Mubadalah.id – Perjalanan yang tak bisa dilupakan tatkala duduk disamping supir di sebuah angkot.
“Ibu kerja dimana?”, katanya membuka percakapan.
“Di Pesantren”, jawabku.
Dalam beberapa menit kami terlibat obrolan kecil yang menarik, sampai pada sebuah percakapan:
“Bener gak warung-warung kecil di pinggir jalan itu kerap dimanfaatkan sebagai rumah bordil bang?, tanyaku.
“Hehe maaf ya, memang betul bu, termasuk saya juga sering mampir”.
“Loh apa enaknya bang, bukankah itu nanti menjadi sumber penyakit?”.
“Waah… bagi kami, itu justru menawarkan solusi yang simpel ketika kami para supir jauh dari istri. Dengan jajan tersebut kami mendapatkan berbagai keuntungan. Kita bisa memilih selera yang kita inginkan. Yang cantik, yang item-manis, langsing hingga yang sintal ada bu. Umurpun kita bisa pilih, 20an tahun, 30an bahkan yang ABG sekalipun seperti 14an tahun, dan biarkan istri yang tua disimpan di rumah”, katanya tergelak-gelak.
“Dari sisi budget bu juga murah. Dibanding menikah lagi yang jelas nanti mahal ongkosnya karena harus kasih makan setiap bulan, belum lagi beli rumah dan biaya-biaya lainnya. Enaknya lagi, make yang di rumah bordil tidak bikin bosan karena bisa gonti-ganti semau kita”, tambahnya dengan ringan dan penuh gelak tawa.
Aku sendiri getir dan masygul mendengar kalimat-kalimatnya dalam memandang perempuan yang seperti tanpa salah dan dosa. Ia menganggap perempuan sebagai benda-benda untuk memuaskan nafsunya belaka. Tanpa memandangnya sebagai manusia yang berperasaan. Terutama pada istrinya yang berada di rumah.
Realitas tersebut mencerminkan masih banyak suami yang tidak memahami perkawinan sebagai ikatan bersama yang kuat (mitsaqan ghalizhan) untuk mewujudkan segala kebaikan bersama.
Ini masih terkait dengan posisi perempuan yang masih subordinatif dan pelengkap semata di mata banyak laki-laki akibat kuatnya budaya patriakhi. Sebutan jajan misalnya bagi transaksi laki-laki untuk memperoleh jasa PSK. Ini karena perempuan dipandang sebagai sebagai barang jajanan yang dapat dibeli dengan uang untuk memuaskan selera pembeli laki-laki. Pandangan ini mencerminkan reduksi terhadap harkat perempuan.
Tentu saja pandangan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Ikatan pernikahan tidak hanya menuntut komitmen kesetiaan antara suami dan istri, tetapi juga tuntutan untuk selalu berpikir dan berbuat baik, yang satu kepada yang lain. “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada keluarganya”, kata Nabi Saw.
Kalimat Nabi Saw ini ditujukan pada laki-laki agar berbuat baik kepada istrinya.
Ditambah lagi dengan hadis yang sangat terkenal mengenai hak ibu yang tiga kali lebih besar dari hak bapak. Ini semua menandakan betapa perempuan, yang dalam realitasnya masih dipandang sebagai benda dan barang, harus diperlakukan secara terhormat sebagai manusia. Terutama ketika sebagai istri dari seorang laki-laki, atau ibu dari anak-anaknya.
Andai saja sang supir itu mau merasakan apa yang dirasakan para perempuan yang menjadi istri di rumah, mungkin dia mau berbalik berkomitmen untuk mewujudkan kebahagiaan bersama di dalam rumah. Apalagi jika ia mau mendengar nasehat Nabi Muhammad Saw yang begitu memuliakan perempuan. Semoga dia mau insyaf.
Penulis: Ny. Hj. Afwah Mumtazah. Pengasuh PP Kempek, Cirebon dan Rektor ISIF Cirebon.