• Login
  • Register
Jumat, 27 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Jilbabisasi Paksa: Ketika Menutupi, Sebenarnya Mengekspos

Pada akhirnya, pakaian adalah cara yang paling terlihat untuk membangun identitas dan hubungan sosial. Inilah sebabnya mengapa ada juga gerakan yang berkembang untuk memakai kain kebaya, pakaian nasional kita

Julia Suryakusuma Julia Suryakusuma
11/08/2022
in Featured, Personal, Rekomendasi
0
Jilbabisasi Paksa

Jilbabisasi Paksa

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Apakah Anda memiliki nomor favorit? Bagi orang Indonesia dan Muslim, tampaknya itu adalah nomor lima. Pancasila memiliki lima prinsip, dan Islam memiliki lima pilar: 1) mengucap kalimat syahadat; 2) shalat lima waktu 3) zakat;  4) puasa di bulan Ramadhan, dan 5) menunaikan ibadah haji ke Mekkah bagi yang mampu.

Tapi tahukah bahwa ada pilar keenam? Pemakaian jilbab. Perempuan Muslim yang tidak mengenakan jilbab mendapat ancaman masuk neraka, dan bahkan  konon keluarga mereka akan ikut terseret. Wah, bukan main! Dalam hal ini ada jilbabisasi paksa.

Eh,  bercanda kok! Tidak ada pilar keenam! Tapi banyak Muslim bersikap seolah-olah ada. Memang Al-Qur’an mengatakan baik pria maupun perempuan harus menutup aurat mereka. Tetapi pertama, batasan aurat tidak sepenuhnya jelas. Dan kedua, tidak dikatakan perempuan wajib menutupi rambut mereka.

Ironisnya, bukti bahwa jilbab tidak wajib justru datang dari Arab Saudi. Baru-baru ini melonggarkan aturan berpakaiannya, tidak lagi mengharuskannya bagi  perempuan. Hah? Masa sih? Jilbab tidak lagi mereka wajibkan di negara yang dianggap  jantung Islam. Yakni monarki absolut berdasarkan syariah, yang dianggap negara Islam paling konservatif di dunia.

Jilbab tidak Wajib di Arab Saudi

Ya betul! Putra Mahkota Mohammed Bin Salman (MBS) baru-baru ini membatalkan aturan bagi perempuan untuk  mengenakan jilbab. Hal ini merupakan salah satu dari sekian banyak reformasi yang mereka laksanakan sejak 2016, sebagai bagian dari proyek modernisasi negara untuk mengurangi ketergantungan Saudi pada minyak.

Baca Juga:

Menafsir Ulang Perempuan Shalihah: Antara Teks dan Konteks

Menimbang Ulang Makna Fitnah: Tubuh Perempuan Bukan Sumber Keburukan

Saat Fikih Menjadikan Perempuan Kelompok Paling Rentan

Menyoal Tubuh Perempuan sebagai Fitnah dalam Pemikiran Fikih

Tapi tahu tidak? Nampaknya norma-norma Wahabi Arab Saudi yang sudah ketinggalan zaman malah bergeser ke Indonesia yang dulunya adalah negeri Islam yang tropis, santai, moderat, dan toleran. Masuknya uang Saudi sejak 1980-an, dan sumbangan dari kaum Wahabi lokal memungkinkan tidak hanya pendidikan kaum ekstremis, tetapi juga infiltrasi Wahabi ke lembaga pendidikan di semua tingkatan, badan pemerintah dan bahkan media.

Bisunya politisi dan pemimpin kita  terhadap gejala ini  memberi indikasi mereka seolah-olah mengamininya, sikap yang bersumber dari pragmatisme politik mereka. Ketika para ulama mengatakan sesuatu wajib, biasanya masyarakat maupun para pemimpin menelannya mentah-mentah karena tradisi membaca dan belajar dalam Islam yang telah berlangsung lama telah mereka gantikan dengan kemalasan, kebodohan dan keterbelakangan.

Konservatisme Islam telah menjadi arus utama di Indonesia, terutama dalam konteks politisasi dan menjelang pemilihan presiden 2024. Salah satu manifestasi yang paling terlihat dari kecenderungan ini adalah meningkatnya pemakaian jilbab. Tren ini sudah berlangsung cukup lama, mereka mulai sejak awal era Reformasi.

Jilbabisasi Paksa masih terus Berlangsung

Pada 21 Juli, Human Rights Watch (HRW) membuat laporan kedua jilbabisasi paksa dengan topik: “Perempuan Indonesia angkat bicara tentang aturan berpakaian: Anak sekolah, pegawai negeri sipil menderita di bawah peraturan wajib memakai  jilbab”. Laporan pertama mereka rilis tahun lalu pada 18 Maret.

Dua laporan tentang jilbabisasi paksa? Ya, karena praktik itu terus saja berlangsung meski sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri, dikeluarkan pada 3 Februari tahun lalu,  melarang sekolah dan pemimpin lokal untuk mewajibkan pakaian Islami. SKB tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama.

Laporan HRW pertama 125 halaman, sedangkan yang kedua hanya 5.000 kata. Namun, dalam laporan kedua, para perempuannya lebih berani, terbuka menyebut nama mereka, menyatakan bahwa selain mengalami perundungan, mereka juga mendapat ancaman pembunuhan. Wah, ngeri!

