• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Kenikmatan Bercinta Adalah Potret Kecil Kenikmatan Surga

Dalam konteks ini, saya setuju dengan Firdaus – perempuan yang menjadi tokoh utama dalam novel ‘Imra’ah ‘Inda Nuktah al-Qasr karya monumental Nawal As-Sa'dawi – bahwa semua perempuan (dalam budaya patriarki) tak ubahnya “pelacur”.

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
06/08/2023
in Keluarga, Rekomendasi
0
Kenikmatan Bercinta Kenikmatan Surga

Kenikmatan Bercinta Kenikmatan Surga

3.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubdalah.id – Kenikmatan bercinta (hubungan intim) adalah potret kecil dari kenikmatan surga. Tak seharusnya hanya dinikmati sepihak, suami istri berhak menikmati bersama. Karena selain potret kecil kenikmatan surga, bercinta adalah kebutuhan bagi setiap insan. Kebutuhan seks bagi insan tidak ubahnya kebutuhan akan makan sebagaimana ungkapan Syekh Junaid al-Baghdadi.

Kenikmatan bercinta, menurut penilaian Imam al-Ghazali, yaitu gambaran dari kenikmatan surga. Suami istri ketika merasakan kenikmatan bercinta, mereka akan menganalogikan dengan kenikmatan surga. Lalu sadar, surga lebih dari itu sehingga memantik suami istri untuk melakukan kebajikan sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan, (Ihya Ulumiddin, 2/27).

Bercinta dalam Budaya dan Fikih

Kenikmatan bercinta tidak boleh hanya salah satunya yang merasakan. Agar keduanya mencapai tujuan atau hikmah dibalik adanya syahwat yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Sayangnya, selama ini budaya kita menempatkan perempuan sebagai objek seksual dalam bingkai pernikahan. Karena objek, hak seksual (hubungan intim) perempuan acapkali terabaikan. Perempuan hanyalah pemuas syahwat birahi laki-laki. Dan hanya laki-lakilah yang pantas menikmati.

Dalam lembaran kitab fikih, seringkali mengidentikkan istri sebagai objek seksual dan suami sebagai subyeknya. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri dengan kompensasi istri wajib melayani suami.  Syekh Zakariya al-Anshari, misalnya, mengatakan bahwa nafkah wajib diberikan kepada istri kalau istrinya sudah tamkin (memasrahkan dirinya) kepada suaminya.

Baca Juga:

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Mari Belajar Menyelami Makna Pada Lafadz Allah Bersama Prof Quraish Shihab

Pernah Dengar Kalau Ramadan itu Dibagi Tiga?

Surga Untukmu Mbak Ning

Dengan alasan nafkah, istri harus melayani suami kapan saja suami ingin menikmati tubuhnya. Tidak mau tahu apakah sang istri juga ingin berhubungan badan atau tidak. Pokoknya tidak boleh menolak ajakan suami kecuali alasan-alasan tertentu. Dengan alasan nafkah, kebebasan istri terkekang semisal keluar rumah harus meminta restu suami, tidak sebaliknya.

Implikasinya, istri yang tak dapat berhubungan intim maka tak berhak mendapat nafkah seperti istri yang masih kecil, istri yang gila, dan istri yang terpaksa. Pun istri yang keluar rumah tanpa restu suami tidak berhak dapat nafkah. Atau dapat restu tetapi keluar rumah karena bukan kepentingan suami, juga tidak dapat nafkah sebagaimana kitab-kitab fikih klasik menyebutkan.

Relasi Seks dalam Bingkai Budaya Patriarki

Dalam konteks ini, saya setuju dengan Firdaus – perempuan yang menjadi tokoh utama dalam novel ‘Imra’ah ‘Inda Nuktah al-Qasr karya monumental Nawal As-Sa’dawi – bahwa semua perempuan (dalam budaya patriarki) tak ubahnya “pelacur”. Yang membedakan adalah formatnya.

Jika bukan istri, ia adalah pelacur dengan kontrak sewa manfaat yang menurut kaca mata agama haram. Sedangkan istri, ia “pelacur” dengan kontrak yang halal menurut agama, yaitu akad nikah. Dengan penuh penekanan, Firdaus mengutarakan;

لم أشعر لحظة أنني امرأة غير شريفة، كنت أعرف أن مهنتي من صنع الرجال المسيطرين على الدنيا والآخرة، وأن الرجال يفرضون على النساء أن يكن مومسات بأشكال مختلفة، ولأنني ذكية واعية فقد فضلت أن أكون مومسا حرة عن أن أكون مومسا عبدة

Kira-kira terjemahannya begini, “Sedikitpun, saya tak merasa diri ini perempuan yang hina dina. Saya tahu, profesi (melacur) saya hasil rekayasa para pria yang telah memperdaya (ku) dunia dan alam baka. Semua perempuan adalah pelacur dengan varian bentuknya yang berbeda di bawah pengendalian para pria. Dan karena saya cerdas nan sadar, saya lebih mulia menjadi seorang pelacur (ibu) yang merdeka dari pada menjadi pelacur (istri) yang diperbudak (suami)” (‘Imra’ah ‘Inda Nukt}ah al-Qasr, 62-63).

