Mubadalah.id – Dalam proses menuju momentum kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 banyak perempuan yang ikut serta dalam proses mengusir dan melawan penjajah. Bahkan mereka memiliki peran penting, namun acapkali jasa-jasanya terlupakan.
Hal ini tentu karena rekonstruksi sejarah kita bercorak androsentris, karena sejarah terpusat pada kegiatan kaum laki-laki. Dalam berbagai kajian, perempuan menghilang dari literature sejarah kemerdekaan Indonesia. Reduksionisme sejarah di Indonesia yang dijadikan alat untuk menimbulkan dominasi pengetahuan. Dalam berbagai kajian, perempuan kadang dikatakan berperan penting, tetapi biasanya tidak terlihat.
Oleh karena itu tulisan ini akan merefleksikan bagaimana kegigihan perempuan mulai dari medan perang, sampai dengan lembaga pendidikan. Selain Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, ada banyak perempuan Indonesia yang telah berjasa untuk negeri ini. Jasanya pun beragam, sehingga menarik untuk kita telusuri jejak-jejaknya dan merefleksikan perannya dalam memperjuangkan tanah air dan kemerdekaan Indonesia, yakni antara lain :
Putri Campa
Putri Campa, merupakan selir kelima dari Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V, sebagai pemeluk Islam pertama di kerajaan Majapahit. Prabu Brawijaya V sangat mencintai Putri Campa yang membuatnya menjadi sangat lunak. Kepemimpinan Prabu Brawijaya banyak menaruh perhatian terhadap Islam, meskipun sang raja sendiri tidak beragama Islam. Selain istri dan anak-anak yang telah memeluk Islam, banyak dari kalangan pejabat kerajaan yang juga telah memeluk Islam.
Keberadaan Putri Campa yang melakukan ekspansi dakwah di tubuh Kerajaan Majapahit menjadi semakin lebih mudah seiring semakin melunaknya Prabu Brawijaya terhadap perkembangan Islam. Berdatangan para ulama dari negara lain untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Hingga muncul Walisongo yang merupakan sebutan bagi para tokoh penyebar Islam dan dikeramatkan oleh masyarakat Jawa.
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, didirikan oleh Raden Patah . Selain itu, hal yang tidak boleh kita lupakan dari sosok Putri Campa ini, bahwa beliau adalah ibu dari Raden Patah, Sultan Kerajaan Islam Demak yang pertama. Putri Campa juga merupakan bibi dari Sunan Ampel.
Setiati Surasto
Setiati Surasto, perempuan aktif dalam gerakan buruh dari Banyuwangi, yang aktif terlibat dalam Gabungan Serikat Buruh Sedunia bahkan menjadi drafter Perluasan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 untuk persamaan upah dan anti diskriminasi. Bahkan dedikasi dari Setiati juga ia buktikan dari perannya dalam Sidang Biro Gabungan Wanita Demokratis Sedunia.
Di mana dalam persitiwa tersebut, Setiati mengusulkan Solidaritas Internasional untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, hak-hak wanita dan perdamaian. Pada tahun 1964, mendaulat Setiati menjadi sekretaris Gabungan Serikat Buruh Sedunia pada tahun 1964 di Praha. Ia secara khusus memperjuangkan solidaritas kaum buruh internasional yang bernafaskan anti imperialisme dan dekolonisasi.
Fransisca C.Fanggidaej
Fransisca C Fanggidaej tokoh perempuan dari Indonesia yang berpidato untuk memberitakan pada dunia internasional tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai tokoh dan pejuang, ia pernah menduduki posisi strategis di berbagai organisasi seperti Pesindo, Kantor Berita Antara, dan DPR GR RI. Setelah peristiwa berdarah 1965, ia terasing dari tanah air nya sendiri, dan kini menetap di Belanda.
Laksmana Keumalahayati
Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah atau cucu dari Muhammad Said Syah. Muhammad Said Syah sendiri merupakan putra Sultan Salahudin Syah yang memerintah kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1530-1539 M. Armada bentukan Malahayati tersebut kemudian bermarkas di Teluk Lamreh, Krueng Raya.
Di sekitar teluk itulah, Malahayati kemudian membangun benteng pertahanan yang ia beri nama Kuto Inong Balee. Selain menjadi benteng pertahanan, benteng yang Malahayati bangun juga menjadi tempat untuk mengawasi pergerakan berbagai kapal yang melintas di daerah kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus sebagai tempat tinggal bagi para pasukan Inong Balee.
Selain membentuk armada perang, jasa besar Malahayati dan armada yang dibuatnya adalah ketika terjadi peristiwa penyerbuan yang dilakukan oleh Malahayati dan pasukannya, terhadap empat kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada tanggal 21 Juni 1599 M.
Monia Latuliya
Monia Latuwaria tidak hanya memberikan semangat kepada para pejuang Hatuhaha tapi ia juga memimpin perang Alaka II, setelah Patih Hatuhaha tewas, Monia Latuwaria, tokoh perempuan yang berperan penting dalam kemenangan masyarakat Hatuhaha pada perang Alaka II melawan penjajahan Hindia-Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak tahun 1625-2637
Rohana Kudus
Rohana Kudus tumbuh menjadi seorang wartawati dan ia menjadi wartawati pertama Indonesia. Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KS) di kota gadang, sekolah ini lahir sebab kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai langkah awal membuka kesadaran bagi perempuan yang pada saat itu memiliki posisi nomer dua.
Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan Poetri Hindia. Ketika dipersekusi oleh pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu.
Surat kabar tersebut menjadi salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan R.A. Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah
Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang abangnya pimpin yaitu Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau.
Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia.
Saat pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan.
Ia tertangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Sitti Manggopoh
Siti manggopoh adalah seorang ibu yang memiliki dua anak, ia perempuan yang memiliki peran penting di tanah Sumatera. Dia mendapat amanah untuk menjadi pemimpin pertempuran belasting, karena keberaniaannya menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan, melalui sanggar tarung yang ia buat untuk merekrut pasukannya. Di sebuah masjid ia berikrar di hadapan suami dan 15 orang pejuang yang berhasil ia himpun “Setapak tak akan mundur, selangkah tak akan kembali.”
Boetet Satidjah
Boetet Satidjah tercatat sebagai pendiri dan sekaligus editor surat kabar bulanan “Perempuan Bergerak” yang terbit di Medan tahun 1919. Surat kabar bulanan ini menjadi wadah untuk berseru, menyuarakan perlawanan, sekaligus membawa narasi setara. “Perempuan Bergerak” mendorong perempuan untuk bergerak maju.
Boetet Satidjah memperjuangkan kemajuan bangsa dengan memperjuangkan kesamaan hak perempuan dalam mendapatkan pendidikan dan berorganisasi. Lewat tulisannya, Boetet mengajak perempuan untuk bergerak, bersiasat dan membangun jaringan untuk keluar dari keterbelakangan. Berikut cuplikan salah satu tulisan Boetet di koran Perempoean Berjoeang edisi Mei 1919:
“Feminisme kita ini hendaklah kita toedjoekan menoeroet djalan nan elok, dan bersih, soepaja peregerakan kita ini tiada terhambat-hambat. Adat dan agama nan elok itoe djangan kita lampawi. Pada saudara-saudara laki-laki kita poehoenkan soepaja teman pikirkan, Bahasa toean-toean moesti dipandang bangsa hoilander sebagai Indische broeder. Djadi saja harap toendjang feminism kami perempoean-perempoean poen akan dipandang oleh Hollander dari Holiandsche vrouw sebagai Indische zuster.”
Lasminingrat
Lasminingrat menjadi seseorang sastrawan, dari beberapa karyanya ia menyadur cerita-cerita asing tersebut menjadi lebih akrab bagi masyarakat setempat, seperti mengubah nama tokoh menjadi Erman dan Ki Pawitra serta mengadaptasi ceritanya agar sesuai dengan kebudayaan lokal.
Kemudian Lasminingrat mendirikan sekolah Kautamaan Istri di Pendopo Kabupaten Garut. Sekolahnya terus berkembang. Pada 1911 jumlah muridnya mencapai 200 orang sehingga membangun 5 kelas baru di samping pendopo. Lalu pada 1934, saat usianya sudah lebih dari 80 tahun, ia membangun 3 cabang sekolah lagi. Pada 1948, Lasminingrat menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 105 tahun. []