Mubadalah.id – Sebagai lembaga pendidikan dengan corak tradisional, pondok pesantren putri sebagai tempat tersemainya bibit-bibit keulamaan perempuan mau tidak mau menghadapi sejumlah hambatan kultural.
Pertama, terkait relasi sosial dan kultural yang bersifat partiarkhis dengan batasan-batasan yang ketat. Hal ini membuat peran Nyai lebih sering terbatas pada dunia santri perempuan saja.
Padahal dengan potensi keilmuan yang ia miliki. Terutama sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, ulama perempuan dapat mentransformasikan keilmuannya bagi semua santri, laki-laki atau perempuan.
Kedua, dari sisi potensi santri. Sebagian besar santri putri yang mondok di Babakan berasal dari pelosok-pelosok desa di Jawa Barat. Terutama Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Majalengka dan sekitarnya.
Pada tahun 1990-an, dan mungkin saja hari ini sudah berubah, melalui pola-pola kehidupan tradisional yang dianut masyarakat. Bahkan banyak santri putri meski dengan potensi yang sangat baik dan masa belajar yang belum juga usai akan segera ditarik pulang untuk menikah jika dianggap waktunya tiba.
Hal ini tentu berpengaruh pada proses transmisi keilmuan yang membutuhkan waktu lama seperti dalam kitab Alala di atas.
Hal ini berarti potensi keulamaan juga seringkali terbentur dinding kultural yang sedemikian keras menyangkut posisi dan peran perempuan secara tradisional. Yakni terbatasnya ruang dan waktu yang ia dedikasikan untuk belajar.
Dengan kata lain, potensi keulamaan itu pada umumnya berkembang bagi mereka yang memilih studi lanjut dengan dasar-dasar pendidikan yang ia peroleh di Babakan tadi. []