Mubadalah.id – Hal lain yang lebih genuin adalah bahwa pemaknaan keadilan bagi perempuan harus berdasarkan pada paradigma hak-hak asasi manusia.
Perempuan berdasarkan paradigma ini harus dipandang sebagai entitas sosial yang memiliki hak-hak kemanusiaannya sama seperti hak-hak kemanusiaan laki-laki.
Bagi saya hak-hak asasi manusia bukan saja sejalan melainkan menjadi tujuan dari keputusan-keputusan Tuhan. Perempuan dalam paradigma hak asasi manusia, memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang laki-laki miliki.
Mereka mempunyai kekuatan dan kecerdasan intelektual untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan hal-hal lain yang ia butuhkan oleh dan dalam kehidupan manusia. (Baca juga: Instrumen Hukum Gagal Memenuhi Keadilan bagi Perempuan)
Dari sini konstruksi sosial baru yang mencerminkan sekaligus menjamin keadilan gender akan lahir ke permukaan.
Sedangkan pada gilirannya menjadi basis bagi pendefinisian kembali pranata-pranata sosial, regulasiregulasi, kebijakan-kebijakan politik, ekonomi dan tidak terkecuali fiqh (hukum Islam). (Baca juga: Mendengarkan Suara Perempuan Korban)
Semua aturan tersebut harus kita buat bukan hanya untuk memenuhi keadilan prosedural, melainkan juga harus memenuhi keadilan substantif bagi semua orang, laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan uraian di atas adalah bahwa keadilan bagi perempuan mutlak kita maknai kembali sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Karena keadilan sendiri adalah kemanusiaan.
Tidak ada yang lebih berharga bagi kehidupan manusia kini dan mendatang kecuali jika pemaknaan keadilan tersebut dapat dilahirkan. []