Mubadalah.id – “Adiba, Adiba, hati-hati! Awas terjatuh!” seru Mama.
Suara tawa riang gadis kecil berusia 20 bulan itu memenuhi ruang tamu, sementara aku hanya tersenyum melihatnya berlarian dengan lincahnya. Ini kisah Adiba, cucu perempuanku. Ssesekali aku melirik, tak sabar menantikan kejutan apa lagi yang akan dia bawa, selain dari berlarian.
Napas Mama terengah-engah mengejar langkah Adiba yang tak kenal lelah. Aku tersenyum melihatnya, merasakan betapa bersemangatnya dia dalam mengurus cucu pertamanya itu.
“Yah, aku memang sudah agak tua,” bisiknya sambil mengelus dada yang terasa kepanasan.
“Hmm, Adiba juga sepertinya lebih suka bermain dengan Mama,” tambahku.
Adiba berlarian mendekati Mama, memeluknya dengan erat. Pemandangan itu begitu indah bagiku. Meskipun lelah, senyum Mama dan pelukan hangat dari Adiba sepertinya menjadi sumber kebahagiaan tersendiri baginya.
“Apakah aku sudah tergantikan oleh cucu pertamanya ini?” gumamku dalam hati.
DEGH!
Jantungku nyaris perih, tiba-tiba samar nama Juwariah melintas dibenakku. Seperti biasa, aku akan masuk ke dalam kamar. Menguncinya rapat dan memeluk guling dan memejamkan mata. Ada penuh harap dan seribu kali harap bisa tidur nyenyak dan bermimpi bertemu dengan sosoknya.
Mataku tertutup dengan bibir berucap “nek, tolong masuk ke dalam mimpiku , ya…”
Tapi tidak. Walau kupaksa, itu tidak akan pernah berhasil.
Aku marah. Aku kesal dan aku sedih. Apakah ini adil?
Juwariyah wanita yang memiliki wajah yang bulat sepertiku, dan postur tubuh yang mungil seperti mama. Dia adalah nenekku. Ibu pertama untukku. Aku dibesarkan olehnya hingga suatu hari, saat usiaku menginjak enam tahu, aku harus berpisah karena papa pindah tugas.
Sedih itu pasti. Aku ingin bersamanya setiap saat, tapi papa memaksa untuk aku ikut bersamanya. Hari itu aku membenci papa tanpa alasan dan membenci Juwarriyah karena tidak menahanku untuk tetap bersamanya.
“Ra… pergilah nak, nenek akan selalu mendoakan kamu. Sering-sering bezuk nenek ya…”
Kalimat terakhir yang aku ingat, serta pemberian selusin coki-coki rasa cokelat kesukaanku saat itu.
Sepanjang jalan meninggalkan rumah nenek, beserta bayangannya. Rasanya seperti mimpi. Anak usia enam tahun sudah paham saat itu, bagaimana rasanya kehilangan setengah jiwa di dalam hidupnya.
Juwariyah bukan hanya sosok nenek, tapi dia juga menjelma sebagai sosok ibu, teman dan juga guru mengajiku. Dia menyayangiku bahkan melebihi rasa sayang ibuku sendiri kepadaku. Ia tidak tidur saat aku sakit, dia pun akan membawaku ke mana pun saat bepergiaan saat sehat, bermain dan juga menjagaku dengan baik.
Aku ingat sewaktu kecil, nenek pernah marah kepada om, saudara mama, hingga nenek mengusirnya dari rumah karena tidak becus menjagaku. Saat itu usia om juga masih remaja yang masih ingin menghabiskan waktunya bermain bersama dengan teman sejawatnya tapi dia harus ikut menemaniku, menjagaku walau naas saat itu aku terjatuh saat bermain. Teringat jelas wajah nenek sangat murka melihat kedua telapak tanganku penuh dengan luka.
Nenek juga menangis saat aku demam. Dan nenek juga menangis saat aku kembali ke rumah hanya untuk melepas rasa rindu dengan mama walau itu hanya sehari.
Tapi bagaimana saat Kami berpisah empat tahun lamanya? Bagaimana dia melewati hari-harinya tanpa aku?
“Apakah dia menangis setiap kali mengingatku?”
Lalu, “Apakah dia pernah sakit?”
“Apakah dia baik-baik saja?”
Mengingat semua hal saat itu, aku membenci dunia karena alat komunikasi tidak secanggih saat ini.
Empat tahun kemudian. Saat aku duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Usiaku sudah menginjak sembilan tahun. Tepatnya di hari kamis tahun 2004, jam istrahat pertama, tiba-tiba salah satu tetangga rumah datang menemuiku di sekolah dan meminta izin kepada wali kelas agar aku segera pulang.
Aku bergegas menenteng tas hitam ranselku dan berlari menuju rumah. Langkahku terhenti saat melihat dua orang yang kukenal berada di rumah kami. Dia adalah tetangga rumah nenek.
“Nenek sakit, dia menunggu kalian,” ucapnya.
Aku diam seribu bahasa. Aku bingung harus melakukan apa. Harus bahagia karena melihat Mama sedang berkemas dan kami akan bertemu nenek atau harus sedih karena aku bertemu nenek dalam keadaan dia sedang sakit.
Sepanjang jalan tidak ada suara. Bibir mama terlihat bergerak seolah melangitkan banyak doa. Sedangkan aku, diam.
Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti. Aku ikut berjalan di belakang mama. Di sana terlihat banyak warga yang berkumpul memenuhi halaman rumah nenek. Semua mata memandang ke arah kami. Mama berlari, tapi aku masih berjalan dengan kebingungan.
Aku mencari sosok nenek di antara kerumunan dan ingin bertanya, apa yang terjadi.
Salah seorang bibi yang aku kenal mendekat. Dia mengusap pucuk kepalaku dengan lembut, “sabar ya nak, nenekmu sudah tiada…”
Langkahku terhenti. Aku sudah paham.
Lalu Aku melihat ke arah teras rumah nenek yang dilalui banyak warga berlalu lalang mengenakan hijab berwarna hitam. Aku berlari secepat yang aku bisa. Dadaku sesak, bahkan sangat sakit. Tangisku tertahan saat melihat tubuh nenek terbaring diselimuti tumpukan sarung dan dikeliling oleh keluarga lainnya sedang menangis.
“Tidak! Ini hanya mimpi!”
“Nek, bangun. Ini aku, datang…”
“Nek…”
Aku memeluk jasad yang terasa dingin itu. Kenangan empat tahun yang lalu kembali berputar dengan jelas. Bagaimana nenek menyuapiku saat aku makan, tidur bersama, tertawa dan berjalan di bedengan sawah bersama dan banyak hal lainnya yang telah kami lewati, kini membekas dengan sangat di dalam hati.
“Harusnya saat itu aku tetap tinggal meski papa memanggil, meski nenek tidak meminta. Aku seharusnya yang memutuskan. Harusnya aku tidak meninggalkan nenek sendiri, harusnya aku tetap bersamanya hingga di nafas terakhirnya menjemput.”
Banyak penyesalan tersimpan di dalam hatiku begitu saja. Andai aku diberi kesempatan kedua, andai aku bisa meminta satu hal dan mengorbankan hal lainnya demi hidup nenek, aku akan berikan apapun itu. Asalkan dia tetap bersamaku. Asalkan dia melihatku tumbuh dan mendengar cerita tentangku. Bagiamana hariku melewati masa remaja hingga dewasa saat ini.
20 tahun berlalu.
Aku masih merasakan kehilangan yang sama. Luka itu belum sembuh. Kenangan itu masih hidup, dan harapan-harapan yang tak akan pernah terwujud masih tersimpan dalam hati.
Dan aku tak ingin Adiba merasakan hal yang sama.
Saat ini, kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan. Mama satu-satunya yang bisa menjaga Adiba dengan baik, memberikan kasih sayang yang utuh, seperti dulu nenekku menjagaku. Aku tahu, tidak ada yang bisa menggantikan peran seorang ibu dan ayah, tetapi aku juga tahu bahwa seorang anak membutuhkan kehangatan setiap harinya.
Maka, aku tak ingin Adiba tumbuh dengan perasaan kehilangan dan penyesalan.
Aku ingin kedua orang tuanya mengerti, bahwa ada luka yang tak pernah sembuh dalam diriku. Luka karena kehilangan seseorang yang begitu berarti, yang merawatku dan mencintaiku sepenuh hati. Aku ingin mereka tahu, aku tidak ingin Adiba merasakan hal yang sama.
Setidaknya, jika suatu hari Adiba harus ikut kedua orang tuanya bekerja, jika jarak memisahkan mereka, jangan sampai ia kehilangan sosok yang selama ini menjadi tempatnya bersandar. Jangan sampai waktu dan kesibukan merampas kehangatan yang seharusnya ia dapatkan.
Jika ia harus pergi, sesekali ia harus kembali. Atau setidaknya, setiap hari, dia bisa melakukan panggilan video. Menceritakan harinya, mendengar suara Mama, dan merasakan kasih sayangnya, meski hanya lewat layar.
Karena aku tak ingin, suatu hari, Adiba duduk sendiri, memeluk gulingnya, merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan hari ini.
Aku tak ingin ada penyesalan di kemudian hari.
Sebab kehilangan seseorang yang begitu berarti, adalah luka yang tak akan pernah benar-benar sembuh.
Satu cara untuk lari dari rasa sakit karena rindu, aku meminta zat yang nyawaku berada digenggamanNYA untuk menempatkan nenek di surgaNya yang paling indah. Memberikan nenek kebahagiaan abadi dalam dekapanNya.
Alfatiha untukmu nenekku, cintaku.
Juwariah binti Leong Manyanging. []