Ummul Mukminin ‘Aisyah menyanjungnya: “aku tidak pernah menemukan seorang perempuan yang lebih kusukai jika diriku menjadi dirinya, selain Saudah binti Zam’ah.”
Mubadalah.id – “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga” begitulah lirik lagu populer tahun 1960-an yang di nyanyikan oleh Rhoma Irama dibawah naungan Orkes Melayu Candra Leka tentang kebahagiaan manusia dalam kisah cinta.
Ternyata lagu ini tidak hanya tentang kisah cinta saja sebagai kubutuhan pokok manusia. Tapi juga mengandung banyak makna tentang kearifan lokal. Khususnya suasana lingkungan sekitarnya yang masih asri dan terhindar dari berdirinya pabrik-pabrik industri. Jadi, ekspresi kecintaan seseorang pada masa itu sungguh-sungguh berbeda dengan generasi mamba, bumi, kue (sebuah istilah yang dilihat dari cara penampilan).
Memperbincangkan soal cinta rasanya kurang lengkap bilamana tidak mengetahui keharmonisan rumah tangga Rasulullah. Apalagi ketika melihat keharmonisan yang beliau jalani saat bersama perempuan yang berjuluk at-Thahirah yakni Khadijah binti Khuwailid tentang ketaqwaannya, kehormatannya, kebaikannya dan keberkahannya. Layaknya bunga yang mekar dan harum semerbak hingga hari ini. Bahkan, tak tanggung-tanggung perempuan di Republik ini tidak satupun yang dapat menyamai khazanah kehidupannya.
Teladan Kisah Cinta Nabi
Setelah 25 tahun menjalani kehidupan bersama Rasulullah, Khadijah istri tercintanya kembali lebih awal ke pencipta-Nya. Peristiwa ini sangat menyedihkan karena 3 hari sebelumnya Rasulullah juga ditinggal oleh pamannya, Abu Thalib. (semoga keberkahan dan ketulusan kebaikan keduanya mengalir terhadap seluruh anak negeri ini)
3 tahun kemudian, saat beberapa sahabat tidak berani bertanya kepada Rasulullah tentang pilihan hidup selanjutnya untuk menemani dalam perjuangnnya, maka datanglah Khaulah binti Hakim bin al-Auqash yang mencoba membawa informasi di hadapan Rasulullah dengan menyebutkan salah satu nama perempuan yang dianggap cocok untuk menemani Rasulullah, ia adalah Saudah binti Zam’ah yang pernah menikah sebelumnya dengan Syakran bin Amr.
Mungkin, goresan kesedihan yang Rasulullah alami memang belum berakhir saat berpisah dengan Khadijah binti Khuwailid, begitu juga dengan kenangan terindah Saudah binti Zam’ah belum tentu hilang saat bersama suaminya. Namun, kalau bukan karena kecintaan terhadap Tuhannya yang sangat mendalam niscaya beliau tidak akan sabar dan ridla dalam menghadapi dan menerima takdir Allah SWT.
Mengenal Sosok Saudah binti Zam’ah
Akhirnya, informasi yang Khaulah binti Hakim bawa tersebut mendapat respon baik dari Rasulullah seraya menyuruhnya untuk segera menemui Saudah binti Zam’ah. Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa Khaulah berkata, “aku segera menemui Saudah dan ayahnya, Zam’ah.
Saat itu, ayahnya tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara sempurna karena faktor usianya yang sudah semakin tua. Lalu aku berkata, “kebaikan dan kebahagiaan apa yang telah Allah anugerahkan kepada kalian? Saudah menjawab (ekspresi wajah kaget dan heran), apa yang kamu maksud dalam perkataanmu itu, wahai Khaulah? Aku menjawab: ‘Rasulullah, mengirimkanku untuk menemuimu dan menyampaikan lamarannya kepadamu’.
Mendengar kabar bahagia itu, tak kuasa air mata Saudah menetes membasahi pipinya dan menunggu Rasulullah untuk segera menikahinya. Atas nama kesiapan sekaligus kebijaksanaan keduanya maka mahar 400 dirham menjadi saksi dari pernikahan tersebut, kira-kira Saudah binti Zam’ah berikisar umur 50-an tahun.
Meski, Saudah bukanlah seorang gadis, bukan seorang yang pantas dalam menggantikan posisi terbaik Khadijah di sisi Rasulullah. Begitu Allah memberikan anugerah dan takdir baik kepadanya. Maka, Saudah bukan sekedar perempuan baik namun sangat tinggi ketaqwaannya kepada Allah.
Jejak perjalanan sejarah kisah cintanya telah ia buktikan. Saudah selalu mengutamakan kisah cinta yang sederhana demi menciptakan keluarga yang bahagia. Saudah pernah berkata: “wahai sayangku, semalam aku ikut shalat di belakangmu. Ketika melaksanakan ruku’, tidak sengaja engkau menyenggolku sehingga aku pegang hidungku karena takut akan mengeluarkan darah”. Mendengar hal itu, Rasulullah tersenyum akan cerita sederhananya untuk berusaha kesuburan kasih sayang dalam keluarganya.
Pasang Surut Rumah Tangga Saudah Binti Zam’ah
Tapi, bahagia itu tak dapat terlihat saat awal pernikahan saja. Pasang surut dalam sebuah keluarga itu lumrah terjadi justru keduanya wajib untuk melakukan yang terbaik. Ketika Saudah sedang keluar rumah pada malam hari tanpa seizin Rasullullah, maka sepulang dari luar Saudah meminta maaf atas tindakan yang membuatnya ketakutan.
Rasulullah sambil tersenyum dan menjawab: Allah mengizinkanmu keluar rumah selama ada keperluan. Jadi, penyelesaian masalahnya tidak berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.
Pada peristiwa ini turunlah ayat:
“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian. Yang sebenarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (QS. An-Nisa’ ayat 128).
Nama Saudah binti Zam’ah memang tidak populer dalam kisah cinta muda hari ini. Namun harum semerbak namanya, serta benang merah yang dapat kita petik dalam kisah cinta ini sungguh luar biasa. Yakni untuk meniru kesetiaan dan kedermawanannya saat menjalin hubungan keluarga dengan Rasulullah.
Hingga akhirnya tibalah hari yang sangat memilukan bagi Saudah dan umat Islam ketika melepas Rasulullah wafat, untuk tetap dalam keadaan ridha atas kepergiannya. Kemudian, Saudah menyusul kepergiannya saat berada pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. []