Mubadalah.id – Dalam penerapan relasi mubadalah dengan mereka yang berbeda agama ini terinspirasi dari kisah-kisah Nabi Muhammad Saw bersama mereka yang beragama lain.
Kisah-kisah tersebut, misalkan mulai dari saat usia Nabi Saw masih remaja, lalu menerima wahyu, berdakwah dan berjuang di Kota Mekkah selama lebih dari 12 tahun.
Kemudian berhijrah serta menetap sebagai komunitas di Madinah selama lebih dari 10 tahun.
Ada banyak kisah Nabi Saw berelasi dengan non-muslim, baik yang masih saudara dekat, menantu, sahabat, teman, tetangga. Bahkan tamu kabilah dan bangsa-bangsa sekitar Jazirah Arabia saat itu.
Relasi yang menegaskan bahwa kesalingan dan kerjasama, atau yang saya sebut sebagai perspektif mubadalah, itu tidak hanya penting dilakukan antara muslim dan non-muslim.
Lebih dari itu, ia adalah bagian dari teladan Nabi Muhammad Saw yang tercatat dalam berbagai rujukan otoritatif. Yaitu al-Qur’an, kitabk-itab Hadits, dan kitab-kitab Sirah nabawiyah.
Dengan merujuk pada teladan Nabi Saw ini, sesungguhnya kita juga bisa menata ulang konstruksi ayat-ayat mengenai relasi muslim dengan non-muslim secara mubadalah.
Tidak menggebyah uyah bahwa semua ayat damai itu dihapus (nasakh) oleh ayat-ayat perang dan kekerasan.
Lalu, yang benar adalah memusuhi dan memerangi semua non-muslim, atau setidaknya mendoakan mereka dengan keburukan, dan menjauhi pertemanan dengan mereka.
Sebaliknya, kita perlu menemukan ayat yang menjadi titik tengah dari kedua kelompok ayat ini. Yaitu melalui inspirasi dari teladan dalam sirah Nabi Saw tersebut.
Lalu, dari titik yang tengah ini, kita bisa memahami mengapa ayat-ayat perang ini hadir. Serta apa arahnya pada masa kita sekarang ini.
Begitu pun, mengapa ayat-ayat damai hadir dan seperti apa konstruksinya pada kehidupan sosial sekarang yang sudah mengenal identitas negara-bangsa.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir, dalam buku Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama.