Sore itu, ketika sewindu haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Fahmina, Cirebon. Sudah banyak yang diceritakan Mba Alissa Wahid tentang Gus Dur. Ceritanya hidup sekali, karena diceritakan oleh orang terdekat beliau. Alissa adalah anak sulung Gus Dur. Berikut Gus Dur menurut Mba Alissa.
Tentang bagaimana Gus Dur yang 2 bulan sebelum kematiannya masih mengurusi TKI yang terkena vonis di Timur tengah. Sayangnya ketika orang tersebut sudah bebas serta ingin menyampaikan Terima Kasih kepada beliau, beliau sudah pergi terlebih dahulu.
Ia juga bercerita saat ia menjadi presentator dalam sebuah acara, salah satu peserta dari Thailand menangis ketika mengetahui adalah anak dari Gus Dur. Ia sangat berterima kasih, karena terdapat banyak sumbangsih Gus Dur akan keragaman yang kini ada di Thailand.
Mba Alissa mempreteli satu-satu nilai kearifan Gus Dur dengan cerita-cerita dalam kehidupan yang jarang diketahui khalayak. Banyak sekali cerita-cerita dari Mba Alissa tentang Gus Dur. Hingga sampailah pada nilai yang menjadi ciri khas Fahmina: kesetaraan.
Dalam aspek kesetaraan perempuan, seperti yang dikisahkan Mba Alissa bahwa Gus Dur memang tidak banyak menulis tentang perempuan.
Dalam keluarga, Mba Alissa juga bercerita tentang bagaimana Gus Dur sangat egaliter. Ketika Mba Alissa menikah, Ibu Sinta Nuriyah melarang Mba Alissa untuk mencuci kaki suaminya dan itu langsung disetujui Gus Dur.
Itu membuktikan bahwa Gus Dur tidak melanggengkan budaya yang bersifat patriarki. Ia menyetujui mengubahnya jika memang itu tidak sesuai dengan nilai keadilan.
Bahkan Gus Dur membebaskan semua anaknya untuk memilih jalan kehidupan mereka. Tidak memaksa mereka berkuliah, berkarir apalagi menikah. Terserah mereka.
Padahal seperti yang kita tahu beliau berasal dari keluarga pesantren yang masih sangat kental dengan budaya perjodohan. Apalagi anak beliau kesemuanya adalah perempuan yang menurut mayoritas dalam budaya kita harus lebih sering diatur.
Ketika pengambilan rapot SMA Mba Alissa, yang datang dan mengambilkan Rapot adalah Gus Dur karena Ibu Sinta harus mendatangi sebuah acara. Ini berarti pengambilan peran di keluarga Gus Dur sangat fleksibel dan bukan hanya berdasarkan konstruk gender yang dibangun masyarakat.
Dalam ranah legal, Gus Dur memberikan sumbangsih luar biasa untuk kesetaraan. Ketika beliau menjadi Ketua PBNU, dia mengubah tafsir keagamaan NU yang dulunya cenderung bercorak patriarkal menjadi lebih ramah gender. Itu dibuktikan dengan banyaknya keputusan NU yang ada. Ketika beliau menjadi Presiden, kebijakan yang ramah perempuan juga banyak dimunculkan.
Ini ditulis untuk sebuah refleksi di Haul Gus Dur juga untuk memperingati Hari HAM dan berakhirnya 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 10 Desember kemarin. Gus Dur sudah mencontohkan kepada kita bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
Ia memberikan teladan tanpa sorotan, kita banyak mengetahuinya dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Jika mengambil kata KH. Husein Muhammad, ia adalah Sang Zahid.
Kita tinggal melanjutkannya. Terus berjuang dan semoga ke depan tidak ada lagi kasus menyerupai Tuti Tursilawaty, Baiq Nuril, Agni, dan kasus-kasus serupa lainnya.
Selamat Hari HAM dan 16 HAKTP. Kami rindu, Gus. Dan Gus Dur menurut Mba Alissa[]