Mubadalah.id – Suatu hari saya mendengarkan kawan yang bercerita tentang seorang gadis yang hilang ingatan, karena tak mampu memenuhi ambisi ibunya, agar ia menikah dengan pria mapan dan dari keluarga terpandang. Kemiskinan, dan keterbelakangan ekonomi yang menginggapi sejak kecil, membuat Ibu menjadikan anak gadisnya sebagai aset yang bisa dipertukarkan dengan nasib baik.
Malang tak dapat diuntung. Pria idaman yang sudah berada dalam genggaman tak mau menikahinya, dengan seribu satu alasan yang membuat merah telinga siapa saja yang mendengarkan. Tanpa ucap perpisahan, pria yang diharapkan bakal menjadi menantu ideal tersebut pergi meninggalkan sang gadis begitu saja.
Karena tak mampu memenuhi ekspektasi sang Ibu yang berlebihan tersebut, sang gadis menjadi shock, dan mendapat tekanan mental yang hebat, sehingga membuatnya hilang ingatan, tak lagi bisa kenali sesiapa yang ada di sekitarnya. Bahkan tatapan kosong yang menyedihkan, masih meninggalkan banyak tanya, ada kisah apa yang ia sembunyikan? Ada suara apa yang tak mampu ia ungkapkan?
Meski telah melihat kondisi anak perempuannya seperti itu, si Ibu tetap tak merasa jera. Ia malah menjodohkan anak gadisnya itu dengan pria mana saja yang mau bersanding. Akhir cerita, datanglah laki-laki baik yang berkenan mendampingi sang perempuan, walaupun dengan segala keterbatasan yang ia punya, namun ia rela menemani sang gadis dengan setia.
Dari cerita kawanku itu, saya mengambil pelajaran berharga bahwa peran protagonis dalam kehidupan tak hanya perempuan, tetapi laki-laki juga bisa memerankannya dengan baik, selama rasa cinta, dan kemanusiaan itu menjadi pijakan untuk membuat keputusan dalam hidup ini. Lalu peran antagonis juga, tak selamanya dipegang laki-laki. Dalam kasus ini, sosok Ibu yang seharusnya mengayomi, dan melindungi dengan penuh kasih sayang, malah menjerumuskan anak gadisnya dalam nestapa yang tak berkesudahan.
Saya mengutip puisi tentang anak yang masyhur ditulis oleh Pujangga Sastra Kahlil Gibran:
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.
Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.
Melansir dari FX Dimas di laman ibunda.id, puisi Khalil Gibran ini seolah-olah mengisahkan tentang seorang anak yang mau mengungkapkan suaranya kepada orang tua mereka. Ini terlihat jelas dari setiap kata di dalamnya. Seperti seorang anak ingin menjadi diri sendiri, memiliki jati diri sendiri tanpa dibayang-bayangi pemikiran dari orang tuanya.
Ada juga kata-kata yang mengartikan jika seorang anak pun ingin menjadi generasi pengubah. Generasi pengubah di sini maksudnya ingin mengubah pemikiran orang tuanya, lalu mereka akan menyesuaikannya dengan perkembangan di zaman sekarang. Anak ingin membuat perubahan zaman yang ada pada masa depan mereka sendiri, tanpa dihantui oleh pemikiran dari orang tuanya sendiri.
Dari puisi ini pula orang tua juga diajarkan untuk tidak memberikan pemaksaan atas semua keinginan atau bahkan harapannya kepada si anak. Mereka boleh saja menginginkan sesuatu kepada si anak, yang coba ingin dihindari adalah sebuah pemaksaan kehendak. Tidak bisa dipungkiri banyak orang tua yang terlalu memaksakan kehendak mereka kepada si anak, hal ini yang sering membuat si anak menjadi memberontak.
Maka tidak ada salahnya bagi orang tua memberikan sedikit kebebasan kepada anak dalam memilih jalan hidup mereka, ini pun selama arahnya benar. Orang tua bisa mengawasi jalan hidup si anak dan bisa memberitahukan kepada mereka jika ada jalan yang salah.
Ada juga kata-kata di dalam puisi Khalil Gibran ini yang mengartikan jika orang tua bisa memberikan kebebasan berpikir dan bertindak kepada si anak. Hal ini bertujuan agar anak bisa menciptakan suatu kreativitas yang hebat seperti sebuah busur panah. Anak diibaratkan sebagai sebuah busur panah yang ketika dilepaskan bisa melesat bebas mencapai sebuah target yang diinginkannya.
Relasi kuasa orang tua dan anak, atau jika menilik kasus antara Ibu dan anak perempuannya, sebagaimana yang saya ceritakan di awal tulisan ini, membuat saya sendiri melihat bagaimana relasi yang kini sedang kami upayakan dalam keluarga. Karena menjadi orang tua yang baik itu tidak ada kurikulum baku bagaimana harus bertindak secara benar. Kehidupanlah yang akan mengajarkan setiap manusia, bagaimana memposisikan diri sebagai apapun perannya dalam hidup ini.
Suatu ketika di rumah, seorang perempuan bisa menjadi Ibu bagi anak-anaknya, istri bagi sang suami, anak perempuan bagi kedua orang tuanya. Atau kakak dan adik bagi saudara-saudaranya yang lain. Relasi yang baik itu, harus senantiasa dijaga dan dirawat. Pada yang usianya lebih tua, kita diwajibkan untuk menghormati, dan pada yang lebih muda harus saling menyayangi. Apakah dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah mempraktikkan relasi kesalingan yang paling sederhana itu? []