Mubadalah.id – Ketua Majelis Musyawarah Keagamaan KUPI, Nyai Hj. Badriyah Fayumi menyampaikan bahwa sikap tegas KUPI terhadap penghentian praktik pemotongan atau perlukaan genital perempuan (P2GP) berlandaskan metodologi yang solid dan dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Larangan P2GP adalah keputusan keagamaan yang sepenuhnya bertumpu pada prinsip kemaslahatan. Tidak ada dalil yang memerintahkan, apalagi menganjurkan, praktik tersebut. Rasulullah SAW pun tidak pernah melakukannya terhadap putri-putrinya,” tegasnya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa keadilan hakiki menuntut pembacaan yang mempertimbangkan perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan.
“Kalau kita bicara epistemologi, maka kita wajib membaca tidak hanya ayat-ayat qauliyah, tetapi juga ayat-ayat kauniyah. Tubuh perempuan itu sendiri adalah ayat Tuhan,” ungkapnya.
Fatwa P2GP yang Menguras banyak Energi
Nyai Badriyah tak menutupi bahwa fatwa KUPI tentang penghentian P2GP adalah salah satu yang paling banyak menyita energi intelektual dan emosional. Diskusinya telah berlangsung setidaknya sejak 2015, melewati berbagai forum, silang pendapat, tantangan, hingga kesalahpahaman. Baru pada 2022, fatwa tersebut resmi diputuskan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia ke II.
Namun sejak itulah simpul-simpul gerakan menguat. Pandangan keagamaan KUPI disosialisasikan hingga akar rumput melalui jaringan pesantren, komunitas perempuan, tenaga kesehatan, akademisi, hingga lembaga pemerintah. Edukasi turun-temurun itu membuat fondasi gerakan semakin kokoh.
“Kami melihat salah satu kekuatan KUPI adalah konsistensi. Istiqamah. Itulah yang menjaga persoalan ini tidak redup meski mendapat tantangan dari berbagai arah,” ujar Nyai Badriyah.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan apresiasi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang sejak awal pelarangan P2GP melibatkan KUPI dalam penyusunan naskah akademik, diskusi kebijakan, hingga penguatan pandangan agama.
Ia mengingat kembali saat Menteri Bintang Puspayoga sampai memegang tangan para ulama perempuan sambil memohon dukungan penuh KUPI.
“Itu momen yang membuat kami sadar bahwa perjuangan ini memang cita-cita bersama,” kenangnya.
Perjuangan KUPI di Tengah Fitnah, Penolakan, dan Tekanan
Perjalanan itu tak pernah mulus. Penolakan terjadi, termasuk dari sebagian kelompok agama. Dalam pembahasan RPP dan PP terkait P2GP, bahkan ada pasal-pasal yang ingin dilemahkan.
Salah satunya dari MUI sempat menyampaikan penolakan. Situasi itu membuat Kemenko PMK menghubungi KUPI untuk memperkuat argumen teologis yang sedang diperdebatkan.
KUPI pun bermusyawarah dan memberikan masukan hingga hari ini. Meski tidak semua masukan diakomodasi sepenuhnya, tetap tidak terlihat adanya gerakan besar yang dimobilisasi untuk menolak pelarangan P2GP.
“Saya bisa mengatakan dengan sangat yakin, itu terjadi karena fatwa KUPI secara ilmiah dan metodologis memang tidak bisa dibantah. Orang boleh tidak setuju, itu urusan lain. Tapi landasan kami berdiri sangat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Nyai Badriyah.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Tantangan ke depan masih besar, baik di level komunitas maupun kebijakan.
Karena itu, ia berharap sejarah perjalanan gerakan ini, tantangan, fitnah, tekanan, hingga daya tahannya di lima ranah juang dapat terus kita hadirkan dalam tulisan-tulisan berikutnya.
“Agar konteks dan napas perjuangannya tetap hidup,” ucapnya. []






































