Suara sumbang pengamen kecil dengan bunyi gitar fals membangunkannya dari tidur. Matanya masih begitu berat ketika bunyi mesin bus yang ditumpanginya mati. Terminal Terboyo Semarang begitu terik. Debu seketika mengepul bersama laju bus-bus besar antar kota maupun propinsi yang lalu lalang.
Suara lirih adzan dzuhur dari mushola terminal sesekali ditelan deru mesin, teriakan calo dan kondektur, suara datar pedagang asongan menawarkan dagangan dan hiruk pikuk manusia dengan segala aktivitasnya masing-masing.
“Tidak turun, Mas. Sudah sampai.” Sapa kondektur.
“Oh ya, maaf, Pak. Simpang Lima naik angkot yang mana ya, Pak?
“Itu, warna merah. Sepertinya mau berangkat itu, Mas.”
Buru-buru Rohim mengejar angkot yang mulai keluar terminal. Angkot yang tidak terlalu sesak itu melaju menyusur di tengah terik dan kepulan asap yang menyelimuti ruas jalan. Rohim mengintip dari balik kaca jendela. Matanya disibukkan untuk melihat pemandangan kota yang sungguh baru dalam pengalaman hidupnya. Maklum, ini pertama kali ia ke Semarang. Nekat. Ya, ia hanya berbekal nomor telpon Akbar, teman yang ditujunya. Masih ia terngiang kejadian pagi tadi di rumah.
“Pokoknya Abah tidak setuju kalau kamu kuliah, Rohim”
“Abah egois. Apa semua anak Kyai harus mondok dan mewarisi pondok. Apa tidak boleh mencari pengetahuan di bangku kuliah?”
“Pokoknya abah tidak setuju”
*****
“Gila kamu, Rohim. Jadi kamu ke sini untuk pelarian.”
“Maaf, Bar, boleh kan aku numpang di sini.”
“Ya, boleh-boleh saja, tapi gimana dengan orang tuamu?.”
“Sudahlah,” tanpa menghiraukan Akbar, Rohim merebahkan tubuhnya di atas kasur kumal. Mungkin karena kesal dan kecapean, Rohim langsung terkapar dengan pulasnya. Akbar hanya geleng-geleng kepala melihat sahabat karibnya itu.
Rohim terlelap dan bermimpi. Masya Allah, gila! Zaman memang sudah kebalik. Semuanya berubah seiring arus kemajuan kota, atau istilahnya modernisasi. Mata Rohim terus memelototi gadis-gadis kampus. Tak habis-habisnya ia menebar pandang ke segala penjuru.
Hasilnya sama. Aurat terumbar, gumamnya. Zina mata begitu mudahnya terjadi. Bagaimana tidak. Dengan pakaian ketat, yang menonjolkan lekuk tubuh, dan sesekali pusar tersingkap. Belum lagi dengan paduan celana yang ngepres. Wah, klop sudah.
Itu belum seberapa, di kantin kampus Rohim terperangah. Lelaki dan perempuan bercengkerama sambil, dan sesekali berkelakar dan ada cewek merokok lagi. Gawat, kalau sudah begini. Bagaimana mereka kelak sebagai orang tua yang harus bertanggung jawab mendidik anak-anaknya kalau masa mudanya saja ugal-ugalan kayak gini.
Rohim mengelus dada. Sementara Akbar yang sejak tadi mengikuti gerak-gerik sahabatnya tersenyum kecut. Maklum, Rohim sejak kecil terdidik di lingkungan pesantren yang diasuh abahnya sendiri, mulai dari bayi sampai tamat madrasah aliyah. Tak heran jika ia gagap dengan dunia kota yang sangat fulgar, di mana gaya hidup menggerus etika dan moral yang telah lama mengakar dalam sendi kehidupan.
Rohim melangkah ke luar kamar kost yang hanya berukuran 33 meter. Ia menyusuri lorong-lorong perumahan. Gang demi gang dilaluinya, hingga membawanya pada jalan raya kota. Meski telah larut, suasana masih ramai. Warung-warung masih menjajakan dagangannya. Kendaraan lalu-lalang, sesekali berhenti pada lampu merah. Kerlap-kerlip lampu dari gedung, baliho, maupun sorot kendaraan menandakan masih adanya kehidupan. Ya, siang dan malam tak ada bedanya di sini. 180 derajat terbalik dengan desa, di mana malam adalah peraduan melepas penat.
Kedua kakinya mengantarkannya di alun-alun kota. Pandangannya mampir pada sebuah warung remang-remang. Matanya tersentak. Seorang gadis muda dengan genit melayani pembeli setengah baya. Dan sesekali tangan lelaki itu nyasar pada tubuh gadis itu.
Orang tua macam apa yang membiarkan anaknya yang masih ingusan itu bekerja selarut ini dengan model beginian?, batin Rohim. Kembali matanya bergerilya. Dilihatnya deretan warung-warung dengan pemandangan yang sama persis dengan apa yang baru saja di lihatnya.
Langit begitu pekat. Bulan redup, bintang bersembunyi di balik tabir jubah malam. Ia putuskan hengkang dari alun-alun. Ia terus berjalan hinga tanpa sengaja ia sampai pada pangkalan PSK, ada perempuan dan waria. Ia hendak berlalu, tapi tangan seorang waria menahannya.
“Eh, Mas, mau ke mana? Saya temani yuk!”. Ih, ia meronta. Kehidupan apalagi ini. Manusia telah menyalahi kodratnya sendiri. Benar-benar gila, edan!. Ia mencoba melepasakan diri dari gerombolan waria itu, yang disertai kelakar dari mereka.
Setelah beberapa kali cubitan para waria itu mendarat di wajahnya, barulah ia dilepaskan. Sekuat tenaga ia berlari, entah ke mana yang penting lolos dari lorong gelap itu. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Ditaruhnya tubuhnya pada kursi halte. Ia mencoba mengatur nafasnya.
Nampak dari arah samping dua laki-laki sangar menghampirinya. Kali ini Rohim merasa ketakutan. Di halte ini begitu lengang. Hanya seseakali ada kendaraan yang lewat. Dua lelaki itu kini sudah duduk mengapitnya. Yang duduk di kanannya, berkumis tebal dan berambut gondrong. Telinganya penuh dengan anting. Kalung rantainya melingkar di leher yang bertato. Ih, serem, pikirnya. Sedang yang di samping kirinya tak kalah sangarnya. Berambut cepak, dengan muka kasar dan ada bekas goresan senjata tajam hingga memberi kesan angker wajahnya.
Keringat dingin mulai mengalir dari tubuhnya. Degup jantung kian kencang. Rasanya ia ingin cepat kabur dari halte itu. Tapi belum sempat pikirannya terlaksana, tiba-tiba lelaki yang di samping kanannya telah menodongkan sebilah belati tepat di lehernya.
“Serahkan dompetmu, cepat!, kalu tidak, kubunuh kau.” Ancam lelaki itu.
“Ayo, cepat! Sebelum kami nekat!” hardik lelaki yang satunya. Ketakutan menggelayuti pikirannya. Tubuhnya gemetar.
“Ma..ma…ma..af, Bang, saya tak bawa dompet,” ucapnya terbata-bata.
“Ah! Bohong kamu!,” gertak lelaki itu sambil menggerayangi saku celana maupun baju rohim. Tapi hasilnya nihil.
“Sialan, rupanya anak ini kere. Ayo pergi.” Kedua lelaki itu berlalu dengan berbagai umpatan, setelah sebelumnya mendaratkan pukulan. Meski tidak terlalu keras, namun cukup untuk membuat memar pipi kiri Rohim.
“Alhamdulillah…” ucap Rohim lega sambil meringis kesakitan. Ia ingin cepat pulang, tak mau ada bahaya mengancamnya lagi.
Untung dompetnya ketinggalan di kamar Akbar. Kalau tidak, hari-hari berikutnya makan pakai apa?. Padahal uang saku dari ibunya yang merasa tidak tega anaknya pergi tanpa bekal, boleh dibilang pas-pasan untuk ukuran kota Semarang. Namun yang lebih membuat Rohim bersyukur adalah nyawanya.
