Mubadalah.id – Narasi ketidaksetaraan yang teralami penyandang disabilitas pada realitasnya masih menjadi problematika di ruang sosial. Banyak berbagai kebijakan pemerintah yang masih kurang mendukung terhadap aktivitas mereka. Baik dalam ruang lingkup ibadah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Mereka sampai sekarang masih mengalami diskriminasi dan menjadi kelompok rentan yang terpinggirkan. Aksesibilitas di ruang publik serta akomodasi yang layak tidak begitu teramati oleh negara dan pemerintah yang sedang berkuasa. Justru dampak dari program efisiensi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto semakin menambah buruknya peran negara melindungi dan mengayomi penyandang disabilitas.
Muhammad Khambali dalam bukunya berjudul Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan (2024) menjelaskan peran negara yang kurang mendukung aktivitas penyandang disabilitas. Khambali mengutarakan keresahan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang masih tidak berpihak pada penyandang disabilitas. Terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan isu pendidikan difabel.
Meski pemerintah sudah mengeluarkan regulasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, pada kenyataannya masih kurang memberikan dampak pada kesetaraan disabilitas serta legitimasi keamanan dan kesejahteraan bagi difabel.
Kebijakan Irasional
Justru kebijakan Presiden Prabowo Subianto mengesahkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2025 merupakan kebijakan yang inkonstitusional. Sebab kebijakan tersebut berdampak terhadap berbagai sektor kehidupan, terutama pada pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai.
Pemangkasan anggaran ini menyebabkan perubahan signifikan yang sangat menganggu stabilitas ekonomi dalam berbagai sektor kehidupan, terutama pendidikan difabel. Kebijakan dalam mementingkan program kerja Makan Bergizi Gratis (MBG) ini memangkas dana-dana yang teralokasikan dari sektor pendidikan tersebut terkesan politis dan irasional.
Hal ini yang terasakan oleh banyak pihak terhadap kebijakkan yang tidak tersampirkan pada ilmu pengetahuan. Dampaknya kebijakan tersebut memangkas anggaran untuk Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang hanya memperoleh Rp 500 Juta dalam setahun. Padahal sebelumnya mencapai Rp 5,6 miliar dalam setahun (Tempo: 11 Februari 2025).
Kebijakan ini menunjukkan pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam melayani, mengadvoksasi dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Tolak ukur tersebut tidaklah berlebihan, sebab indikator kebijakan pemerintah justru memperlihatkan negara tidak hadir untuk kelompok minoritas yang masih memperoleh tindakan diskriminatif.
Khambali menyuarakan kesetaraan atau cara pandang dalam isu-isu disabilitas melalui tulisan-tulisan dengan perspektif pengajar difabel. Ia melakukan kritik konstriktif terhadap berbagai kebijakan pemerintah seperti penggunaan eufemisme bahasa, dan aksesibilitas dalam struktur ruang perkotaan yang kurang ramah difabel.
Kita dapat menyimak kritik dari Khambali “Bagi kelompok difabel, kredo kesetaraan bukanlah dengan semata glorifikasi capaian prestasi atau perjuangan mereka di tengah keterbatasan. Melainkan justru sikap humanis yang memandang mereka sama dengan yang lain, sesuai dengan kodrat manusia: memiliki kekurangan dan kelebihan dalam tubuh fisik atau intelektual (hlm. 26)”.
Cara Pandang
Narasi kesetaraan menurut Khambali pada intinya mempersoalkan klasifikasi yang selalu memperbincangkan dalam urusan kelebihan dan kekurangan, baik secara fisik ataupun yang lain.
Padahal urgensi yang paling penting adalah bagaimana masyarakat lebih memiliki perspektif atau cara pandang yang humanis terhadap kelompok difabel. Menempatkan paradigma dalam pola pedadogi pada ranah idiosinkratik memang masih membutuhkan gagasan ide agar terus menyuarakan kesetaraan.
Prof. Wall dalam buku Constructive Education dengan terjemahan Bahasa Indonesia berjudul Pendidikan Konstruktif bagi Kelompok-kelompok Khusus: Anak-Anak Cacat dan yang Menyimpang terbitan Balai Pustaka (1993), menjelaskan secara detail pola pedagogi menjadi sarana amat penting yang harus kita perhitungkan melalui kebijakan dan fasilitas pemerintah terhadap pendidikan anak-anak penyandang disabilitas.
