Mubadalah.id – Dalam sistem demokrasi yang baik, hak politik penyandang disabilitas seperti hak memilih dan dipilih sejatinya adalah hak universal yang tidak boleh terbatas oleh kondisi fisik, indera, maupun kognitif seseorang. Demokrasi kehilangan maknanya jika ada sebagian warga negara yang terpinggirkan hanya karena keterbatasan yang mereka miliki.
Sayangnya, realitas di lapangan sering berkata lain. Akses terbatas, stigma sosial, dan kebijakan yang belum berpihak membuat disabilitas terus berjuang demi partisipasi politik yang setara.
Memahami Hak Politik sebagai Ruang Partisipasi Setara
Hak politik merupakan salah satu hak dasar yang melekat pada setiap warga negara dalam kehidupan bernegara. Para ahli memberikan definisi yang beragam, namun pada dasarnya mengarah pada pemahaman yang sama, yakni hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik.
Menurut Jimly Asshiddiqie, hak politik adalah bagian dari hak asasi manusia yang berhubungan langsung dengan sistem demokrasi, yaitu hak untuk dipilih dan memilih, serta hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Sementara itu, Miriam Budiardjo mendefinisikan hak politik sebagai hak warga negara untuk ikut serta dalam kehidupan politik, termasuk memberikan suara dalam pemilu, membentuk partai politik, hingga menduduki jabatan publik.
Dari pandangan para ahli tersebut, jelas bahwa hak politik bukan hanya sebatas menggunakan hak pilih di bilik suara. Lebih dari itu, hak politik mencakup kesempatan luas untuk memengaruhi arah kebijakan negara, baik secara langsung maupun melalui perwakilan.
Jaminan Konstitusi terhadap Hak Politik Disabilitas
Konstitusi Indonesia memberikan jaminan yang tegas terhadap hak politik warga negara, termasuk hak politik penyandang disabilitas. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Kemudian, Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Artinya, penyandang disabilitas pun memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam politik, baik dengan memilih maupun mencalonkan diri sebagai kandidat.
Tidak berhenti sampai di situ, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga menegaskan jaminan hak politik bagi penyandang disabilitas.
Kedua regulasi ini menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak memilih dan dipilih selama memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa hak politik penyandang disabilitas menjadi bagian dari jaminan konstitusional yang tidak dapat kita kesampingkan. Negara, melalui konstitusi dan berbagai undang-undang turunannya, menegaskan komitmen untuk menghadirkan kesetaraan bagi semua warga negara tanpa kecuali.
Tantangannya kini adalah memastikan bahwa jaminan hukum tersebut benar-benar diwujudkan dalam praktik, sehingga hak politik penyandang disabilitas tidak hanya diakui secara normatif, tetapi juga difasilitasi aksesibilitasnya agar bisa berpartisipasi secara penuh dalam demokrasi.
Tantangan yang Dihadapi Penyandang Disabilitas
Meskipun telah ada jaminan hukum, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak hambatan. Pertama, dari sisi penyandang disabilitas sebagai pemilih, aksesibilitas tempat pemungutan suara (TPS) masih sering tidak ramah disabilitas.
Kedua, dari sisi yang mencalonkan diri, penyandang disabilitas masih menghadapi stigma sosial dan minimnya dukungan politik. Laporan Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas (PPUA Penca) menyebutkan bahwa jumlah caleg penyandang disabilitas sangat sedikit dan jarang yang berhasil lolos ke parlemen.
Faktor penyebabnya antara lain keterbatasan biaya politik, rendahnya kepercayaan partai, serta stereotip masyarakat yang meragukan kapasitas mereka.
Prinsip Keadilan dalam Islam terhadap Hak Politik Disabilitas
Dalam perspektif Islam, setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Al-Qur’an dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa yang membedakan manusia hanyalah ketakwaannya, bukan kondisi fisik atau kemampuan jasmani.
Dalam konsep Siyasah Dusturiyah atau Hukum Tata Negara Islam, prinsip keadilan (‘adl) dan persamaan (musawah) menjadi dasar penting dalam mengatur kehidupan bernegara.
Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menjelaskan bahwa pemimpin wajib menjamin hak seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Dengan demikian, menutup akses atau hak politik bagi penyandang disabilitas bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.
Selain itu, Islam juga mengajarkan nilai maslahah (kemaslahatan) yang menekankan bahwa kebijakan negara harus mengakomodasi kepentingan semua pihak, termasuk kelompok rentan. Maka, penyandang disabilitas memiliki hak untuk dilibatkan dalam politik sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan sosial.
Nabi Muhammad SAW juga memberikan teladan nyata tentang penghormatan terhadap penyandang disabilitas. Abdullah bin Ummi Maktum seorang sahabat yang memiliki kekurangan fisik berupa kebutaan (tuna netra), diberi kehormatan untuk menjadi muadzin. Kisah ini menunjukkan bahwa keterbatasan fisik tidak mengurangi kapasitas seseorang untuk memegang peran strategis dalam masyarakat.
Dengan demikian, prinsip keadilan Islam mendorong agar penyandang disabilitas tidak dipandang sebelah mata dalam urusan politik. Mereka memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi, menyampaikan aspirasi, dan menentukan arah kepemimpinan bangsa.
Konstitusi dan undang-undang di Indonesia menjamin hak politik penyandang disabilitas. Namun, mereka masih menghadapi berbagai tantangan berupa hambatan aksesibilitas, stigma, dan minimnya dukungan politik.
Dalam perspektif Islam, prinsip keadilan, persamaan, dan maslahah menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk membatasi hak politik penyandang disabilitas. Karena itu, negara, partai politik, dan masyarakat perlu berkomitmen memastikan penyandang disabilitas dapat berpartisipasi setara dalam politik. []