskriminasi dan ancaman yang dulu pernah dirasakan.
Pada masa Orde Baru, tentu kita tidak bisa melupakan bahwa etnis Tionghoa pernah mengalami berbagai kekangan dari Pak Soeharto. Misalnya beliau mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok. Inpres tersebut menetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, dapat dipahami bahwa waktu dulu seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, tarian Barongsai, Liong dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka dan dilarang dipertunjukkan pada publik.
Dari sini kita bisa bayangkan bagaimana waktu dulu negara ini tidak adil kepada minoritas, negara ini sangat diskriminasi, negara ini penuh dengan kekangan, ancaman yang menakutkan dan lain sebagainya kepada mereka orang-orang etnis Tionghoa yang sama-sama sebagai warga Indonesia. Tetapi kepedihan itu akhirnya bisa diobati dengan diangkatnya KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden ke-4.
Gus Dur membuka kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 pada tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur yang hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya.
Melalui Inpres tersebut, setidaknya memberikan angin segar kepada mereka warga etnis Tionghoa, akhirnya mereka bisa untuk kembali merayakan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, tarian Barongsai, Liong dan sebagainya.
Dengan dipilihnya Gus Dur sebagai kepala negara, bagi saya adalah sebuah keputusan yang tepat. Sebab, melalui keputusan yang dikeluarkan oleh Gus Dur, Gus Dur ingin mengangkat kembali harkat dan martabat orang Tionghoa. Karena bagi Gus Dur, mereka adalah sama seperti kita sebagai warga Indonesia.
Maka, dari sosok Gus Dur, kita bisa belajar bahwa memanusiakan manusia itu harus benar-benar selalu dipraktikan kepada siapapun orangnya, apapun agamanya, sukunya dan bahasanya. Kita bisa memulainya dengan sama-sama saling bersikap dan berperilaku untuk menghargai, menghormati, menyayangi, dan menjaganya dalam bingkai keutuhan bangsa.
Perayaan Tahun Baru Imlek di Cirebon
Setelah adanya kebijakan tentang kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa yang diberlakukan sejak era kepemimpinan Gus Dur, maka kini, tahun baru Imlek bisa dirayakan dengan meriah oleh orang-orang Tionghoa diseluruh Indonesia. Termasuk di Kota Cirebon sendiri, pada tanggal 25 Januari 2020 nanti Vihara Dewi Welas Asih akan merayakan tahun baru Imlek ke 2571.
Imlek memang menjadi perayaan yang sarat akan membawakan kebahagian kepada siapapun yang menyaksikannya termasuk kepada umat Islam sekalipun. Dalam perayaannya tidak jarang mereka yang muslim ikut juga terlibat bahkan menjadi bagian dari untuk memeriahkan acara tersebut. Misalnya dalam beberapa perayaan, Vihara Dewi Welas Asih sering mengajak Sanggar Seni Sekar Pandan dari Keraton Kacirebonan untuk ikut mengisi dalam memeriahkan perayaan tahun baru Imlek.
“Kita sering mengajak teman-teman muslim terutama Sanggar Seni Sekar Pandan dari Keraton Kacirebonan untuk ikut terlibat dalam berbagai perayaan,” kata Romo Djunawi.
Dengan mengikut sertakan teman-teman muslim, saya yakin momen perayaan ini menjadi wadah yang baik untuk menghilangkan prasangka buruk dari dalam diri seseorang dan sekaligus menjadi sebuah strategi untuk merawat negeri ini dari berbagai perpecahan serta menjadi strategi untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa damai kepada negeri ini atas indahnya sebuah keberagaman.
Dalam perayaan tahun ini, Romo mengingatkan bahwa kita harus banyak mengevaluasi diri, hal buruk apa yang pernah dilakukan, mari untuk diperbaiki dan dihilangkan. Kemudian hal baik apa yang pernah dilakukan, mari untuk dipertahankan dan tentunya mari untuk lebih memperbanyak lagi untuk saling berbuat kebaikan kepada semua orang.
Dengan begitu, saya yakin melalui Imlek ini kita bisa belajar bahwa merawat keberagaman itu adalah sebagai sebuah kekuatan untuk menjaga keutuhan bangsa. []