Selain itu, lingkungan juga menjadi kunci perubahan untuk menumbuhkan perspektif yang inklusif yang harus menguatkan mental dan psikologi penyandang disabilitas. Kesadaran tersebut harus terbangun oleh masyarakat non-difabel dan berbagai kebijakan pemerintah.
Prof. Wall menyampaikan “penanganan-penanganan pedagogi dan psikologi yang khusus— yaitu psikoterapi, terapi berbicara, pendidikan perawatan, memodifikasi tingkah laku dan sebagainya— merupakan pelengkap bagi apa yang berlangsung antara anak dengan orang-orang yang menanganinya dalam seluruh situsasi emosional.”
Perlu Dukungan Banyak Pihak
Hal ini tetap menjadi kunci setiap kemungkinan keberhasilan yang nyata. Akan tetapi, apabila kita mengamati dari dekat apa yang terlaksanakan dalam pendidikan khusus, maka kita cenderung menemukan. Bahwa perhatian semacam itu yang seperti dilakukan oleh orangtua dan orang-orang lainnya dalam menangani langsung, dalam praktiknya, lebih daripada sekadar omongan saja (hlm. 270).”
Situasi yang Prof. Wall sampaikan dalam memberikan penjelasan keterkaitan pendidikan terhadap difabel harus banyak dukungan dari pihak internal, masyarakat sekitar, dan negara. Peran pemerintah bukan justru memangkas anggaran bagi pendidikan difabel, untuk kepentingan program kerja yang tak masuk akal.
Semestinya pemerintah memaksimalkan anggaran untuk peningkatan kapasitas pendidikan difabel dan kemampuan keterampilannya. Sebab jika langkah tersebut direalisasikan dapat jadi bukti kongkrit bahwa negara memberikan perhatian kepada penyandang disabilitas pada ranah pendidikan.
Sebab, Undang-Undang menjamin bahwa mereka juga harus tumbuh dan berkembang dan mendapatkan kesempatan yang sama dengan masyarakat non-difabel. Baik dalam ranah pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan.
Mencari Keadilan
Frasa keadilan untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas dalam ranah pendidikan tidak sekadar program kerja semata. Akan tetapi kewajiban yang harus terlaksanakan pemerintah dalam suatu negara.
Realitasnya hampir pasti, bahwa kata keadilan justru semakin jauh dari kelompok difabel. Padahal jika kita mencermati teks-teks teori keadilan, akan berpihak terhadap kelompok rentan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.
John Rawls pernah menulis buku A Theory of Justice, terjemahannya berjudul Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan dalam Negara (2019). Buku tersebut menjadi buku ototitatif dalam menjelaskan frasa “keadilan.” Keadilan yang semestinya terlaksanakan oleh pemerintah terhadap rakyatnya dalam suatu pemerintahnya (government system).
John Rawls mengungkapkan “keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang forced match pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warganegara dianggap mapan. Hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial.”
Dari secuil nasari keadilan menurut John Rawls adalah menempatkan rakyat sebagai kiblat tolak ukur di dalam sistem pemerintahan yang baik. Keadilan dapat terukur dari seberapa jauh rakyat sudah memperoleh kesejahteraan dalam ruang lingkup; pendidikan, ekonomi, dan budaya dari pemerintah.
Jika kondisinya sebaliknya, bahwa kekayaan alam yang terdapat dari suatu negara hanya bisa ternikmati segelintir politisi. Kondisi demikian menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dan program kerjanya dalam suatu negara tersebut dapat mengalami kegagalan. Dampaknya tidak akan ada keadilan, kesetaraan, melemahnya hak-hak kelompok rentan, kelompok penyandang disabilitas dari berbagai kebijakkan yang terciptakan.
Jika kondisi demikian sedang terjadi di Indonesia, persis seperti sepatah kalimat yang terungkapkan oleh St. Agustinus. Pada cover buku Karen Leback Teori-Teori keadilan (2015), St. Agustinus menulis “Tanpa keadilan, negara tidak lain hanya gerombolan perampok yang terorganisir. []