Mubadalah.id – Barangkali jika Ibu tiada, seluruh dunia akan menangis ikut berduka. Dan kita semua akan berduka dengan cara yang berbeda. Mungkin inilah perasaan sang Penulis ketika ia mulai membuahkan karya Please Look After Mom. Sebuah buku terjemahan dari Korea Selatan, Ibu Tercinta ialah judulnya dalam bahasa Indonesia.
Buku yang ditulis oleh peraih penghargaan Sastra Orang Asia pada tahun 2012, Kyung Sook Shin, ialah sebuah novel yang menceritakan sebuah pencarian seorang Ibu yang hilang di stasiun kereta pada saat berkunjung menemui anak lelakinya. Novel ini sarat akan rasa penyesalan dan bagaimana seorang Ibu mengusahakan segala hal demi kehidupan anak-anaknya yang lebih baik di masa depan.
Sinopsis Ibu Tercinta
Ibu dan Ayah hendak menaiki sebuah kereta yang akan menuju ke Seoul, tempat di mana kami merayakan ulang tahun Ayah dan Ibu secara bersamaan. Pada hari itu, seperti kebiasaan Ayah yang berjalan dengan cepat, Ibu selalu tertinggal di belakang.
Ayah kehilangan jejak Ibu, mungkin di peron sebelumnya. Ayah tanpa sadar telah meninggalkan Ibu sendirian. Ketika Ayah kembali ke peron sebelumnya, ia tak lagi menemukan Ibu di sana. Ibu hilang, dan sejak saat itu, Ibu tidak pernah kembali pulang.
Kami, anak-anak Ibu berusaha mencarinya. Segala upaya kami lakukan. Melapor kehilangan orang di kantor polisi, melepas selebaran foto Ibu di sepanjang jalan, hingga memasang imbalan 5 juta won bagi yang bisa menemukan Ibu. Pencarian Ibu hari demi hari menumbuhkan penyesalan, bagaimana kami tidak pernah menghargai Ibu ketika Ibu hadir dalam hidup kami.
Kami, anak-anakmu yang selalu membentakmu tanpa sadar telah melukai hati Ibu. Semakin banyak kami melakukan pencarian, maka semakin dalam rasa bersalah yang kami rasakan. Bagaimana kami tidak menghiraukan Ibu yang sedang kesakitan. Bagaimana kami, anak-anakmu, yang merasa mengenalmu, ternyata sama sekali tidak mengenal dirimu sesungguhnya.
Seorang Ibu yang Membawa Luka Batin dari Masa Lalu
Membaca novel ini rasanya seperti membawa kita ke masa lalu. Sebagai perempuan, saya bisa merasakan getirnya kehidupan So-nyo, seorang Ibu yang membawa luka batin dari masa lalu, trauma yang mendalam membuat kepalanya sering pusing, menginjak umur 69 tahun ia sudah sering kehilangan kesadaran. So-nyo yang memiliki anak perempuan seorang penulis popular, diam-diam merasa bangga. Ia sangat bangga dengan putrinya tercinta, meski ia sendiri tidak bisa membaca.
Karakter So-nyo terdeskripsi dalam penggambaran bagian novel ini secara kontekstual oleh anak perempuan ketiganya pada bagian pertama. Kemudian pendekatan anak sulungnya di bagian kedua.
Lalu sudut pandang dari suaminya pada bagian ketiga, dilengkapi kacamata narasi ia sendiri dalam menggambarkan kekecewaan sebagai Ibu, di bagian keempat. Disempurnakan kembali dengan epilog oleh anak perempuannya pada bagian terakhir. Dari potongan-potongan memori masa lalu, lahirlah penggambaran lengkap pengorbanan seorang Ibu yang membuat novel ini begitu mengharukan.
Karakter Ibu, ialah karakter seorang Ibu pada umumnya. Patriarki dalam rumah tangga memaparkan beban ganda seorang Ibu. Tidak hanya turun ke ladang, Ibu juga memasak makanan di rumah, mengurus keperluan anak-anak sekolah, tidak membiarkan anaknya lapar dan sakit, sempat juga beternak bebek, babi, dan memelihara anjing.
Semua Ibu lakukan asal bisa menghasilkan uang. Sementara dalam potret anak, Ibu tidak bisa sakit. Jika anak merasa gelisah dan lelah dalam menjalani kehidupan, mereka bisa menelepon Ibu dan berkeluh kesah, serta membentak Ibu sebagai tempat pelampiasan amarah.
Ketidaksetaraan Peran Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
Ketidaksetaraan peran suami dan istri juga digambarkan dengan jelas. Sejak mereka kecil, sosok Ayah suka pergi dari rumah, meninggalkan Ibu dan segala beban mengurusi rumah sendirian. Meski berada di rumah, kau sebagai suami, juga tidak pernah menghargai istrimu, kau tidak pernah mengambil peran sedikit pun untuk menghidupkan rumah.
Suatu saat, ketika istrimu mengeluhkan rasa sakit, kau hanya menyuruhnya untuk segera minum obat. Padahal ketika kau sakit, istrimu dengan sigap mengompres keningmu, menggosok perutmu, lalu pergi membeli obat di apotek, dan membuatkanmu bubur kacang hijau yang hangat. Maka ketika sosok “Ibu” hilang, semua merasa kehilangan.
Sebagai buku terjemahan, kata-kata yang digunakan sangat menarik dan tersusun dengan cermat. Novel ini tidak memiliki peran antagonis, akan tetapi dapat menumbuhkan rasa kesal terhadap beberapa karakter yang dimunculkan. Kelebihan novel ini ialah cermat dan lengkap. Bagaimana penulisnya menggambarkan sebuah rumah dalam artian yang mengusung pada kata hilang, membuat novel ini terasa utuh.
Alur yang begitu hangat membuat pembaca ikut larut dalam cerita, hingga memberikan kesan pada pemahaman kehidupan yang tidak menyenangkan; lahir sebagai sebuah harapan, lalu tumbuh bersamaan kehilangan yang mendalam. Penyajian narasi yang sempurna barangkali berkat kemahiran Penulis menjahit paragraf, menyambung benang kalimat satu per satu hingga terbentuklah keterikatan emosi dan kecermatan diksi.
Ibu Juga Bisa Lelah
Kata “Ibu” itu terdengar akrab dan mengandung permohonan: Tolong jaga aku. Tolong jangan memarahi aku terus, usap-usaplah kepalaku; tolong berpihak padaku, entah aku benar atau salah. Dalam hidup, memang anak tak lepas dari kata Ibu.
Kita selalu mencari Ibu ketika kita membutuhkan sesuatu, sampai kita lupa, bahwa Ibu juga butuh sandaran. Ibu juga bisa lelah, ia butuh satu hari di mana ia dengan sadar melepas segala beban di pundaknya meski sekejap. Ibu, juga butuh seorang Ibu.
Novel ini memberikan begitu banyak pelajaran, salah satunya ialah, mengapa kita baru menyadari hal yang begitu berharga ketika ia sudah menghilang?
Kita luput menghargai sesuatu, padahal segala sesuatu di dunia tidaklah bersifat abadi dan pada suatu saat akan pergi. Mari mulai menghargai apa pun dan siapa pun yang memberikan kasih sayang kepada kita. Balaslah dengan segera, jangan menunda-nunda hal yang kamu anggap berharga. []












