Titik temu antara perempuan yang menyandang status “istri” dan “pelacur” adalah sama-sama mendapatkan bayaran. Distingsinya hanyalah bungkus atau dan nama, yang satu labelnya nafkah yang lain adalah upah. Namun keduanya memiliki fungsi yang sama yaitu untuk menikmati tubuh perempuan. Begitulah relasi seks dalam bingkai budaya patriarki.

Suami Istri Objek dan Subjek dalam Ranah yang Berbeda

Tidak jauh berbeda dengan ungkapan Firdaus, Imam Khatib Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan bahwa nafkah adalah kompensasi (bayaran) dari dipasrahkannya (tubuh istri) untuk dinikmati.

وَبَدَأَ الْمُصَنِّفُ بِنَفَقَةِ الزَّوْجَةِ لِأَنَّهَا مُعَاوَضَةٌ فِي مُقَابَلَةِ التَّمْكِينِ مِنْ الِاسْتِمْتَاعِ

“Imam Nawawi memulai dengan nafkah istri lantaran nafkah sebagai kompensasi dari tamkin-nya istri untuk dinikmati” (Mughni al-Muhtaj, 5/151)

تَجِبُ بِالتَّمْكِينِ التَّامِّ لِأَنَّهَا سَلَّمَتْ مَا مَلَكَ عَلَيْهَا فَتَسْتَحِقُّ مَا يُقَابِلُهُ مِنْ الْأُجْرَةِ

“Nafkah wajib dibayar sebab (tubuh) istri diserahkan secara sempurna. Karena telah menyerahkan apa yang ia miliki (tubuh) maka ia berhak dapat kompensasi berupa upahnya (nafkah)” (Mughni al-Muhtaj, 5/165).

Tentu saja, andaikan kita proporsional membaca kitab-kitab fikih tersebut tidak akan sampai memperlakukan istri laksana pelacur dan budak tak berbayar sebagaimana Firdaus mengatakan. Karena suami istri sama-sama objek di satu sisi dan di sisi lain sama-sama subjek.

KH. Husein Muhammad mengatakan, dengan otoritas nafkah di tangan suami menjadikan istri bergantung sepenuhnya kepada suaminya dalam ekonomi. Sebaliknya, dengan otoritas seks di tangan istri menjadikan suami sangat bergantung secara seksual kepada istri (perempuan).

Dengan relasi demikian, maka istri tidak memiliki kewajiban ganda baik di luar maupun dalam rumah semisal mencuci, memasak dan lain semacamnya. Semua kebutuhan yang berkaitan dengan nafkah; sandang, papan, dan pangan kewajiban suami, pungkas Buya Husein (Fiqh Perempuan).

Kenikmatan Bercinta dan Urgensi Perspektif Trilogi KUPI

Sayang, budaya kita terlanjur menganggap istri sebagai objek seksual. Budaya kita sering mengabaikan kebutuhan biologisnya. Padahal keduanya harus menikmati bersama. Karena selain kebutuhan biologis, bercinta merupakan potret kecil kenikmatan surga. Imam al-Ghazali sudah sadar tentang pengabaian hak istri untuk menikmati bercinta sehingga beliau mewanti-wanti suami agar tidak egois dalam bercinta.

ثُمَّ إِذَا قَضَى وَطَرَهُ فَلْيَتَمَهَّلْ عَلَى أَهْلِهِ حتى تقضي هي أيضاً نهمتها فإن إنزالها ربما يتأخر فيهيج شهوتها ثم القعود عنها إيذاء لها

“Ketika suami klimaks lebih awal hendaknya menahan terlebih dulu hingga istrinya juga klimaks. Karena boleh jadi klimaksnya istri lebih lama. Dan ketika syahwat birahi istri bangkit kemudian terabaikan maka akan membuat kesal”.

Suami harus memperhatikan hak biologis istri saat berhubungan intim agar sama-sama menikmati. Konsekuensinya bisa fatal karena tidak jarang tiadanya kepuasan dalam bercinta bisa mengakibatkan tiadanya keharmonisan rumah tangga.

Jika demikian signifikannya aktivitas bercinta dalam mahligai rumah tangga, bagaimana solusinya?

Di sinilah urgensinya perspektif trilogi KUPI: al-Makruf, Mubadalah dan Keadilan Hakiki untuk menyikapi ketimpangan relasi seksual dalam budaya patriarki. Dengan al-Makruf, suami istri harus sama-sama memperlakukannya sebaik mungkin dalam bercinta. Dengan Mubadalah, keduanya harus saling menikmati bercinta sebagai potret kecil kenikmatan surga sehingga terciptalah keadilan yang hakiki. []

Tags: Fikih PerkawinanHubungan SeksualHubungan Suami Istri yang Baik dan BenarKenikmatan BercintaNawal al-Sa'dawisurga
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version