Coba kalu kedua lelaki tadi saking jengkelnya langsung menikamkan belatinya tepat di jantung Rohim, mungkin keesokan harinya, mayatnya masuk berita kriminal seperti, tikam, buser, patroli dan lainnya. Lalu orang tuanya akan dirundung kepedihan dan rasa bersalah karena membiarkan Rohim pergi dari rumah. Kemudian Rohim tinggal nama selepas tujuh hari kematiannya.
Pikiran-pikiran konyol itu segera diusirnya jauh-jauh. Kini ia berkonsentrasi mengingat arah dan jalur mana untuk sampai ke kosan Akbar. Hampir satu jam ia berjalan, tapi tidak ada titik terang. Ia mulai panik. Dilihatnya gang-gang yang berjejer di tepian jalan.
Parahnya, ia tidak hafal keluar dari gang mana tadi ia pergi. Suasana nampak lengang, sepi, karena malam menjumpai fajar. Tanya pada siapa kalau keadaannnya begini, batinnya menggerutu. Tanpa pikir panjang ia pilih gang nomor dua dari pijakannya. Langkahnya memecah hening gang sadewa yang telah ditinggal lelap penghuninya. Ia belok kiri. Ah, rupanya di gardu ada orang, batinnya sedikit lega. Ia menghampiri gardu.
“Maaf, Bang. Numpang tanya, kalau jalan Delima gang III itu sebelah mana,? Tanya Rohim sambil menyaksikan berapa pemuda yang lagi asyik menenggak minuman dalam botol. Ya Allah, mengapa Engkau pertemukan aku dengan pemuda-pemuda pemabuk ini. kehidupan apalagi yang kau perlihatkan padaku, Ya Allah. Pemuda yang seharusnya menjadi generasi penerus, menjeburkan diri dalam kubangan kehancuran yang mereka gali sendiri.
“Hai, bocah semprul. Sana pergi!, ganggu orang senang-senag saja,” hardik satu dari mereka dengan mata memerah. Apa boleh buat, ia langsung berjingkat dari gardu itu, tak mau cari masalah.
Ia terus berjuang mencari kosan Akbar dengan menyusuri gang demi gang. Lelah tak dirasakannya lagi, yang penting ketemu jalan dan gang yang dicarinya. Kini ia teringat rumah. Bapak, ibu, kakak-kakanya, adiknya, santri-santri bapaknya, mampir dalam pikirannya. Ia mulai membenarkan perkataan bapaknya.
Dunia kota seperti arus yang akan membawanya terombang-ambing, membawanya pada dunia lain yang perlahan lepas dari nilai-nilai agama yang selama ini ia agung-agungkan di rumahnya, pesantren dan masyarakat sekitarnya. Perkataan Akbar sore tadi juga mampir dalam otaknya.
“Kalau belajar ilmu-ilmu sosial, filsafat, sastra, tidak selamanya harus mengenyam bangku kuliah. Banyak tokoh dunia yang lahir tanpa embel-embel gelar sarjana. Karena bagi mereka, pendidikan sejati adalah ada pada kemauan seseorang untuk selalu ingin tahu dengan membaca, diskusi dan berkarya.
Contoh saja, Gus Dur, tokoh idolamu itu. Dia besar dari latar pesantren, tapi kiprahnya di jagad pendidikan maupun panggung politik, tidak ada yang menyangsikan. Semuanya tergantung bagaimana cara kita memahami realitas yang ada.”
“Benar juga perkataan Akbar. Mungkin aku terlalu memaksa diri tanpa mempedulikan pendapat orang lain” desisnya.
Adzan subuh bersahutan dari segala penjuru. Bertanda dimulainya babak baru kehidupan. Setelah berputar-putar sekian lamanya, akhirnya ia temukan juga kosan Akbar.
Pagi itu Akbar bangun kesiangan. Dilihatnya Rohim tidak ada di sampingnya. Matanya tertuju pada sebuah kertas yang tertempel di pintu kamarnya. Aku pulang, Akbar. Abahku pasti mencemaskanku. Terima kasih atas tumpangannya (Sahabatmu, Rohim). []