Mubadalah.id – Salingers, apakah kalian termasuk tipikal individu yang suka kebiasaan julid dengan kehidupan orang lain? Atau justru kerap menjadi objek orang-orang untuk menjadi bahan yang di-julid-in? Siapapun itu, pasti pernah mengalami menjadi subjek atau objek julid, baik dalam kondisi sadar maupun tidak.
Terkadang kita sangat leluasa berdasarkan waktu dan tempat sebebas-bebasnya nge-julid-in orang yang menurut kita perlu di-julid-i tanpa memiliki maksud dan manfaat tertentu. Namun, kita sangat tidak berkenan saat mengetahui bahwa yang menjadi objek tersebut adalah diri kita.
Terlebih di zaman serba teknologi saat ini, saat semua hubungan dan kondisi bisa kita tampakkan dalam tampilan media sosial, siapapun tanpa tading dan aling dapat terjun bebas nge-julid-in siapapun yang kita kehendaki tanpa mempertimbangkan maslahat dan manfaat yang kita peroleh dari sikap tersebut.
Term julid sendiri ada yang mendefinisikannya sebagai singkatan dari ‘judes lidah,’ nyinyir (id.quora.com); berkomentar negatif atas suatu hal secara berlebihan (merdeka.com); dan juga iri atau dengki terhadap orang lain (pikiranrakyat.com).
Bagaimanapun takrifnya, kebiasaan julid merupakan tindakan yang kerap dikonotasikan negatif karena dianggap sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan, memberikan kerugian psikis khususnya, dan mempengaruhi hubungan sosial di antara masyarakat.
Sikap Berlebihan
Sikap mengomentari secara berlebihan tanpa memiliki kapasitas dan tujuan yang pasti tentu akan menimbulkan tekanan bagi orang yang kita komentari. Seolah-olah kita paling mengerti akan suatu hal, tanpa merasakan kondisi, proses, dan pengalaman orang yang kita komentari.
Alih-alih membantunya, yang kita lakukan justru menambah beban baginya, menambah tekanan batinnya. Jika itu diterima oleh orang dengan kemampuan mengelola stress yang baik, maka komentar kita tidak akan berdampak apapun bagi dia. Namun berbeda jika seseorang tersebut tidak memiliki kemampuan mengelola stress yang cukup, apa yang kita lakukan justru akan memojokkan, mengerdilkan, dan perlahan dapat membunuhnya tanpa kita sadari.
Kita tidak bisa menuntut orang lain untuk memiliki kondisi mental yang baik saat kondisi mental kita sendiri saja buruk. Kemudian keburukan yang kita miliki ini kita bagikan untuk mempengaruhi kondisi orang lain. Hal ini sama saja dengan menularkan dan memberikan mafsadat secara langsung kepada sesama.
Jangankan membahagiakan diri sendiri. Kebiasaan julid ini bahkan menjadi racun dan energi negatif untuk diri sendiri dan orang lain yang akan terus mengikis akhlak-akhlak terpuji yang terdapat dalam diri.
Indikator Kebiasaan Julid
Jika menggunakan pendekatan ilmu Tasawuf, indikator-indikator yang terdapat dalam perbuatan julid dapat kita identifikasi sebagai akhlakul madzmumah (perbuatan tercela) yang harus kita ganti dengan akhlakul karimah.
Sebagaimana yang sering KH. Nur Muhammad Suharto sampaikan dalam khidmah ilmiah Manakib TQN Suryalaya, perbuatan tercela yang lahir jadi penyakit-penyakit hati itu antara lain: kibrun (angkuh/sombong), hiqdun (dendam), ghaflah (lalai/lupa dari-Nya), hasadun (iri hati), ghadlabun (marah), bukhlun (kikir), sum’ah (gila pujian).
Saat kita memberikan komentar tanpa kita minta atas suatu hal yang seseorang alami. Tentu ada sifat kibrun yang menghinggapi diri. Karena kita merasa lebih mengetahui atas hal tersebut untuk kemudian merasa perlu untuk memberikan komentar tanpa kita harapkan.
Tidak hanya penyakit kibrun, julid juga tidak terlepas dari penyakit hasad. Di mana saat kita melihat pencapaian orang lain, kita merasa iri dan melontarkan komentar yang tidak kita inginkan. Intinya, ketika kita melakukan perbuatan julid, banyak penyakit hati yang sedang menghinggapi kita. Sehingga hal yang dihasilkan kemudian juga dapat menyebabkan hal-hal buruk lainnya.
Belajar Menghilangkan Penyakit Hati
Jika ingin hidup kita bahagia, dan kita juga dapat membahagiakan orang lain, maka kita harus mulai belajar untuk menghilangkan dan mengosongkan diri/takhalli dari penyakit-penyakit hati ini yang merupakan bagian dari gangguan kejiwaan/mental illness, dan memenuhi serta menghiasi diri/tahalli dengan perbuatan-perbuatan terpuji.
Jika telah demikian, maka masing-masing dari kita akan diliputi oleh cahaya-Nya/tajalli untuk dapat menjadi pribadi yang bahagia dan membahagiakan. Jadi, mulai sekarang, yuk bareng-bareng menjaga kesehatan mental dan raga kita. Yakni dengan mengurangi julid kepada sesama, baik dalam dunia nyata, maupun dalam sosial media.
Stop mengomentari bagaimana cara orang lain berpakaian! Cara ibu dan bapak muda membesarkan anaknya! Orang lain yang belum atau sudah menikah! Musibah maupun takdir yang sedang menimpa seseorang! Bagaimana orang lain menentukan jalan hidupnya! Stop kebiasaan julid! []