• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kisah Heroik Itu Enak Didengarkan, Tetapi Pahit Untuk Dilakukan

Pilihan-pilihan (sulit) yang Bunda Teresa ambil bukan semata-mata pelayanan ritual pada Tuhan. Ia menjawab panggilan Tuhan itu dengan ibadah pengabdian dan sensitivitas atas kemanusiaan

Aida Nuril Aida Nuril
03/04/2023
in Personal
0
Kisah Heroik

Kisah Heroik

741
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berpuluh tahun lalu ada seorang perempuan memilih untuk menyerahkan diri kepada Tuhan sebagai “pelayan”. Sebagai pelayan Tuhan, ia bekerja di area-area yang seolah-olah Tuhan tidak pernah hadir. Ia mendatangi pemukiman kumuh, merawat penderita kusta, memberi makan yatim-piatu, memandikan orang-orang terlantar, dan memberikan perlindungan kepada mereka yang tertindas.

Tak hanya itu, ia juga sangat keras pada diri sendiri. Ia hanya punya dua helai baju. Satu yang menempel pada tubuhnya, dan satu lagi baju yang bertengger di jemuran–yang keesokan harinya ia akan pakai. Begitu terus berulang ia lakukan. Cuci-Kering-Pakai. Dan, itupun hanya satu warna baju saja. Putih. Inilah sisi lain dari kisah heroik Bunda Teresa.

Pun, ketika dunia ramai memberitakan kerja-kerja pelayanannya, sehingga ia menerima penghargaan prestius kelas dunia, Nobel. Ia tetap memilih jalan sunyi. Ia memilih menghadiri acara itu dengan menggunakan pintu belakang. Memilih untuk tak tersorot lampu kamera. Dan tentu saja, para pewarta berita kecewa tak bisa menemukan sosok yang mereka tunggu.

Ibu Kaum Miskin

Di perhelatan itu, ia duduk di kursi paling depan bersama para petinggi lainnya. Saat hendak minum, ia mengamati dengan seksama botol yang ada di hadapannya. Ia kemudian bertanya pada panitia, berapakah harga sebotol minuman yang tersaji di ruang acara? Panitia menjawabnya, tetapi ia malah tak jadi minum.

Tahu kenapa? Karena angka yang panitia sebutkan terlalu fantastis untuk harga sebuah minuman. Dengan harga itu seharusnya ia bisa memberi makan banyak perut, bukan hanya satu mulut.

Baca Juga:

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Baginya, mungkin, selebrasi penghargaan Nobel Perdamaian tak boleh mencederai perjuangan itu sendiri. Bagaimana mungkin ia tega membicarakan kaum papa yang tertindas di tempat yang bahkan tak mungkin mereka ada? Terlalu jauh dari realitasnya.

Dan tahukah siapa engkau gerangan manusia langka dalam kisah heroik itu? Tak lain dan tak bukan adalah Bunda Teresa–ibu dari kaum melarat.

Pilihan-pilihan (sulit) yang Bunda Teresa ambil bukan semata-mata pelayanan ritual pada Tuhan. Ia menjawab panggilan Tuhan itu dengan ibadah pengabdian dan sensitivitas atas kemanusiaan.

Bersetia pada Nilai

Bunda Teresa mengajarkan pada kita tentang bagaimana bersetia pada nilai dan terus menerus memeriksa sensitivitas kita pada kemanusiaan.

Tentu masih segar dalam ingatan kita, tentang nilai program pengentasan kemiskinan yang nilainya fantastis itu. Ternyata lebih banyak pemerintah negeri ini gunakan untuk rapat dan studi banding. Kenyataan macam ini melukai nurani. Berbicara tentang kemiskinan tanpa orang miskin itu sendiri. Kemiskinan mereka bicarakan sebagai “isu” bukan sebagai realitas untuk segera diselesaikan.

Orang miskin yang terus mereka dengungkan dalam rapat itu bahkan tidak ditanya, mereka butuh kemampuan/kapasitas apa untuk bisa keluar dari jeratan kemiskinan? Bukan hanya soal berapa uang bulanan yang mereka terima sebagai bentuk welas asih.  Suara mereka bahkan tak tampak, dan lebih sering kita gunakan untuk kepentingan, mohon maaf, proyek semata.

Pun sama, bagi mereka pengemban program masyarakat di swasta. Seberapa sering lalai atas suara dan hak atas mereka yang–sering dibilang–diperjuangkan. Kerja-kerja pemberdayaan lebih sering kita lakukan di ruang-ruang pertemuan hotel–cenderung eksklusif–daripada di balai rakyat atau lapangan desa yang lebih mudah terjangkau oleh masyarakat luas.

Catatan kecil dari kisah heroik di atas, tak hendak bicara apa-apa kecuali sebagai pengingat penulisnya yang sering lupa. Selamat menunaikan ibadah puasa! []

Tags: Bunda TeresakemanusiaanKemiskinanKisah HeroikNobel Perdamaian
Aida Nuril

Aida Nuril

Founder Afkaruna dan Peneliti di Rumah Kitab

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Aeshnina Azzahra Aqila

Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

20 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version