Mubadalah.id – Sedang hangat diperbincangkan mengenai seorang Nissa Sabyan, tentang ia yang konon dianggap menjadi orang ketiga dalam hubungan rekan kerjanya sendiri. Yang sebetulnya belum ada klarifikasi baik dari Nissa Sabyan sendiri maupun dari pihak laki-laki. Hanya ada satu suara yaitu sang istri yang kini menggugat cerai dipengadilan negeri.
Netizen bergerak terlalu cepat, mengambil satu kesimpulan hanya dari satu sumber. Ya, memang apa yang mau didengar dari seorang yang menduakan cinta? Membenarkan, justru membuat berita semakin heboh. Menyangkal, juga tak akan mengubah keadaan. Karena itu keduanya memilih diam.
Yang menjadi menarik adalah paras Nissa Sabyan yang cantik, muda, juga sebagai muslimah yang memakai hijab dan profesinya sebagai penyanyi yang sering melantunkan shalawat dan lagu religi semakin membuat netizen semakin bersemangat memberi komentar dan menjadikan bahan pembicaraan menyenangkan.
Pandangan bahwa yang berhijab, muda, cantik sekaligus penyanyi religi adalah orang yang tidak dibayangkan melakukan kesalahan dengan menjadi orang ketiga dalam relasi rumah tangga orang lain. Yang sebetulnya semuanya tidak ada kaitannya sama sekali, baik antara hijab dengan akhlak seseorang. Inilah, kesalahan berpikir dari kita. Kerapkali mengaitkan penampilan seseorang dengan akhlak prilakunya.
Hijab adalah kewajiban. Dan Nissa Sabyan berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Tapi mengapa kita lebih tertarik untuk membahas hijab yang Nissa Sabyan kenakan dan mengaitkannya dengan kesalahan yang dilakukan, daripada membahas penuturan yang mengaku sebagai adik dari Ayus, yang membeberkan aib saudaranya sendiri? Bukankah hal itu juga prilaku tidak terpuji?
Dari kasus ini, banyak orang yang tiba-tiba menjadi pembelajar sekaligus kritikus, Dengan menggunakan unggahan “Belajar dari Nissa Sabyan, bla bla bla” “Berhijab tapi bla bla bla” “Nyanyi religius tapi kelakuan seperti makhluk halus” dan macam cemoohan lainnya. Media bahkan tiba-tiba berubah menjadi indigo, dengan menggoreng unggahan dimasa lalu dan membumbuinya dengan praduga penuh tebakan sehingga membuat masyarakat mudah mengambil kesimpulan.
Komentar tentang hijab dan akhlak ini sesungguhnya digunakan oleh mereka yang punya “kesalahan” tapi tidak mau mengakui. Seolah mereka merasa “Nih, saya belum berhijab tapi saya tidak menjadi perusak rumah tangga seperti Nissa Sabyan” atau “Tuh, yang sudah berhijab saja bisa begitu, apalagi saya”. Jadi mereka mencari pembenaran untuk dirinya dari kasus Nissa Sabyan. Dan yang menyedihkan adalah kebanyakan dari mereka yang berkomentar adalah sesama perempuan.
Mengenai lagu-lagu yang sering dinyanyikan, tentu itu adalah bagian dari profesi yang dijalani. Nissa Sabyan bahkan sempat dikritik mengenai ketidakfasihannya dalam melantunkan shalawat. Dan dia mengakui bahwa dia bukan lulusan pondok yang secara khusus belajar makharijul huruf. Dia adalah alumni STM. Yang notabenenya di isi oleh laki-laki. Dalam Band-nya pun Nissa menjadi personel perempuan satu-satunya.
Karena nila setitik rusak susu sebelengga. Itulah peribahasa yang mungkin cocok digunakan. Tak ada pembenaran untuk perselingkuhan. Tapi, hanya menyalahkan pihak perempuan bukanlah pilihan. Tamu tak mungkin masuk jika tak dibukakan pintu. Kesalahan ada karena adanya kesempatan. Dan mengaitkan kesalahan dengan hijab yang dipakai adalah hal yang keliru. Karena hijab adalah kewajiban.
Keta’atan dan akhlak seseorang adalah rahasia yang tak bisa kita simpulkan hanya melalui kaca mata penampilan. Najwa Shihab dan Inayah Wahid sudah lebih dulu merasakan ketidaksetaraan pandangan mengenai hijab. Mereka berdua disudutkan karena tidak mengenakan hijab. Seolah semua kebaikan yang dilakukan tak ada artinya.
Berhijab dikalangan publik figur memang berat. Ada ekspektasi masyarakat yang melekat. Seolah mereka adalah malaikat dengan mahkota bernama jilbab yang tak boleh tergelincir pada lubang bernama kesalahan. Mungkin, inilah mengapa ada publik figur yang memutuskan melepaskan hijabnya karena beratnya beban “prasangka” yang dipikul. Dan ini juga berkaitan dengan kekuatan mental seseorang dalam menyikapinya. Mungkin kita lupa bahwa mereka sama seperti kita, seorang manusia yang tak luput dari salah dan lupa.
Yuk, kita bermuhasabah. Dengan tidak menyibukkan diri untuk mengurusi hal-hal yang bukan urusan kita. Boleh saja kita bersimpati kepada istri yang diselingkuhi, tapi bukan dengan mencaci maki pelaku yang notabenenya sesama perempuan. Apalagi mengenai perselingkuhan yang dekat kaitannya dengan perzinahan.
Karena kita tidak tahu, definisi selingkuh yang terjadi sejauh mana. Plis deh, jangan menjadi netizen yang sok tahu hingga melontarkan komentar yang menjatuhkan orang lain, apalagi sampai menjelma sosok netizen yang maha benar dengan segala komentarnya. Seolah kita semua tidak punya satu kesalahan apapun dalam hidup ini. []