Hari Santri Nasional diperingati setiap tahunnya pada 22 Oktober sejak ditetapkan pertama kali pada 2015 oleh Presiden Joko Widodo menjadi angin segar bagi eksistensi kaum sarungan. Ini adalah bagian dari pengakuan negara atas perjuangan dan andil besar yang dialakukan oleh dunia pesantren.
Tanggal 22 Oktober sebagai momentum kebangkitan santri dimana pada tahun 1945 pimpinan terbesar ormas Islam di Indonesia Nahdlatul Ulama Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menyeru resolusi jihad kepada para santri seluruh nusantara untuk memukul mundur penjajah NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang membonceng tentara Sekutu.
Jauh sebelum itu menurut data sejarah, santri telah melakukan berbagai perlawanan untuk mengusir para penjajah. Perang Aceh tahun 1873-1908 M ketika perang Aceh meletus Teuku Umar ikut serta berjuang dengan para santrinya melawan penjajah. Kemudian Perang Diponogoro pada tahun 1825-1830 M. Lebih jauh lagi telah terjadi Perang Kedongdong pada tahun 1802-1806 M, perang para santri dengan penjajah Belanda yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin di Cirebon Jawa Barat.
Penulis tidak akan menjelaskan terlalu jauh sejarah di atas. Namun selayang pandang ini penting diketahui sebagai pijakan kita bahwa peranan santri sangat penting dalam gerakan sosial. Pada konteks di atas perlawanan melawan penjajah dengan jalan perang sangat relevan.
Lalu apa yang bisa dilakukan santri saat ini. Jihad apa yang bisa dilakukan para santri di era revolusi industri 4.0? apa yang harus diperangi, selain memerangi hawa nafsu tentunya.
Maraknya pemahaman radikal dan tindakan terorisme di wilayah Indonesia menjadi fenomena yang mengerikan. Beberapa hari yang lalu kita digegerkan adanya penangkapan terduga teroris di wilyah Cirebon sebanyak 6 orang dan 2 orang dibekuk karena melakuakn penusukan Menkopolhukam Wiranto di Banten. Semua pelaku adalah jaringan teroris yang berafiliasi pada kelompok Jamaah Ansoru Daulah (JAD).
Dari barangbukti yang disita terdapat berbagai referensi pengetahuannya dalam melegitimasi setiap aksinya berupa buku-buku dan tentunya media dalam jaringan. Rand Corporation pada 2014 mengkonfirmasi bahwa media berbasis website memainkan peranan yang sangat besar dalam proses radikalisasi di kalangn teroris dan ekstrimis kekerasan.
Media sosial meningkatkan peluang orang atau kelompok orang menjadi radikal, Sebagai pengaruh penjangkauan dan pelibatan melalui penyebaran informasi, komunikasi dan propaganda keyakinan-keyakinan ektrem. Pada tahun 2016 Brookings Institute melaporan bahwa lebih dari 4600 akun di twitter dikendalikan oleh para pendukung ISIS guna memposting materi dan konten kekerasan untuk merekrut pengikut baru melalui Youtube, Website, Facebook dan platform media sosial lainnya. Termasuk jaringan teroris lainnya.
Hal ini ril sangat berdampak misalnya teman saya eks pengikut ISIS yang berhasil melarikan diri dan kembali ke indoneisa. Ia dan 25 kerabat lainnya telah tertipu mentah-mentah oleh janji manis ISIS yang ditawarkan kepada meraka. ISIS melakukan propaganda dengan sangat meyakinkan sehingga temanku ini menjual seluruh asetnya demi keberangkatannya ke Suriah pada tahun 2015 silam. Apa yang menjadi perantara mereka tidak lain adalah media sosial dan ia akui sendiri pandangan keagamaan yang monolitik penyebabnya.
Dengan demikian jihad para santri saat ini adalah menyeru kebaikan seraya melakukan perubahan sosial di masing-masing daerahnya. Jangan biarkan konten-konten keagamaan yang konservatif-profokatif membanjiri lini masa kita setiap hari.
Saatnya para santri mengisi ruang-ruang ini untuk mendakwahkan Islam yang rahmatan lil alamin. Tentu santri di sini termasuk ia yang pernah/sedang mondok dan mengaji kepada para kyai baik langsuing maupun secara online (santri online). Dengan berbekal pengetahuan yang mendasar atas teks otoritatif seperti Al Quran dan Hadist disetai keilmuan lain yang moderat dan progresif.
Menyitir pernyataan KH. Said Aqil Siraj bahwa jangan sampai kita yang paham agama, tapi tidak mengisi konten yang ada di media sosial. Yang terjadi mereka yang mengisi medsos malahan orang yang tidak mengerti agama. Maka tidak heran isinya caci maki, mengkafir-kafirkan orang lain.
Jika bidang dakwah tidak menjadi passion utama, para santri bisa melakukan dakwahnya dengan cara lain di berbagai bidang teknoligi, sosial, ekonomi, lingkungan dan lainnya. Yang perlu diisi oleh orang yang memiliki kepekaan dan kritis seperti para santri.
Tunggu apa lagi, jangan berfikiran berdakwah harus menjadi kyai atau ulama dulu. Ingat Kyai atau Ulama hari ini adalah santri pada masa lalu yang selalu belajar dan mendakwahkan ilmunya baik tulisan maupun keliling kampung. Selamat Hari Santri Nasional untuk seluruh santri offline dan online.[]