Mubadalah.id – Di Indonesia, pembagian peran rumah tangga antara suami dan istri masih seperti peraturan tak tertulis yang dianggap “baku”. Dalam pembagian yang “dibakukan” ini, tugas istri meliputi semua pekerjaan domestik yang begitu melelahkan, sehingga sangat kecil kesempatan bagi mereka untuk bersosialisasi dan mengaktualisasi diri. Sementara tugas suami adalah menjadi kepala rumah tangga, mencari nafkah, harus ahli secara mekanik, serta sanggup mencari jalan keluar saat terjadi krisis.
Pembagian tugas yang kaku itu secara langsung maupun tidak, menyebabkan ketimpangan-ketimpangan yang tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga merugikan laki-laki. Banyak dari mereka yang stress karena dianggap lemah oleh masyarakat bila tidak mampu memenuhi tugas tersebut.
Dra. Istiadah, MA., seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, menyatakan bahwa Islam tidak membedakan fungsi penciptaan dan tugas kehidupan bagi laki-laki dan perempuan. Tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun hadis mengenai dalil yang membedakan tugas-tugas kemasyarakatan (publik) dan rumah tangga (domestik) berdasarkan jenis kelamin pelakunya.
Rasulullah Saw, misalnya, tercatat sering membantu keluarganya: menyapu, menjahit bajunya yang robek dan alas kaki yang putus, memeras susu kambingnya dan melayani dirinya sendiri. Al-Qur’an dan hadis juga mengakui adanya perempuan yang aktif di berbagai bidang kehidupan, misalnya tentang kesuksesan pemimpin perempuan di suatu masyarakat, perempuan penenun, peternak dan bercocok tanam, juga perempuan-perempuan yang ikut berperang bersama Rasulullah Saw.
Demikianlah, Islam tidaklah kaku dalam membagi kerja rumah tangga. Islam juga memberi ruang bagi perempuan Muslim untuk berkarya dan turut serta membangun peradaban manusia tanpa harus terus terpaku sepanjang hidupnya di rumah. Laki-laki juga tidak akan menjadi lemah dan jatuh harga dirinya hanya karena terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Terbiasa mengerjakan pekerjaan domestik atau publik, semestinya tidak menjadi tolak ukur seseorang itu lebih superior atau inferior dari yang lainnya. Bukankah tujuan dari pernikahan adalah untuk saling membahagiakan? Maka alangkah lebih indah bila suami dan istri saling berbagi dan memahami satu sama lain, karena fleksibilitas peran sejatinya adalah solusi untuk kelanggengan hidup berumah tangga.