Mubadalah.id – Sudah beberapa bulan ini aku tinggal cukup lama bersama ibuku. Sebagai anak perantau selama masa kuliah, bahkan setelah menikah pun aku jarang punya waktu berlama-lama di rumah.
Kini, aku justru merasakan kesempatan yang jarang kudapat. Di antaranya adalah aku punya waktu untuk mengobrol panjang, bertukar pikiran, dan berbagi cerita dengan ibuku.
Dari obrolan-obrolan sederhana itu –mulai dari menanggapi peristiwa sehari-hari, menilai kasus yang kami dengar, atau sesekali mengomentari kehidupan orang lain– aku semakin yakin bahwa ibuku adalah seorang feminis sejati. Mungkin beliau tak pernah membaca teori feminisme, tapi gagasan-gagasannya tentang keadilan lahir dari pengalaman hidupnya sendiri.
Tumbuh di Lingkungan Patriarki Menggugah Kesadarannya
Sejak kecil aku melihat bagaimana ibuku tumbuh dan hidup bersama ayahku yang sangat patriarkis. Pengelolaan peran menjadi sangat membebani perempuan, di mana ibuku punya kewajiban mengelola rumah tangga, membesarkan anak, dan memastikan kehidupan rumah tangga terus berjalan, sementara ia pun bekerja. Beban ganda itu ia rasakan bertahun-tahun lamanya.
Ibuku tak berhenti pada kondisi itu. Ia memilih melanjutkan studi bahkan mencapai pendidikan sarjana saat aku akan lulus SMA.
Dari pengalamannya itulah, aku menyadari bahwa ia ingin anak-anak perempuannya –aku dan adik perempuanku– tidak mengalami hal serupa.
Menolak Perjodohan untuk Anak Gadisnya
Masih teringat jelas, setelah lulus SMA, ayahku meminta aku menikah dengan seorang laki-laki yang cukup terpandang, anak seorang kiai kampung yang punya otoritas dan terkenal secara luas. Alih-alih sependapat dengan ayahku, ibuku menolak hal itu. Ia terus-menerus menasehatiku dan bersikeras agar aku melanjutkan pendidikan dulu, sambil memintaku mempertimbangkan dan berpikir berulang kali.
Pada akhirnya tentu saja aku mengikuti apa yang disampaikan oleh ibuku. Namun baru sekarang aku menyadari bahwa ada satu hal penting yang sebenarnya ingin ia sampaikan, bahwa sebagai seorang perempuan, aku harus berpendidikan sebelum jadi istri atau ibu.
Pendidikan adalah bekal agar seorang perempuan bisa berdaya dan tidak sepenuhnya bergantung pada orang lain, baik suami maupun orang-orang di sekitarnya.
Berdaya Secara Ekonomi
Selain mendorongku untuk bersekolah di jenjang perguruan tinggi, ibuku juga mengajariku satu hal lain. Saat akan menyelesaikan pendidikan sarjana, aku mengajukan permintaan untuk menikah dengan orang yang aku kenal, yang kini menjadi suamiku.
Alih-alih langsung menyetujui, ibuku memintaku merasakan pengalaman bekerja dan mencari uang sendiri sebelum menikah. Waktu itu aku sempat merasa aneh kenapa ibuku begitu bersikeras aku harus bekerja dulu.
Belakangan aku menyadari, keputusannya itu tak lepas dari pengalaman hidupnya sendiri. Ibuku adalah seorang perempuan bekerja, dan aku sering melihat bagaimana lelahnya ia sepulang kerja.
Meski sudah sibuk di luar rumah, setiba di rumah ia masih harus memasak untuk ayahku yang sangat pilih-pilih makanan, atau mencuci baju di malam hari karena tak sempat di siang hari. Sementara ayahku, yang lebih banyak di rumah, jarang terlibat dalam pekerjaan domestik.
Kini aku paham, ibuku sedang mendidikku untuk mandiri secara ekonomi, agar aku bisa hidup setara dengan laki-laki dan tidak bergantung kepadanya.
Ia yang Tak Mengklaim Dirinya Seorang Feminis
Hari ini, ketika aku membaca buku-buku feminis atau ikut diskusi tentang kesetaraan, aku menyadari bahwa benih-benih sebagai feminis sejati itu sebenarnya sudah tertanam lama sekali oleh ibuku.
Ibuku mungkin tidak menyebut dirinya feminis, tidak pula belajar teori feminisme secara formal. Tapi lewat sikap dan keputusannya, ia telah mengajarkanku nilai-nilai feminisme dengan cara yang paling nyata, yaitu melalui hidupnya sendiri.
Maka aku percaya, ibuku tak belajar feminisme, tapi ia adalah seorang feminis sejati. []