Mubadalah.id – Saya sendiri tidak menyangka, sungguh. Bahkan sering kali bertanya-tanya mengapa mentari yang terbit beberapa hari menjelang acara besar KUPI II di Jepara itu begitu hangat menerpa gubuk sederhana tempat kami tinggal dan sangat menyenangkan.
Hangatnya sangat berbeda. Kopi yang diseduh dengan air hangat, bagi saya sangat tidak nikmat. Walaupun kenikmatan kopi-seperti yang dirasakan banyak orang, tak terkecuali diriku-terdapat pada kehangatannya.
Iya, memang pada hangatnya. Tetapi sifat hangat yang menjadi konsekuensi dari perjalanan suhu-dari panas menuju hangat-setelah air dalam gelas telah larut dengan kopi dan gula. Bukan sebaliknya. Singkatnya, kopi hangat yang diseduh dengan air panas jauh lebih nikmat daripada kopi yang langsung dilarutkan dengan air hangat.
Walaupun, sekali lagi, saya menikmati kondisi hangatnya. Mentari yang selalu menemaniku menjelang KUPI II di Jepara ini, berhasil memberikan kehangatan yang nikmat, sangat nikmat. Bahkan, lebih nikmat dari kopi yang diseduh dengan air panas. Satu kehangatan yang memberi semangat dan gairah yang besar.
Mentari Pagi itu, adalah Istriku
Sejak awal November lalu, saya disibukkan oleh beberapa tugas berat. Bukan hanya berat di pikiran, tetapi juga fisik. Saya bersama beberapa sahabat, para guru dan masyarakat sekitar tengah menjalani amanah pembangunan Pondok Takhassus Literasi Kitab Kuning Yayasan Pondok Pesantren Manbaul Ulum Kabul. Proyek pembangunan musala tiga lantai dan beberapa lokal asrama untuk para santri takhassus.
Selain itu, disambut oleh acara konferensi MWC NU Praya Barat Daya, Lombok Tengah. Saya tidak sedang bicara kesibukan, sebagai aktivis di mana-mana. Bukan. Kami turut merasa bertanggung jawab karena kami sebagai tuan rumah. Syukurnya, kehangatan mentari itu selalu menyertaiku.
Mentari yang kumaksud tiada lain adalah istriku sendiri, Zuhrotul Ainiyah. Perempuan hebat yang tak pernah kupanggil namanya. “Dek atau Umma” yang selalu muncul sebagai panggilan. Ia adalah mentari yang terus hidup, bersinar tanpa pernah redup, menghangatkan, memberikan kenyamanan, semangat dan gairah dalam setiap tapak perjuangan.
Saya yang akhir-akhir ini sering berangkat pagi saat ia masih dandan siap-siap menuju sekolah, dan pulang larut malam kecuali saat tiba waktu salat, kaget melihat sebuah koper yang sudah kinclong, pakaian-pakaian semuanya rapi dan beberapa kebutuhan safar sudah terpenuhi. Rupanya ia bekerjasama dengan ibu untuk memberi kejutan ini. Mereka sangat girang saat ada kegiatan KUPI II di Jepara yang saya hadiri.
Tentang Umma, Istriku
Terutama Umma, istri tercinta itu. Ia turut giat membaca saat saya membaca, ia ingin jago menulis saat saya menulis, ia ingin turut serta langsung dalam kegiatan-kegiatan KUPI. Saya pikir, ini bukan hanya karena dekat dan selalu melihat aktivitas saya. Melainkan, seolah ada dorongan besar dari dalam diri dia. Saya menduga sebuah kisah kelam masa kecil.
Hari ini, Umma tengah genap memasuki bulan keempat kehamilannya. Waktu di mana perempuan pada umumnya sedang ingin selalu dekat dengan sang suami, keluarga, terutama ibu kandungnya sendiri. Namun takdir berkata lain. Rupanya ia sudah terpaksa menjadi dewasa sejak masih bayi. Ia yang berusia masih hitungan bulan waktu itu, sudah kehilangan sayap kasih sayang sang ibu.
Ayah yang ia harapkan juga tidak mendekapnya dengan hangat. Sibuk dengan profesinya sebagai juragan gabah. Selain juga karena mengurus anak-anaknya yang lain, saudara dari Zuhrotul Ainiyah yang seayah. Terlebih, sejak sebelum meninggalnya ibu Mahite-ibu kandung Zuhrotul Ainiyah-sang ayah sudah menikah lagi dengan seorang perawan yang baru lepas SMP.
