Mubadalah.id – Mubadalah.id mengadakan sebuah acara yang menarik, yakni Ngobras (Ngobrol Asyik) bersama penulis melalui ruang zoom dan siaran langsung di fanpage Facebook Mubadalah.id. Hari ini, tema yang diangkat adalah tentang gender dan lingkungan hidup. Yang membuat acara ini lebih menarik adalah, narasumber yang akan bersuara tentang gender dan lingkungan hidup adalah seorang laki-laki.
Dia adalah Miftahul Huda, seorang kontributor penulis di Mubadalah.id yang 18 tulisannya telah dimuat dalam website resmi Mubadalah.id. Menariknya, laki-laki jebolan pendidikan formal Al Futuhiyyah Mranggen Demak, yang kini berdomisili di Yogyakarta seakan konsisten menuliskan isu lingkungan hidup yang beririsan dengan perempuan. Aku semakin dibuat penasaran tentang apa yang akan dipaparkan Mas Huda dalam sesi “Ngobras” hari ini. Bagaimana mungkin tidak penasaran untuk mendengar suara laki-laki tentang gender dan lingkungan hidup.
Mas Huda membuka presentasinya dengan titik fokus pada keadilan gender dan lingkungan hidup. Dia memulai paparannya dengan bagaimana negara dunia ketiga (negara berkembang) terobsesi menjadi dunia ke satu (negara maju secara industrial) dengan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap alam dan lingkungan hidup. Di sisi lain ada masyarakat yang sangat bergantung dengan alam, mereka inilah yang kemudian memiliki relasi gender tradisional. Dimana perempuan sebagai manager keuangan, sedangkan laki-laki sebagai seorang leader dalam rumah tangga.
Selanjutnya, Mas Huda dengan sangat cermat menarasikan posisi perempuan dalam relasi gender di tengah budaya patriarki kehidupan petani. Ruang domestik seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak adalah tugas perempuan. Bahkan saat perempuan turun ke ladang (ruang publik), hanya dipandang tengah membantu suaminya saja, sehingga sepulang dari ladang, ada tugas domestik yang telah menanti. Juga saat perempuan menjadi buruh tani, dengan mengerjakan ladang milik orang lain sebagai pencari nafkah. Perempuan hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sekali lagi karena ruang domestik adalah prioritas bagi perempuan.
Aku sampai heran, bagaimana bisa seorang laki-laki mampu memiliki analisis gender sedemikian tajam, hingga mampu menarasikan relasi gender pada keluarga petani dengan sedemikian cermat. Aku kembali menanti korelasi antara gender dengan lingkungan hidup yang menjadi menu utama bahasan hari ini.
Ternyata, ketika perempuan sudah dibuat melekat dengan ruang domestik, maka apapun yang berhubungan dengan ruang domestik seakan menjadi tanggung jawab perempuan. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, jelas membutuhkan air, sayur mayur, dan lauk pauk yang berasal dari alam. Dan ketika eksploitasi atas alam terjadi, maka ruang domestik perempuan akan terancam. Rumah kacau hingga tidak ada makanan untuk dihidangkan.
Aku menjadi tidak heran, bahkan sangat sepakat dengan Mas Huda saat menyatakan perempuan menjadi yang terdepan dalam menolak eksploitasi alam yang dilakukan oleh Negara. Kasus di Kendeng, Wadas, Tumpang Pitu, Papua, dll menjadi potret nyata bahwa perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, namun hanya dianggap sebagai penerima manfaat. Perempuan tidak diberi pilihan untuk menolak atau menyetujui program pemerintah. Sehingga menjadi wajar jika perempuan dianggap bereaksi berlebihan, karena eksploitasi alam berdampak pada kesejahteraan ruang domestik mereka selama ini.
Menjadi bisa dipahami saat para perempuan di posisi mereka terlihat enggan berkomentar tentang keterwakilan 30% perempuan di parlemen, atau berbicara tentang kebebasan berekspresi. Karena untuk sekedar tidur nyenyak pun mereka kesulitan, bayangan tanah, air, dan alam yang mereka miliki akan hilang esok hari, jelas selalu menjadi mimpi buruk bagi mereka. Perempuan adalah ibu kehidupan, yang dari rahimnya lahir kehidupan baru, maka jelas merenggut kehidupan sangat bertentangan dengan kodratnya. Naluri inilah yang membawa perempuan menjadi lebih tegas daripada laki-laki dalam menolak eksploitasi alam dan lingkungan hidup.
Di akhir sesi, selain Mas Huda menjawab ragam pertanyaan dari peserta “Ngobras” seputar tema gender dan lingkungan di malam itu, dia juga membuat pernyataan-pernyataan sebagai statemen penutup. Dia menyatakan bahwa tulisannya adalah narasi dari potret nyata yang dilihatnya secara langsung, dia hanya menambahi dengan analisis gender dan pendekatan emosional agar membuat tulisannya mampu menyentuh emosi pembacanya.
Dia bersyukur dengan tinggal di Yogyakarta, karena di sanalah dia mendapatkan support sistem yang kuat dan fasilitas yang memadai untuk menyuarakan isu gender dan lingkungan hidup, sehingga tidak mendapati kendala yang amat berarti. Saat ditanya tentang laki-laki yang bersuara tentang gender, dia hanya menjawab dengan singkat, bahwa perempuan dan laki-laki memang seharusnya berjalan beriringan, tanpa dominasi atas satu dengan yang lainnya. []