Mubadalah.id – Dua hari lalu, para Ibu di Yogyakarta melakukan aksi membunyikan panci. Aksi tersebut menjadi simbol keprihatinan para Ibu atas situasi yang terjadi. Hal ini merupakan respon terhadap kejadian luar biasa keracunan massal program Makan Bergizi Gratis yang menimpa para pelajar di beberapa daerah Indonesia. Aksi tersebut diinisiasi oleh Kenduri Suara Ibu Indonesia yang mengajak para Ibu untuk berkumpul di Bundaran UGM pada 26 September 2025 pukul 16.00 WIB. Aktivis perempuan, Mbak Kalis juga turut serta dalam aksi tersebut.
Bambu Runcing Vs Panci dan Suthil
Sebelum kemerdekaan, para pahlawan kita menggunakan bambu runcing untuk melawan penjajah. Saya jadi teringat saat ngaji di Pesantren mengenai penjelasan ini. Rata-rata, bambu runcing yang digunakan untuk melawan penjajah, menggunakan racun di ujung bambu serta didoakan terlebih dahulu. Tapi, benar kata Kakek Karl Marx bahwa sejarah akan terulang kembali.
Jika hampir delapan puluh tahun lebih yang lalu, para pendahulu kita sibuk memerangi penjajah dengan bambu runcingnya. Maka, kemerdekaan tidak benar-benar menjamin bahwa negara bebas dari segala bentuk kesusahan, kepayahan, dan bentuk jajahan lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, rasanya telinga kita sudah akrab mendengarkan berita-berita tentang bagaimana lemahnya negara dalam melindungi, merawat, dan menjaga rakyatnya.
Terlebih, para pejabat-pejabat negara menjadi penyebab dalam pembuatan kebijakan negara yang tidak ramah terhadap rakyat. Sudah beberapa kali aspirasi suara, demo, dan bentuk penyampaian suara rakyat lainnya yang tidak betul-betul para pejabat dengarkan? hal tersebut membuat rakyat semakin tertindas dan marah.
Belum selesai dengan kasus Mas Affan bulan lalu, hari ini kita sibuk dengan berita keracunan massal karena kebijakan program makanan bergizi gratis (MBG). Hingga saat ini, total 5000+ lebih pelajar yang mengalami keracunan. Mulai dari pingsan hingga muntah darah. Seolah para pejabat yang bertanggung jawab tidak benar-benar bekerja secara baik.
Adapun yang memantik kemarahan masyarakat ketika penyelenggaraan MBG tidak sesuai dengan SOP. Makanan yang tersaji basi, tidak berstandar gizi, dan banyak anggaran yang terpotong sehingga makanan hanya berisi snack gula. Belum lagi, viral edaran surat di media sosial yang mana orang tua tidak boleh menuntut penyelenggara MBG jika terjadi keracunan.
The Power of Emak-emak: Memulai Revolusi dari Panci dan Suthil
Tentulah, akumulasi hal tersebut sangat menyayat hati para Ibu. Para Ibu yang berharap anak-anak dapat belajar dengan baik di sekolah, malah harus menghadapi bahwa anak-anaknya mengalami keracunan karena program yang berjalan tidak matang. Beliau-beliau sudah tidak bisa lagi hanya diam menunggu belas kasih negara. Para ibu mulai memprotes dengan aksi membunyikan suara panci dan suthil karena masa depan anak-anak mereka sedang terancam.
Keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) jelas bukan perkara sepele. Lebih dari 5.000 pelajar menjadi korban, dan hingga kini, belum ada langkah yang benar-benar menyelesaikan masalah. Negara hanya sibuk membuat pernyataan dan janji investigasi, sementara anak-anak yang mestinya kesehatannya terjaga justru menjadi korban kebijakan yang terburu-buru dan tanpa pengawasan serius.
Aksi kenduri suara ibu Indonesia tersebut menjadi reminder keras bahwa rakyat (terutama para Ibu) sudah tidak lagi percaya pada “janji manis” para pejabat. Jika anak-anak pun harus menanggung risiko kebijakan yang ceroboh, apa artinya negara? Bukankah tugas utama negara adalah melindungi masyarakatnya?
Namun, yang terlihat justru sebaliknya: rakyat yang harus turun tangan, rakyat yang harus mengingatkan, rakyat yang harus menggedor pintu kesadaran para pemegang kekuasaan.
Panci dan suthil mewakili suara kemarahan yang sudah lama terpendam oleh para Ibu. Kemarahan pada sistem yang abai, pejabat yang sibuk pencitraan, kebijakan yang menyepelekan nyawa dan kesehatan anak-anak. Panci dan suthil adalah saksi bagaimana kepercayaan para Ibu terhadap pemerintah makin menipis.
Jika negara terus abai, bukan mustahil suara dentang logam ini akan menjelma jadi gelombang kemarahan yang lebih luas. Sejarah sudah berkali-kali membuktikan bahwa gerakan sederhana bisa menjadi api besar jika penguasa tetap menutup mata.
5 Tuntutan Aksi Damai Suara Ibu Indonesia di Yogyakarta
Dalam aksi tersebut, Mbak Kalis (seorang aktivis perempuan dan inisiator Kenduri Ibu Indonesia) dan para Ibu yang turut dalam akasi menggagas pendapat merek dalam lima tuntutan. Pertama, menghentikan program prioritas Makan bergizi Gratis yang sentralistik dan milisteristik.
Kedua, menuntut pertanggungjawaban kepada Presiden, Badan Gizi Nasional, Yayasan, SPPG, Dapur yang terlibat penyelenggaraan Makan Bergizi Gratis yang menyebabkan ribuan kasus keracunan periode januari-September 2025.
Ketiga, mendesak Badan Gizi Nasional untuk terbuka dan transparan dalam proses penelusuran ribuan kasus korban keracunan sesuai mandat UU Kesehatan dan berikan hak pemulihan kepada korban.
Kasus keracunan tidak seharusnya diidentifikasi berdasarkan nama kota atau nama sekolah, mereka adalah nama-nama anak manusia di mana setiap nama tersebut adalah milik berharga dari sebuah keluarga dan masa depan bangsa yang berhak pulih seutuhnya.
Keempat, usut pemburu rente dalam proses Makan Bergizi Gratis yang dibiayai negara, yang dalam desain tata kelolanya sarat konflik kepentingan.
Kelima, kembalikan peran pemenuhan gizi anak ke komunitas dan daerah
Sudah seharusnya, negara hadir untuk melindungi para generasi muda dan memberikan jaminan bahwa setiap anak bisa tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia. Program apapun yang mengatasnamakan rakyat tidak boleh dibiarkan menjadi proyek setengah matang yang justru melukai masa depan bangsa. Memang, sudah seharusnya revolusi negara dimulai dari panci dan suthil. []