• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Keberagamaan dan Obrolan Santai Bersama Sahabat Non-Muslim

Ekstremisme itu ada di dalam setiap agama. Penyebab ekstremisme ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah terlalu saklek atau literlek dalam memahami kitab suci

Abdus Salam Abdus Salam
17/11/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Menumbuhkan Rasa Cinta Tanah Air Sejak dari Keluarga

Menumbuhkan Rasa Cinta Tanah Air Sejak dari Keluarga

370
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suatu hari, ada pesan masuk via akun instagram. Ternyata seorang sahabat non-muslim mengucapkan ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri kepadaku. Namanya Frater Kayus. Begitu aku memanggilnya. Ia pun bertanya, apakah saya mudik atau tidak. “Ndak, Frater” jawabku. Karena tidak mudik, iapun mengajak untuk ngopi. Singkat cerita, kami pun sepakat untuk ngopi di salah satu warung kopi di sekitar Jakal (Jalan Kaliurang) KM. 11.

Dalam obrolan kecil itu, saya, Frater Kayus, dan Frater Fortun, berbincang banyak hal. Mulai dari pesantren, keislaman, kekristenan, keberagamaan, toleransi, isu terkini Israel-Palestina dan tentunya Gus Dur, bapak pluralisme agama di Indonesia. Obralan yang begitu cair ditemani secangkir kopi dan lampu warung kopi yang sayup-sayup.

Tak lupa pula kami membincang ekstrimisme agama. Menurut mereka, Frater Kayus dan Frater Fortun, di dalam kelompok Kristen pun ada yang ekstrem, sebagaimana adanya kelompok kecil yang ekstrem di dalam Islam. Dari obrolan tentang ekstremisme ini kami sepakat bahwa: ekstremisme itu ada di dalam setiap agama. Penyebab ekstremisme ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah terlalu saklek atau literlek dalam memahami kitab suci.

Moderatisme sebagai Jalan Keseimbangan

Buya Husein Muhammad ketika mengomentari sebuah hadis yang berbunyi “Inni lam umar an anquba qulubannasi, wala asyuqqo buthunahum” mengatakan bahwa suatu hukum harus diputuskan berdasarkan fakta dan bukti nyata, bukan asumsi, dugaan atau penilaian subjektif. Sebab, lanjut Buya Husein, keyakinan yang bersembunyi di dalam pikiran atau hati tidak bisa dihukumi.

Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa tidak berhak bagi kita sebagai seorang muslim menghukumi apa yang ada dalam pikiran dan hati orang lain. Termasuk di dalam keyakinan beragama. Tidak berhak untuk mengolok-olok, mengkafirkan, apalagi mengintimidasi.

Baca Juga:

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya memahami agama agar tidak terjebak dalam ekstrimisme. Salah satunya adalah memahami Islam secara moderat (dalam Islam disebut tawassuth). Kemenag dalam bukunya Moderasi Beragama berpandangan bahwa prinsip dasar dari moderasi adalah adil dan berimbang. Adil dan berimbang dalam menempatkan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban dan antara kepentingan individual dan komunal.

Moderat dapat juga diartikan tidak ekstrem kanan juga tidak ekstrem kiri. Tentu tidaklah mudah. Tapi ini menjadi PR bagi kita semua agar memberikan paham yang tidak mudah mengkafirkan kelompok lain. Sebab, logika hitam-putih tanpa memandang warna lainnya menjadi berbahaya. Seperti ketika seorang kafir maka ia boleh diperangi dan dibunuh. Bukankah kita hidup berdampingan di Indonesia wajib menjaga rumah sendiri tanpa memandang latar belakang?

Berdakwah bil-Humor ala Gus Dur

Gus Dur terkenal dengan kenyelenehan dan pemikiran-pemikiran yang progresif. Indonesia, kala Gus Dur masih hidup, belum begitu siap menerima pemikiran-pemikaran segar dari – meminjam istilahnya Buya Husein, Sang Zahid.  Selain pemikiran-pemikiran progresif, hal menarik dalam diri seorang Gus Dur adalah berdakwah melalui HUMOR.

Humor yang cukup familiar adalah ketika Gus Dur diundang Pak Harto untuk berbuka puasa bersama. Setelah berbuka puasa, kemudian shalat maghrib berjamaah, terjadilah dialog antara Gus Dur dan Pak Harto.

Pak Harto      : Gus, sampai malam disini?

Gus Dur         : Ndk, Pak. Saya harus pergi ketempat lain karena ada acara.

Pak Harto      : Oh, iya. Silakan. Tapi Kiainya tinggal disinikan?

Gus Dur         : Oh, ya. Tapi harus ada penjelasan dulu.

Pak Hart         : Penjelasan apa, Gus?

Gus Dur         : Shalat tarawihnya nanti itu “ngikutin” NU lama atau NU baru.

Mendengar jawaban tersebut Pak Harto bingung. Baru kali ini mendengar ada NU lama dan NU baru. Kemudian Pak Harto bertanya.

Pak Harto      : Lho NU lama dengan NU baru apa bedanya?

Gus Dur         : Kalau NU lama, tarawih dan witirnya itu 23 rakaat.

Pak Harto      : Lha, kalau NU baru bagaimana?

Gus Dur         : Diskon 60 persen! Hahahaha

Semua orang yang mendengar dan berada disekitarnya tertawa ngakak.

Gus Dur         : Ya, jadi shalat tarawih dan witirnya cuma tinggal 11 rakaat.

Pak Harto      : Ya sudah, saya ikut NU baru saja, pinggang saya sakit.

Dalam kesempatan lain, suatu ketika Gus Dur ditanya tentang akad nikah yang dilakukan melalui internet. “Apa bisa, Gus, akad nikah melalui video dengan jarak jauh?”. Karena tidak begitu akrab dengan teknologi, Gus Dur cukup kebingungan mendapat pertanyaan tersebut. Setelah mikir agak lama, dengan santainya Gus Dur menjawab, “Bisa saja akad nikah dilakukan melalui internet, asal kawinnya melalui internet juga”. Sontak jawaban Gus Dur membuat para pendengar disekelilingnya tertawa terpingkal-pingkal.

Percakapan di atas mengajarkan bahwa dakwah bisa dengan humor. Gus Dur mengajarkan dakwah dengan media humor. Sehingga ajaran Islam pun tidak terkesan kaku, justru terasa terkesan ramah. Gus Dur mengajarkan bahwa Islam itu merangkul bukan memukul. Merahmati bukan mencaci. Menghargai bukan mengebiri. Begitulah kira-kira obrolan semalam dengan sahabatku, Frater Kayus dan Frater Fortun. Wallahu`alam bish-shawab. []

*Humor di atas disunting dari buku ‘‘Ngakak Bareng Gus Dur‘‘ karya Muhammad Wahab Hasbullah, Yogyakarta: Insania, 2010.

Tags: agamaEsktremismeHari Toleransi InternasionalKeberagamaannon muslimPerdamaiantoleransi
Abdus Salam

Abdus Salam

Penikmat kopi dan kisah nabi-nabi. Bisa disapa di twitter: @salampeih atau IG: @salampeih

Terkait Posts

Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID