Mubadalah.id – Umi Hanisah Abdullah, pengasuh Dayah Diniyah Darussalam di Aceh Barat, menyampaikan kesaksiannya mengenai banjir bandang dan longsor yang melanda wilayahnya akibat kerusakan hutan.
Hal itu ia ungkapkan dalam Tadarus Subuh ke-173 bertema “Kerusakan Ekologi: Tanggung Jawab Negara, Agama, dan Komunitas” yang digelar pada Minggu, 7 Desember 2025.
Dalam Tadarus Subuh tersebut, Umi Hanisah menilai Aceh yang dikenal publik sebagai Bumi Syariat justru menghadapi kontradiksi berupa kerusakan hutan yang dibiarkan dan bahkan kerap dibungkus dengan legitimasi keagamaan.
“Pandangan keagamaan yang seharusnya menjaga kehidupan justru sering dipakai untuk membenarkan kerusakan hutan,” ujarnya membuka diskusi.
Ia mencontohkan bagaimana di Aceh Barat, atas nama kesejahteraan masyarakat, Perusahaan terutama pemilik modal besar asing, termasuk dari PT. Cina masuk ke pegunungan dan sungai-sungai untuk menambang emas, nikel, hingga batu bara. Gunung dikeruk, aliran sungai terputus, dan hutan-hutan dibabat habis. Namun janji kesejahteraan itu tidak pernah benar-benar tiba.
“Masyarakat tetap miskin. Bahkan Aceh Barat menjadi salah satu kabupaten termiskin di wilayah itu, meski tanahnya disedot habis oleh industri tambang dan perkebunan sawit raksasa,” tegasnya.
Ulama Perempuan Menyatakan Merambah Hutan Itu Haram
Ulama perempuan Aceh, melalui jaringan KUPI daerah, bergerak dengan cara mereka sendiri. Umi Hanisah menuturkan bahwa dakwah ekologis kini menjadi bagian penting dari kerja-kerja keulamaan perempuan. Mereka memproduksi film dakwah, menyusun modul khusus ekologi, hingga menulis buku panduan untuk di majelis taklim, pesantren, dan sekolah.
“Kami membawa bibit tanaman ke masjid, ke sekolah, ke kampung-kampung. Itu dakwah nyata. Kami ingin masyarakat melihat sendiri bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja,” katanya.
Gerakan ini berangkat dari keyakinan agama: bahwa merusak hutan adalah haram, dan menjaga ekosistem adalah kewajiban. Prinsip yang jelas, tegas, dan berpihak pada kelestarian—namun sering kali tidak sejalan dengan kebijakan para pemegang kekuasaan.
Namun dakwah ekologis itu tidak selalu mudah mereka terima. Banyak warga yang terseret masuk dalam lingkaran industri ekstraktif karena kebutuhan ekonomi.
“Di situlah kami mencari uang,” begitu jawaban yang paling sering disampaikan masyarakat kepada mereka.
Umi Hanisah memahami kondisi itu. Sebagian besar pekerja tambang adalah warga lokal yang bekerja kasar karena tidak punya pilihan lain. Sementara yang menikmati keuntungan sesungguhnya adalah para pemodal dan elite lokal. Sementara itu, kerusakan alamnya ditanggung bersama oleh masyarakat kecil.
Situasi serupa juga terjadi di Aceh Selatan, Aceh Timur, hingga ke jantung ekosistem Leuser. Ketika Umi Hanisah bersama para tengku inang berkunjung ke Gayo Lues untuk merancang kurikulum ekologi di dayah, mereka menyaksikan langsung kerusakan yang mengiris hati. Perambahan sudah masuk hingga ke pinggir kawasan Leuser sebagai paru-paru dunia yang seharusnya terlindungi secara ketat.
“Sedih sekali melihatnya, tetapi kami tidak boleh putus asa,” ungkapnya.
Sekolah Energi Bersih: Perlawanan dari Dayah
Salah satu langkah konkret yang komunitas dayah lakukan adalah dengan merintis sekolah energi bersih. Di tengah banyaknya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Aceh Barat yang mencemari udara dan laut, mereka mendorong masyarakat untuk beralih ke energi terbarukan.
Umi Hanisah menyampaikan laut yang dulu penuh dengan ikan kini kosong dalam radius hampir 10 kilometer. Tanah di sekitar PLTU rusak. Banyak warga mulai menderita asma, ia sendiri juga penyintas banjir dan saksi langsung kerusakan ekologis di sekitarnya.
“Masyarakat pindah karena tidak sanggup lagi hidup di daerah itu. Yang bertahan adalah mereka yang tidak punya pilihan,” ujarnya.
Penelitian bersama DLC juga memperkuat temuan lapangan: pencemaran akibat PLTU memberi dampak signifikan terhadap udara, tanah, dan laut.
Karena itu, dayah-dayah yang bekerja sama dengan ulama perempuan Aceh membangun model pembelajaran energi terbarukan yaitu tenaga surya, tenaga angin, dan alternatif ramah lingkungan lainnya.
Panel surya sudah dipasang di beberapa masjid dan pesantren, walau masih terbatas di halaman luar. Namun langkah kecil itu menjadi sinyal bahwa perubahan itu mungkin dan perlu terus diperluas.
Ketika Suara Ulama Tidak Didengar Penguasa
Salah satu bagian paling tajam dari kesaksian Umi Hanisah adalah soal sikap penguasa. Ia mengaku para ulama perempuan telah berulang kali menyampaikan peringatan melalui mimbar, forum masyarakat, hingga pertemuan dengan pemda. Namun suara itu jarang mereka anggap serius.
“Penguasa tidak mendengar. Karena itu, mungkin bencana ini adalah peringatan agar suara rakyat mereka dengar,” jelasnya.
Baginya, kerusakan ekologis di Aceh bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi masalah moral dan tanggung jawab negara. Ketika kebijakan hanya menguntungkan korporasi, masyarakat kecil dan alam menjadi korban berulang kali.
Di akhir sesi, Umi Hanisah menekankan bahwa dakwah lingkungan bukan sekadar program, melainkan tugas kekhalifahan.
Dalam Islam, bumi adalah masjid. Ia suci, bersih, dan tidak pantas dirusak. Ketika industri ekstraktif merusak tanah, udara, dan air, maka yang dilanggar bukan hanya hukum negara, tetapi juga hukum Tuhan.
Ulama perempuan Aceh memilih untuk tidak menyerah. Mereka menghidupkan dakwah ekologis dari kampung, dari dayah, dari majelis taklim, hingga ruang-ruang virtual. Mereka membangun jaringan di seluruh Aceh, menggerakkan aksi nyata sekaligus mengembalikan nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi alam.
“Menjaga alam adalah ibadah. Merusaknya adalah pengkhianatan,” tutupnya. []










































