• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Hikayat Kedermawanan Para Penguasa

Inilah contoh betapa dermawannya para penguasa pada zaman dahulu, jika kita bandingkan dengan penguasa di masa sekarang.

Salman Akif Faylasuf Salman Akif Faylasuf
27/12/2024
in Hikmah
0
Hikayat Kedermawanan

Hikayat Kedermawanan

4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Alkisah, inilah hikayat kedermawanan para penguasa di zaman dulu, bahwa suatu waktu pada masa musim paceklik di tanah Mesir, gubernur Abdul Hamid bin Sa’ad berkata;

“Demi Allah Swt.! Pasti aku akan memberitahu kepada syaitan bahwa sesungguhnya aku adalah musuh sejatinya yaitu dengan cara bersedekah kepada rakyatku.” Akhirnya, Abdul Hamid memenuhi kebutuhan mereka yang kesusahan dan membuat keadaan stabil kembali sehingga daya beli masyarakat pulih.

Tak lama kemudian, Abdul Hamid lengser dan tergantikan oleh gubernur baru. Setelah sudah tidak lagi menjabat gubernur, Abdul Hamid kemudian bersedekah dengan harta-hartanya sendiri, sekalipun dengan cara berhutang.

Karena hutangnya kepada para pedagang menumpuk dan ia tidak punya kemampuan untuk membayarnya kembali. Akhirnya Abdul Hamid menggadaikan perhiasan istri-istrinya untuk membayar hutangnya tersebut.

Bagaimana tidak menggadaikan perhiasan istri-istrinya, nilai semua perhiasaan tersebut sudah berada di angka 5000.000 dirham. Alias lebih tinggi dari jumlah semua hutangnya yang 1000.000 dirham.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Itu sebabnya, perhiasan-perhiasan yang sudah tergadaikan tersebut tidak bisa Abdul Hamid tebus kembali. Atas kejadian ini, Abdul Hamid menulis surat kepada para pemegang perhiasan gadainya agar supaya perhiasan yang sudah tergadaikan tersebut mereka jual saja.

Abu Thalib ibn Katrisin bertemu seorang lelaki yang tahu bahwa dirinya kelompok syiah dan meminta tawassul dari sayyidina Ali, “Demi haknya Ali bin Abi Thalib, sesungguhnya engkau akan memberikan kepadaku kebun kurma di tempa ini.”

Abu Thalib berkata, “Aku telah melakukannya demi haknya Sayyidina Ali. Sungguh aku akan memberikan kebun kurma yang engkau minta.”

Kisah Abu Mirzad

Abu Mirzad adalah seorang dermawan dan para penyair selalu memuji-mujinya. Ini adalah cerita tentang hikayat kedermawanan penguasa yang lain. Kemudian Abu Mirzad berkata kepada penyair tersebut,

“Demi Allah! Wahai penyair, aku tiada ada harta untuk diberikan kepadamu sebagai honor, tetapi bawalah aku kepada seorang qadhi (hakim) dan mendakwalah engkau kepadaku sejumlah 10.000 dirham (utang) sehingga bisa aku bayar kepadamu (dengan mengaku-aku buat bayar utang), dan katakan kepada qadhi untuk penjarakan aku karena tidak mampu bayar utang. Sementara keluargaku tidak akan tega membiarkan aku dipenjara sehingga mereka akan menebusku.”

Karena permintaannya Abu Mirzad demikian, akhirnya si penyair ini melakukan perkataan Abu Mirzad dan karenanya Abu Mirzad ditebus 10 dirham. Yakni untuk ia berikan kepada penyair agar tidak menetap di dalam penjara.

Kata Gus Ulil, inilah contoh orang yang dermawan. Ia berani melakukan rekayasa di depan hakim seolah-olah mempunyai hutang dari seseorang. Dan apabila hutangnya tidak terbayar, maka ia siap dimasukkan ke penjara. Begitulah kedermawanan Abu Mirzad.

Anda tahu? Pada zaman dahulu, posisi para penyair sangat tinggi dan syairnya sering menjadi hafalan orang-orang. Dan jika para penyair sudah mengarang syair, apalagi syairnya sangat bagus, maka seketika syairnya akan langsung viral, sehingga orang-orang menjadi takut jika dia disyairkan dengan caci-makian. Jelasnya, syair pada masa itu adalah medium untuk menyebarkan apapun.

Kisah Gubernur Ma’an bin Zaidah

Seorang gubernur Ma’an bin Zaidah didatangi oleh seorang penyair di negeri Irak tanah Bashra. Penyair ini tinggal selama waktu tertentu. Karena kesibukannya, si gubernur tidak sempat bertemu si penyair, akhirnya si penyair berkata kepada pembantunya, “Saat tuanmu sedang istirahat atau pada saat jalan-jalan di kebun, tolong kenalkanlah aku kepada gubernur.”

Suatu waktu, ketika Ma’an sedang jalan-jalan, dengan cepat si penyair membuat syair di sepotong papan kayu dan ia ceburkan di air agar sampai kepada si gubernur. Sepotong kayu tadi mengikuti air yang mengalir masuk ke kebun gubernur dan akhirnya sampai di ujung parit. Sang gubernur melihat dan membacanya. Bunyi isi syairnya:

أيا جود معن ناج معنا بحاجتي * فما لي إلى معن سواك شفيع

Artinya: “Wahai kedermawanannya Ma’an, berbisiklah engkau kepada gubernur tentang kebutuhan-kebutuhanku, maka tidak ada kebutuhanku darinya selain engkau sebagai makelarnya.

Ma’an bin Zaidah berkata, “Siapakah yang mempunyai papan kayu ini?” Kemudian sang penyair dipanggil dan diminta untuk membacakannya, “Bacakanlah kepadaku syair ini.” Selesai membaca syair, akhirnya sang gubernur memberikan 10 kantong uang kepada penyair tersebut.

Teladan Kedermawanan Penguasa di Masa Lalu

Tak berhenti di sini, potongan papan kayu yang berisi syair itu ia letakkan di bawah karpet. Di lain hari, ketika membaca kembali syair di papan kayu itu, Ma’an terharu kembali dan menyuruh agar sang penyair disuruh panggil untuk diberikan honor kembali sebanyak 100.000 dirham.

Ketika si penyair mengambil 100.000 dirham itu, ia menjadi khawatir harta sang gubernur akan habis untuk diberikan padanya setiap baca syair itu. Akhirnya, ia pun pergi dari kediaman gubernur.

Di lain hari ketika sang gubernur membaca syair itu lagi, spontan ia menyuruh memanggil si penyair untuk diberikan honor. Akan tetapi, si penyair tidak mereka temukan karena sudah pergi. Sang gubernur kemudian berkata, “Aku akan memberikan harta kepada si penyair itu sehingga tidak ada harta sama sekali yang tersisa di kas uangku.”

Inilah contoh betapa dermawannya para penguasa pada zaman dahulu, jika kita bandingkan dengan penguasa masa sekarang. Jangankan bicara soal kedermawanan, katakanlah membantu seikhlasnya. Justru para koruptor tumbuh subur dan semakin merajalela. Wallahu a’lam bisshawab. []

 

Tags: Akhlak MuliaHikayat KedermawananHikmahislamsejarah
Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait Posts

Bersyukur

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

19 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version