Mubadalah.id – Persoalan yang lebih mendasar adalah hak dan kesempatan bekerja, bukan nafkah itu sendiri. Nafkah adalah aktifitas lanjutan setelah seseorang bekerja dan memperolah harta sebagai hasil dari kerjanya.
Kewajiban nafkah akan menjadi sia-sia jika tidak tersedia lapangan pekerjaan bagi mereka yang wajib untuk memberikan nafkah.
Karena itu, kita harus memiliki terobosan-terobosan politik dan kebijakan agar setiap orang memiliki kesempatan bekerja dan menikmati hak-hak ekonomi mereka yang mendasar. Setiap orang juga harus negara pastikan memperoleh jaminan kerja yang aman. Serta perlindungan dan upah yang layak atas kerja yang laki-laki dan perempuan lakukan.
Dalam kompleksitas kehidupan sosial ekonomi yang tidak selalu menggembirakan, laki-laki dan perempuan pada praktiknya harus memiliki inisiatif dan melakukan inovasi-inovasi untuk memastikan kebutuhan-kebutuhan keluarga bisa tercukupi dan secara ekonomi aman serta terlindungi.
Anjuran untuk berusaha, berniaga dan bekerja banyak sekali ditemukan dalam berbagai ayat al-Qur’an dan teks hadits Nabi Muhammad Saw.
Lebih dari lima puluh tempat dalam al-Qur’an, keimanan selalu dikaitkan dengan amal shalih yang secara literal berarti kerja-kerja positif. Amal shaleh yang vertikal berarti ibadah-ibadah ritual kepada Allah SWT. Sementara amal shaleh yang horizontal adalah ibadah-ibadah sosial, politik dan ekonomi untuk kepentingan penguatan diri, kemandirian dan keadilan masyarakat.
Dalam berbagai kesempatan al-Qur’an seringkali menggunakan kata-kata bisnis dalam menyampaikan gagasan-gagasannya, seperti tijarah (perniagaan), syira (penjualan), bai’ (pembelian), mizan (timbangan) dan kata-kata lain.
Setidaknya, ini menunjukkan betapa al-Qur’an sangat dekat dengan dunia bisnis. Di samping memberikan apresiasi tersendiri terhadap mereka yang bergelut dalam dunia bisnis untuk kemandirian dan kesejahteraan. []