Mubadalah.id – Apa yang terjadi jika kita membayangkan Tuhan sebagai perempuan? Saya percaya bahwa cara kita membayangkan Tuhan mempengaruhi cara kita berhubungan dengan-Nya, dan cara kita berhubungan dengan-Nya akan mempengaruhi cara kita berperilaku. Sejak Hawa memakan buah khuldi di Surga, tampaknya Tuhan mulai bersikap dingin terhadap perempuan. Dari sini teologi maskulin mulai ada.
Tulisan kali ini bukan hanya mempertanyakan nama Tuhan atau menukar kata ganti-Nya saja. Sebab, menurut Teolog Jerman, Dorothee Sölle dan Annmarie Schimmel, “masalahnya bukan tentang perubahan kata ganti tetapi juga cara kita berpikir tentang yang transenden: Tuhan.”
Sebelummya saya sudah membuat tulisan tentang ekofeminisme yang melihat Tuhan sebagai sesuatu yang menyatu dan dekat dengan alam (yang tak lain adalah ciri khas kualitas feminin). Dalam tulisan kali ini pun juga sama, sebab Tuhan, menurut saya, tidak boleh lagi kita pahami sebagai sesuatu yang terpisah, melainkan sebagai sesuatu yang terikat dalam jaring kehidupan. Artinya, kita harus berpindah dari Tuhan-Di Atas-Kita ke Tuhan-Di Dalam-Kita.
Saya tidak mengatakan bahwa saya mendukung gagasan ekofeminisme 100%. Namun saya merasa bahwa memanggil Tuhan yang feminin berarti memperdalam penerimaan kita sendiri terhadap aspek puitis, intuitif, ekologis, pemeliharaan, kreatifitas, dan cinta di dalam diri kita. Aspek yang seharusnya ada pada diri laki-laki dan perempuan.
Bukan Tuhan Laki-Laki, Tuhan Perempuan Lah yang Lebih Dulu Ada
Tuhan feminin (dewi) sudah dianggap sesat di banyak budaya selama ribuan tahun. Hari ini dalam teologi maskulin, Tuhan lebih kita gambarkan sebagai sesuatu yang kejam, suka menghukum, tegas, terpisah, berada di atas, dan dingin. Tetapi jika kita melihat kembali ke sejarah kuno, kita akan menemukan bukti bahwa Tuhan feminin sudah mereka sembah di berbagai budaya di dunia selama ribuan tahun.
Jauh sebelum agama-agama Samawi hadir, banyak sistem kepercayaan yang sudah memuliakan perempuan suci, ketimbang pendeta atau ulama laki-laki sebagaimana teologi maskulin hari ini.
Dalam bukunya, ‘When God Was a Woman’ (1976), sejarawan Merlin Stone menelusuri bentuk penyembahan kuno terhadap Tuhan feminin di zaman Paleolitik dan Neolitik. Di Timur Dekat dan Timur Tengah, tulisnya, kita dapat menemukan bukti bahwa “perkembangan agama yang menyembah Tuhan perempuan di daerah ini berhubungan dengan awal mula lahirnya agama-agama besar di dunia.” Tuhan perempuan ini tidak kita ragukan lagi adalah eksistensi tertinggi.
Tuhan perempuan saat itu dianggap sebagai “pencipta, pembuat hukum, penyedia takdir manusia, penyembuh, pemburu dan pemimpin yang gagah berani dalam pertempuran.” Tulis Merlin.
Sejarah Tuhan Feminin
Perlu kita catat, banyak antropolog percaya bahwa masyarakat kuno, terutama era Paleolitik, cenderung matrilineal. Artinya, perempuan saat itu memegang status tertinggi di masyarakat, bukan laki-laki! Mengapa masyarakat kuno lebih matrilinear? Stone menjelaskan bahwa masyarakat pada masa itu menghormati pemujaan leluhur, di mana “konsep pencipta terumuskan oleh citra perempuan yang dianggap paling utama dalam kosmologi.”
Ini mereka buktikan dengan penemuan-penemuan para antropolog yang mempelajari ritus dan ritual masyarakat Paleolitik selama dua abad terakhir. Mereka menemukan patung-patung batu dan seni lukis yang tak terhitung jumlahnya. Di mana seni itu menggambarkan sosok perempuan suci di seluruh Eropa, Timur Tengah, dan India – beberapa berasal dari tahun 25.000 SM – yang mana menunjuk pada pemujaan Tuhan feminin.
Patung-patung dari periode yang mewakili Tuhan feminin (Dewi Ibu) banyak muncul di Kan’an (sekarang Palestina/Israel) dan Anatolia (sekarang Turki). Di tempat lain, patung-patung yang sama juga banyak muncul di seluruh wilayah Mesir kuno sejak 4000 SM.
“Penyembahan Tuhan perempuan di dunia kuno adalah variasi sebuah tema,” tulis Lynn Rogers dalam bukunya ‘Edgar Cayce and the Eternal Feminine’. “Penyembahan tersebut adalah representasi Tuhan Pencipta tertinggi di Sumeria, Mesir, Kreta, Yunani, Ethiopia, Libya, India, Elam, Babel, Anatolia, Kanaan, Irlandia, Mesopotamia, dan bahkan Yehuda dan Israel kuno. Dia adalah Tuhan abadi, tidak berubah, dan mahakuasa.”
Pemujaan Tuhan Perempuan
Di semua tempat, Tuhan perempuan mereka sembah dan tergambarkan dengan cara yang sama. Orang-orang Inuit menyembah Sedna, dewi laut. Sedangkan masyarakat Asyur dan Babilonia menyembah dewi Ishtar yang merupakan dewi cinta dan perang. Dalam budaya Astek, mereka menyembah Teleoinan yang anggapannya sebagai Ibunya Para Dewa.
Di Timur, terkhusus masyarakat Mesir kuno, mereka memiliki Isis. Sedangkan di Sumeria kuno, dewi utama mereka adalah Inanna, dewi cinta dan perang. Sementara itu, di Fenisia kuno, mereka memiliki dua dewi perempuan dengan status yang sama. Yaitu: Anat, dewi kesuburan, dan Astarte, atau yang lebih terkenal sebagai Venus.
Meskipun sejarah penyembahan Tuhan perempuan tampak begitu besar, namun itu tidak selalu berakhir baik. Sebab ketika perempuan semakin maju dan terkenal karena Tuhan feminin, kebencian teologi maskulin terhadap perempuan mulai terjadi. Setelah revolusi pertanian pasca Paleolotik, pemujaan Tuhan feminin pun benar-benar memudar. Bukan hanya merubah cara peribadatan kita. Namun juga merevolusi ide dan sudut pandang kita terhadap realitas dan posisi perempuan di dunia.
Tuhan Feminin Mulai Ditinggalkan
Ilmuwan berbeda pandangan dalam menjawab mengapa Tuhan feminin mulai tertinggalkan dan terlupakan. Tetapi banyak ahli menyatakan bahwa agama-agama maskulin (agama Samawi) dan budaya patrilineal yang masyarakat pertanian bawa adalah sebab utamanya.
Menurut Rogers, “Pada awal peradaban Barat, 25.000 tahun ‘kisah Tuhan perempuan’ telah dilenyapkan.” Dengan lenyapnya Tuhan feminin, kisah penciptaan mereka tulis kembali sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Simbol pemujaan Tuhan feminin kemudian dianggap sebagai bid’ah, dan “kepercayaan kuno pada Tuhan feminin sebagai dasar eksistensi pun mulai terbalik.”
Ketika Yahudi, Kristen, dan Islam berkembang di Timur Tengah dan Eropa. Agama-agama monoteis ini pun mulai memperkuat pemujaan terhadap tatanan baru yang sangat patrilineal (berfokus pada laki-laki). Teologi-teologi maskulin yang baru ini cenderung menempatkan perempuan dalam status subordinat, dengan seorang laki-laki sebagai suaminya yang dominan.
Penghapusan Tuhan Feminin
Dalam bukunya, Stone menulis dengan panjang lebar mengenai penghapusan Tuhan perempuan dalam sejarah. Pada saat itu para penyembah Tuhan feminin menjadi korban “berabad-abad penganiayaan dan penindasan yang dilakukan oleh para pendukung agama-agama baru yang menganggap Tuhan maskulin sebagai yang tertinggi.” Jatuhnya Tuhan feminin pun menghasilkan perubahan yang besar dalam agama-agama baru ini. Di mana status sosial perempuan mengalami penurunan di berbagai bidang, mulai dari agama, keluarga, hingga pendidikan.
Namun demikian, masih ada beberapa agama yang tetap setia pada Tuhan feminin. Dalam bukunya ‘The Path of the Mother’, Savitri L. Bess menunjukkan bahwa umat Hindu tidak pernah berhenti menyembah Ibu atau Dewi (Tuhan feminin). “Ibu, yang telah dikaburkan dalam bayang-bayang agama Barat selama ribuan tahun,” tulisnya, “dianggap sebagai kekuatan utama alam semesta.”
Dari Durga, yang tak kenal takut sampai Saraswati. Meskipun jarang kita temukan, bentuk penyembahan dewi-dewi Hindu ini setidaknya bisa menyoroti bagaimana kualitas-kualitas feminin mereka hormati.
Hari ini, kita lebih akrab dengan kisah penciptaan Adam dan Hawa dan kisah terusirnya mereka dari surga, yang banyak dianggap sebagai kesalahan Hawa. Alih-alih sejarah agama perempuan kuno yang dahulu dirayakan selama ribuan tahun.
Banyak dari kita yang mungkin mengatakan bahwa jatuhnya Tuhan feminin terjadi secara alami karena peradaban modern. Tetapi, seperti yang sudah para sejarawan dan teolog tunjukkan, sepertinya dominasi budaya patriarki sangat berhubungan dengan kejatuhan Tuhan feminin ini.
Para pemuja Tuhan maskulin selalu melemparkan narasi-narasi di mana bentuk penyembahan kepada Tuhan feminin sebagai bid’ah, kafir, cabul, dan primitif. Padahal bukti arkeologi sudah menunjukkan bahwa Tuhan sudah dianggap sebagai perempuan selama 200.000 tahun pertama sejak kehidupan manusia di bumi. Bahkan jika agama yang laki-laki dominasi berusaha untuk menggantikan tatanan matriarkal. []