Mubadalah.id – Tak perlu menjadi warga Jawa Barat untuk menyadari bahwa kebijakan Dedi Mulyadi soal jam masuk sekolah justru lebih banyak mendatangkan mudarat.
Alih-alih meninjau ulang sistem pendidikan dengan memerhatikan ritme biologis anak-anak dan remaja, Gubernur Jawa Barat itu malah memaksakan wacana kedisiplinan omong kosongnya. Maka, aturan baru ini tak sekadar berpotensi merusak, tetapi juga bentuk nyata pengabaian sistemik pada hak dasar anak-anak dan remaja.
Pengoptimalan Itu Cuma Khayalan
Dedi Mulyadi memaksakan jam masuk sekolah pukul 06.00 pagi untuk semua jenjang—PAUD hingga SMA. Kebijakan ini jelas dangkal dan tak berdasar. Sebab, tak ada studi yang menyebutkan “makin pagi sekolahnya, makin pintar siswanya”.
Sebaliknya, psikolog dari UGM—Novi Poespita Candra—justru mengatakan bahwa aturan sekolah untuk masuk lebih pagi bisa berdampak negatif pada fisik, emosi, maupun kognisi siswa. Artinya, klaim Dedi Mulyadi hanyalah omon-omon semata.
Tak hanya itu, usia-usia remaja adalah saat di mana seseorang mengalami perubahan ritme sirkadian. Hal ini menggeser kecenderungan tidur mereka ke waktu yang lebih malam. Alhasil, jam masuk sekolah yang lebih pagi membuat siswa harus memangkas jam tidurnya.
Maka ini bukan perkara siapa biasa salat subuh—ini perkara biologis, bukan agama. Memaksa siswa untuk bangun lebih pagi pada akhirnya menurunkan kemampuan konsolidasi memori, pemrosesan emosi, dan pemulihan fisik siswa tersebut. Ujungnya, pengoptimalan kemampuan penyerapan pembelajaran seperti yang cita-citak Dedi Mulyadi, hanyalah khayalan belaka.
Studi yang dilakukan di Inggris selama empat tahun (2010-2014) justru menunjukkan bahwa memundurkan jam masuk dari pukul 09.00 menjadi pukul 10.00 mampu meningkatkan capaian akademik sebesar 12% serta menurunkan jumlah siswa terlambat dan tertidur di kelas secara signifikan.
Bila Dedi Mulyadi pernah membaca studi ini, ia seharusnya paham betul bahwa kebijakannya tak akan membuat siswa lebih mudah menerima materi. Sebaliknya, dengan otak yang belum sepenuhnya “aktif”, maka pembelajaran hanya akan menjadi dongeng nina bobo bagi para siswa. Namun, saya rasa Dedi Mulyadi tak punya waktu untuk membaca studi semacam itu.
Buruk di Siswa, Apalagi di Guru
Bukan cuma siswa, para guru juga jadi korban. Sudah negara tak menjamin kesejahteraan tenaga pengajar dengan baik, aturan baru ini kian menambah berat beban di pundak guru. Jam masuk yang lebih pagi jelas memaksa guru harus tiba di sekolah jauh lebih pagi dari biasanya.
Lalu, bayangkan bila sang guru juga memiliki anak yang harus diantar ke sekolah. Artinya, ia harus mempersiapkan kebutuhan si anak lebih pagi, menyiapkan bahan pembelajaran lebih pagi, mengantar si anak lebih pagi, dan—di saat yang bersamaan—dituntut untuk datang ke sekolah lebih pagi. Singkatnya, para guru harus kejar-kejaran dengan jam dan mengajar di kondisi yang tak ideal.
Maka, ini tak sebatas soal seberapa profesional sang guru. Memotong waktu persiapan seorang guru sama artinya memangkas kualitas pengajaran. Alhasil, metode pengajaran tak akan efektif. Sebuah kombinasi yang sempurna: keseimbangan hidup sang guru menjadi rusak, mutu pendidikan makin amburadul.
Ketidakbijakan dan Bencana Pendidikan
Syahdan, dari sekian banyak studi tentang waktu ideal pembelajaran, Dedi Mulyadi lebih memilih tutup mata dan telinga. Ia tetap kekeh dengan retorika paksaan: masuk lebih pagi akan “menanamkan kedisiplinan”.
Layaknya kebijakan memasukkan anak “nakal” ke barak militer, Dedi Mulyadi konsisten memamerkan wujud “kedisiplinan” anak di bawah benderanya, ketimbang memastikan mereka punya kapasitas kognitif untuk benar-benar belajar dan berkembang.
Padahal, bila memang tujuannya peningkatan mutu pendidikan, Dedi Mulyadi harusnya berfokus pada program yang lebih mendidik, seperti pengurangan beban tugas serta perbanyak interaksi yang membangun antara guru dan siswa. Alih-alih memupuk kedisiplinan, kebijakan saat ini justru hanya akan merusak fondasi kesehatan, psikologis, serta sosial siswa dan guru.
Bila tetap dijalankan, pada akhirnya kebijakan ini hanya akan menjelma sebuah ketidakbijakan. Anak-anak yang terus-menerus disuntikkan kantuk akan tumbuh dengan otak setengah mati. Dan wacana pendisiplinan seketika berubah menjadi bencana pendidikan.
Namun, Dedi Mulyadi tak perlu khawatir. Ia tetap bisa menjalankan program autokratik ini. Toh, ia punya fanbase militan yang akan selalu mendukung dan memujanya. Dedi Mulyadi bisa terus mengunggah konten dari programnya, menutup dialog dengan ahli dan psikolog pendidikan, serta melanjutkan arogansi politiknya.
Akan tetapi, jika Kang Dedi Mulyadi benar-benar peduli pada masa depan generasi muda di Jawa Barat, alangkah baiknya untuk mengkaji ulang kebijakan ini. Tentu dengan melibatkan para ahli dan akademisi. Sebab jika tidak, generasi muda Jawa Barat akan tumbuh dengan otak lelah, tubuh rentan sakit, dan semangat belajar yang terkubur dalam kantuk. []