Laporan kedua juga fokus pada keputusan eksekutif daerah oleh gubernur, walikota dan bupati. Di mana secara hukum lebih lemah daripada peraturan perundang-undangan. Keputusan ini bisa batal oleh Kementerian Dalam Negeri, yang membawahi pemerintah daerah. Namun, kementerian tidak melakukannya karena pragmatisme politik yang saya sebutkan di atas.

Laju Fanatisme di Indonesia Tampaknya Nyaris tak Terbendung

Ketika Recep Tayyip Erdogan, saat ini presiden Turki, adalah walikota Istanbul (1994-98), dia berkata, “Masjid adalah barak kami, menara bayonet kami, kubah helm kami dan umat Islam tentara kami yang setia”. Sekarang dia mungkin akan menambahkan bahwa jilbab adalah bendera Islam – tentu saja dari sudut pandang konservatifnya.

Salah satu indikasi bahwa Islam di Indonesia semakin konservatif adalah kenyataan bahwa Ibu Negara Iriana, istri Presiden Joko “Jokowi” Widodo, kini mengenakan jilbab. Tak satu pun dari istri mantan presiden-presiden kita – atau mantan presiden Megawati Sukarnoputri, satu-satunya presiden perempuan kita sejauh ini –melakukan itu.

Mantan ibu negara Ani Yudhoyono, mendiang istri mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah sangat singkat mengenakan jilbab, mungkin untuk melawan klaim bahwa dia beragama Kristen, karena nama depannya Kristiani.

Pada masa kepresidenan SBY, 2004-2014, Wahabisme tumbuh subur. Sebab, selama 10 tahun ia tidak melakukan apa-apa untuk melawan gerakan yang beredar di mana-mana. Sehingga semakin kuat di nusantara, dengan guru-guru perempuan mulai berjilbab dan tumbuh suburnya Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta kelompok ekstrem lainnya.

Tanpa niat jahat, pemakaian jilbab oleh Iriana bisa kita maknai sebagai isyarat bahwa oke-oke saja memiliki tafsir Islam Wahabi yang literalistik ini. Hal ini dapat mengantarkan pada sikap dan praktik yang semakin misoginis. Tentu akan mempersulit aktivis feminis yang memerangi pernikahan anak, nikah siri, sunat perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual.

Isu Jilbabisasi Paksa adalah Tentang Kita

Saat ini, pelecehan dan kekerasan seksual terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan di sejumlah pesantren, seperti yang sering kita baca di media, dengan insiden mengejutkan pemerkosaan santri perempuan oleh ustad mereka. Kekerasan seksual mereka tolerir dan tidak memakai hijab dihujat? Yang benar saja!

Lies Marcoes, seorang feminis Muslim terkemuka mengatakan, jika melihat kekuatan otoritas kiai di pesantren, tertanamnya relasi gender yang timpang, tawadhu (ketundukan kepada kiai), penerimaan nikah siri, dan sistem kontrol yang lemah, pelembagaan kekerasan seksual di pesantren sangat kuat.

Isu jilbabisasi paksa adalah mengenai kita ingin jadi masyarakat, bangsa, umat dan Muslim yang bagaimana. Pada akhirnya, pakaian adalah cara yang paling terlihat untuk membangun identitas dan hubungan sosial. Inilah sebabnya mengapa ada juga gerakan yang berkembang untuk memakai kain kebaya, pakaian nasional kita. Apa yang tampak seperti gerakan lembut perempuan mengenakan pakaian tradisional berwarna-warni sebenarnya merupakan simbol kuat dari Indonesia yang kita inginkan.

Sangat membantu ketika tokoh masyarakat seperti Najwa Shihab, pembawa acara TV populer dan putri ulama terkemuka Quraish Shihab, dan selebriti lainnya memilih untuk tidak mengenakan jilbab. Beberapa, seperti Reza Artamevia, Trie Utami, Marshanda dan banyak lainnya, telah melepas jilbabnya.

Bahkan Mutiara Annisa Baswedan, putri Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang baru saja menikah, tidak mengenakan jilbab di pesta pernikahannya. Bayangkan reaksi yang ia terima dan keluarganya!

Mungkin Mutiara menganggap jilbab sebagai simbol konformitas dengan aliran Islam yang jahil dan terbelakang, yang tidak mewakili keyakinannya. Siapa yang ingin mengenakan hal-hal itu di kepala mereka?

*)Terjemahan dari “Muslim headcover conundrum: When covering up actually exposes”, The Jakarta Post, Kamis, 4 Agustus 2022

Tags: Aturan DiskriminatifauratHijabhukumIndonesiaJilbabperempuanSyariat Islam
Julia Suryakusuma

Julia Suryakusuma

Columnist/Contributor di The Jakarta Post

Terkait Posts

Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Menjaga Ekosistem

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

25 Juni 2025
Menemani Laki-laki dari Nol

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

25 Juni 2025
Bias Kultural

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

24 Juni 2025
Mau Menikah

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

24 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual

    Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menimbang Ulang Makna Fitnah: Tubuh Perempuan Bukan Sumber Keburukan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meluruskan Pemahaman Keliru terhadap Konsep Fitnah Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menafsir Ulang Perempuan Shalihah: Antara Teks dan Konteks

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nurhayati Subakat, Perempuan Hebat di Balik Kesuksesan Wardah
  • Menafsir Ulang Perempuan Shalihah: Antara Teks dan Konteks
  • Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis
  • Meluruskan Pemahaman Keliru terhadap Konsep Fitnah Perempuan
  • Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID