Mubadalah.id – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah sejak Maret 2020 tidak menghalangi ibu-ibu itu untuk berkumpul dan mengadakan aksi di depan Pabrik Semen di daerah Kendeng. Para ibu bumi itu mengadakan aksi, terus melakukan upaya menegas kesadaran menjaga lingkungan, yakni dengan mempertanyakan pabrik semen yang tetap beroperasi di masa pandemi, masa di mana seharusnya semua orang menjaga jarak dan menghentikan kegiatan yang dapat menyebabkan penyebaran virus corona semakin massif.
Konflik antara para ibu bumi, para perempuan petani Kendeng dengan Pabrik Semen di daerah Rembang itu memang telah berlangsung bertahun-tahun. Aksi menolak keberadaan Pabrik Semen yang mengancam sumber air, ekosistem dan mata pencaharian mereka sebagai petani ini terus berlangsung karena titik terang hasil perjuangan mereka yakni hengkangnya pabrik semen dari Kendeng belum terlihat.
Bahkan, pada 9 April lalu telah ditandatangani perjanjian pendirian perusahaan patungan antara PT Semen Indonesia dengan enam Bumdes sekitar pabrik semen Rembang. Bagi perempuan-perempuan Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), hal ini menjadi sinyal kuat ke depannya bahwa penghancuran ekosistem Pegunungan Kapur Purba Kendeng akan semakin masif.
Masih belum lepas dari ingatan kita peristiwa tiga tahun silam, saat kelompok para ibu bumi yang sama mengadakan aksi menyemen kaki di depan istana negara memprotes pendirian pabrik semen di wilayah Kendeng. Dalam aksi tersebut, salah seorang diantara mereka yakni Bu Patmi, meregang nyawa, berpulang saat tengah menjalankan aksi.
Tak pelak kepergian Bu Patmi menjadi momentum bagi masyarakat Kendeng untuk terus membangun solidaritas menolak pabrik semen demi penyelamatan air dan lingkungan. Perjuangan yang terus berlangsung sampai saat ini, tiga tahun kemudian setelah beranjak dari peristiwa itu.
Secara historis, sebagai negara agraris, perempuan Indonesia memiliki peranan penting dalam pertanian. Penyebutan frasa “Ibu Bumi” dalam masyarakat adat Jawa misalnya, menunjukkan kedekatan perempuan dengan tanah yang diolahnya.
Tanah atau Bumi dikiaskan sebagai perempuan, yang mengandung, melahirkan dan memberikan diri seutuhnya untuk kelangsungan hidup generasi mendatang. Perempuan-perempuan Kendeng mungkin satu-satunya kelompok perempuan di negara ini yang harus berhadapan langsung dengan pengusaha, aparat, negara demi mempertahankan tanah mereka. Kartini Kendeng, begitu biasanya media menyebut.
Meskipun demikian, dalam konflik-konflik yang berkaitan dengan agraria dan lingkungan hidup, perempuan jarang terlibat langsung dan menjadi motor penggerak aksi seperti para Kartini Kendeng. Padahal, konflik yang berkaitan dengan agraria dan lingkungan membawa dampak sosial, psikologis dan ekonomis lebih berat kepada perempuan.
Secara ekonomis, ketiadaan akses perempuan terhadap tanah berkontribusi besar menyebabkan petani perempuan memilih pergi ke kota besar atau bahkan luar negeri untuk menjadi pekerja informal sebagai asisten rumah tangga.
Dalam konflik agraria yang melibatkan tindak kekerasan yang dilakukan baik oleh aparat dan penguasa, perempuan sering dijadikan sasaran intimidasi dan teror karena secara psikologis dianggap lebih lemah. Dan secara sosiologis, konflik agraria berdampak lebih berat kepada perempuan karena perempuan seringkali tidak memiliki “kuasa” terhadap dokumen-dokumen kepemilikan tanah.
Ketiadaan “kuasa” dalam kepemilikan tanah ini membuat perempuan tidak bisa mengambil keputusan atas tanah jika kemudian terjadi peralihan hak atas tanah. Kuasa kepemilikan tanah biasanya diberikan kepada laki-laki, sehingga laki-lakilah yang kemudian akan memutuskan apakah akan mempertahankan atau melepaskan tanah yang dimilikinya.
Personifikasi bumi sebagai ibu seharusnya menggerakkan kesadaran perempuan bahwa perempuan dapat berkontribusi lebih untuk menjaga “bumi” (dalam hal ini dapat berarti tanah atau lingkungan) sebagai sesama “ibu”. Para Kartini Kendeng adalah contoh nyata bahwa perempuan pun dapat melakukan tindakan ekstrim (jika dibutuhkan) dalam menjaga kelangsungan sumber daya alam.
Perjuangan mereka, meskipun masih jauh dari kata selesai, harusnya dapat melecut semangat perempuan lain untuk ikut menjaga bumi. Perempuan harus menyadari bahwa bumi adalah “ibu” yang memberi, dan dengan demikian, kelangsungan kehidupan di masa yang akan datang sangat bergantung pada kelestarian “ibu bumi”.
Banyak hal dapat dilakukan oleh seorang ibu untuk menjaga “ibu bumi”, dan tidak harus dengan sesuatu yang besar. Berkontribusi untuk menjaga kelestarian bumi bisa dimulai dengan hal sederhana dari diri perempuan itu sendiri. Perempuan bisa memulainya dari kegiatan yang bersifat pribadi. Misalnya, perempuan dapat berkontribusi menjaga kelestarian bumi dengan mulai memilih produk-produk yang ramah lingkungan.
Alih-alih memakai pembalut sekali pakai saat menstruasi, perempuan bisa mulai beralih menggunakan menstrual cup atau pembalut kain yang dapat digunakan berkali-kali sehingga mengurangi sampah dan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pembalut sekali pakai.
Perempuan bisa mulai memilah sampah dapurnya. Menjadikan kompos untuk sampah organik, dan menggunakan kembali dan mendaur ulang untuk sampah anorganik. Dimulai dari inisiatif pribadi, kegiatan ini bisa dimulai oleh keluarga dan untuk selanjutnya ditularkan kepada komunitas. Seorang perempuan bisa menjadi inisiator pengelolaan sampah di lingkungannya, dan kegiatan ini selain dapat membantu menjaga kelestarian bumi juga bisa bernilai ekonomis.
Perempuan dapat mulai bersuara jika terjadi perusakan alam. Sudah bukan waktunya lagi bagi perempuan untuk diam, memilih menutup mata dan telinga jika terjadi konflik atas tanah. Berada di ruang nyaman tidak berarti perempuan harus diam saja jika melihat perempuan lain memperjuangkan haknya, terutama hak atas tanah untuk menjamin penghidupan yang layak bagi keturunannya di masa yang akan datang.
Dalam situasi demikian, perempuan bisa memilih untuk bersuara mendukung perempuan lain yang sedang berjuang untuk tanahnya atas nama ibu bumi, atau jika tidak, setidaknya, jangan membuat suara-suara perempuan lain yang sedang berjuang, menjadi tenggelam.
Pada peringatan hari ibu tahun ini, tidak ada salahnya bagi para perempuan, bagi para ibu untuk mulai menyadari bahwa Bumi perlu dibela. Karena bumi bagaikan ibu yang telah memberi, maka jika ibu telah disakiti, akan datang suatu saat dimana ibu akan membalasnya. “Ibu Bumi wis maringi, Ibu Bumi dilarani, Ibu Bumi kang ngadili.” []