Sejak sebelum mengenal apa-apa, ia mulai hidup di bawah asuhan neneknya. Nenek yang bukan ibu dari ayahnya. Tetapi ibu dari saudara ayahnya. Jika mengingat kisah masa lalu itu, tiba-tiba saja muka cerahnya berubah mendung, dan tanpa suara ia meneteskan air mata. Semakin deras dan terus semakin deras. Rupanya ia sangat merindukan dekapan sang ibu, terutama di saat hamil mudanya saat ini.
Mendukung KUPI II di Jepara
Kendati demikian, ia justru begitu getol dan bahagia melihatku berangkat ke Semarang dan Jepara dalam menghadiri acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kedua kali ini. Ia mendukung penuh setiap langkah perjuangan membela harkat martabat perempuan.
Ia sanggup ditinggal selama kurang lebih satu minggu, sejak tanggal 21-26 November. Bukan malah manahanku pergi. Kehamilannya tidak menjadi persoalan sama sekali baginya lantaran akan menjalani LDR beberapa hari ke depan.
Harapannya terhadap masa depan perempuan lebih ia prioritaskan daripada kondisinya saat ini. Ia memang orang yang baru “kemarin sore” mengenal istilah KUPI. Sebelumnya, ia tidak tahu apa-apa tentang dunia semacam itu. Selama ini, Umma tinggal di pondok, sejak SMP hingga lulus kuliah. Tanpa handphone dan alat-alat komunikasi canggih lainnya.
Dari kecil hingga tumbuh dewasa, Umma tak ubahnya bagai pungguk merindukan bulan, mengharap siapa yang bisa membantu menjelaskan persoalannya. Khususnya terkait nasib perempuan yang selalu termarginalkan, baik dalam rumah tangga maupun di ranah publik. Ia selalu menangis menyimak kisah bagaimana sang ibu-yang ia rindukan sejak lama-mendapat perlakukan di masa lalu.
Kisah Ibunda Imam Syafi’i
Menyimak ketangguhan perempuan yang kini menjadi istriku ini, saya jadi teringat kisah ibunda imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Perempuan yang dikenal sejarah karena ketangguhannya. Sejak sepeninggal suaminya yang bernama Idris, ayah imam as-Syafi’i, Fatimah binti Abdullah bin al-Husain pun bertekad kuat untuk mendedikasikan putranya ke dunia intelektual. Mereka memang memiliki nasab yang mulia.
Namun, secara sosial ternyata ia tidak mendapat kemuliaan seperti yang dijanjikan nasabnya, lantaran kemiskinan akut yang menimpa rumah tangganya.
Dari pada ini, Fatimah yakin bahwa nasab mulia tidak dapat membuat keluarga mereka menjadi mulia. Karena kemuliaan yang sejati sangat tidak terkait dengan nasab. Melainkan dari dalam diri kita sendiri. Jika diri ini berkualitas, maka secara otomatis berubah menjadi mulia. Sehingga, ia memasrahkan putra mahkotanya untuk belajar kepada orang-orang saleh dengan keilmuan yang membahari.
Belajar dari Para Ulama Perempuan
Jika Fatimah berjuang demi peradaban masa depan melalui putranya yang bernama Muhammad bin Idris, sampai rela berpisah dengan sang buah hati yang saat itu belum dewasa. Maka Zuhrotul Ainiyah juga tengah memperjuangkan peradaban masa depan melalui diri dan suaminya. Sehingga ikhlas-bahkan bahagia-berpisah dalam seminggu ke depan, kendati ia dalam kondisi hamil muda.
Saya sendiri merasakan energi perjuangan yang cukup kuat dari dalam dirinya. Seolah ada energi penolakan yang besar menguap dari panas semangat juangnya. Ia tidak rela seorang anak lahir tanpa kasih sayang bunda sejak masih bayi seperti yang ia alami. Terutama, jika itu berawal dari sikap “kurang bertanggung jawab” sang suami yang seharusnya menjadi partner yang selalu bisa saling mengisi dalam setiap kebutuhan keluarga.
Singkat kalam, menjadi kekasih hatinya adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagiku. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar lebih banyak bersama para ulama perempuan dalam setiap kegiatan KUPI II kali ini. Sehingga, setiap ilmu dan informasi yang kuperoleh akan kubungkus menjadi oleh-oleh istimewa untuknya. Semoga setiap ilmu dan informasi itu bermanfaat besar bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat seluruhnya. Amin ya rabbal alamain.
Saya menulis ini saat masih di kereta dari stasiun Surabaya Pasarturi menuju Semarang Tawang. Semoga bermanfaat dan semoga selamat sampai tujuan. []